SUKABUMIUPDATE.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi berinisiatif menyuarakan isu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) melalui media film. Bersama Yayasan Rusaida Production House dan Rumah Sahabat Ibu dan Anak, DP3A mendukung penuh produksi film bertajuk “Senja yang Hilang” yang diangkat dari kisah nyata korban TPPO.
Kepala DP3A Kabupaten Sukabumi, Eki Radiana Rizki, menjelaskan bahwa keterlibatan pihaknya merupakan bagian dari upaya alternatif sosialisasi di tengah keterbatasan anggaran pemerintah.
“Hari ini dan kemarin kita melaksanakan casting untuk pemeran film Senja yang Hilang, di mana film ini bercerita tentang TPPO,” ujar Eki kepada sukabumiupdate.com, Minggu (4/5/2025).
Menurut Eki, film menjadi media yang efektif dalam menyampaikan pesan edukatif kepada masyarakat luas. “Kami dari pemerintah daerah begitu antusias menerima tawaran kerja sama ini, karena di satu sisi kita tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat,” terangnya.
Baca Juga: Ketua DPRD Hadiri Halal Bihalal Kahmi Sukabumi di Kampus IMN
Eki menyebut bahwa film ini akan menjadi sarana pembelajaran yang berdampak, terutama bagi masyarakat di wilayah rawan. “Di dalam film ini nanti juga akan sebagai sarana edukasi dan sosialisasi, sehingga kami, Pemda, mendukung pembuatan film ini,” tambahnya. Ia juga mengajak semua elemen masyarakat dan stakeholder untuk berpartisipasi dalam proses produksi hingga penyebarluasan film ini. “Kami mohon dukungan dari segala pihak, karena film ini bisa menjadi bahan pembelajaran untuk warga Sukabumi tentang TPPO,” tegasnya.
Sementara itu, produser film Senja yang Hilang, Bara Bantalaseta, mengatakan bahwa proses casting dibuka bagi perempuan usia 16 hingga 24 tahun, dengan tujuan menyentuh kelompok rentan secara langsung. “Kita rekrut dari pelajar karena target audiens film ini memang usia rentan. Paling tidak kita sudah menciptakan ruang pembelajaran untuk mereka,” ucapnya.
Ia menyebut, proses produksi dimulai dengan riset mendalam agar film tidak menyimpang dari konteks nyata. “Eksekusi syuting akan kita lakukan awal bulan Juni, casting juga masih berlanjut pada 10-11 Mei di Palabuhanratu,” katanya.
Lebih jauh, Bara menyatakan bahwa film ini tidak hanya menggambarkan sisi korban, tapi juga akan mengkritisi sistem dan kebijakan yang bisa menjadi celah terjadinya TPPO. “Ketika ada yang menempuh jalur kerja unprosedural, berarti ada sistem yang salah. Ini akan kami kaitkan dengan dinas-dinas lain agar lahir solusi dan perbaikan,” pungkasnya. (Adv)