SUKABUMIUPDATE.com - Tak lama lagi umat Islam akan memasuki bulan suci Ramadan dimana di bulan istimewa tersebut diwajibkan untuk berpuasa.
Menjalankan ibadah puasa Ramadan merupakan hal wajib bagi setiap kaum Muslim. Pasalnya ibadah puasa menjadi salah satu yang menjadi rukun Islam.
Tapi bagaimana hukum puasa Ramadan bagi ibu menyusui, apakah boleh tidak menjalankan puasa Ramadan? Mengingat ada beberapa golongan orang yang diperbolehkan tidak menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Hukum Puasa Ramadan Bagi Ibu Menyusui
Melansir dari Tempo.co, menurut Irsyad Rafi yang mengacu pada Madzhab Syafi’i dalam Jurnal Bidang Kajian Islam berjudul ‘Golongan yang Mendapatkan Rukhsah dalam Ibadah Puasa dan Konsekuensi Hukumnya’, Allah SWT memberi keringanan (rukhsah) puasa Ramadan bagi golongan tertentu.
Baca Juga: Qadha Puasa Digantikan oleh Orang Lain, Apakah Boleh? Ini Jawabannya
Kelompok tersebut meliputi seseorang yang sedang di perjalanan jauh (safar), menderita penyakit, mengalami paksaan, lupa, bodoh, situasi yang sulit dihindari, dan adanya kekurangan.
Salah satu fatwa Syaikh al-Utsaimin dan al-Jassas dalam kitab Ahkam al-Quran menyebutkan bahwa wanita hamil dan menyusui sesungguhnya tidak termasuk penyebab (udzur) yang mendapatkan kemudahan untuk tidak berpuasa. Apabila wanita hamil dan menyusui dalam kondisi prima, kuat, serta tidak berdampak pada anak. Maka diwajibkan bagi dirinya untuk melaksanakan puasa Ramadan.
Sedangkan wanita hamil pada trimester pertama mengalami muntah, didiagnosis menderita suatu penyakit jika meneruskan puasa menurut tenaga medis, atau ibu menyusui ASI (Air Susu Ibu) eksklusif selama 6 bulan yang dikhawatirkan kualitas ASI-nya menurun. Maka dengan mempertimbangkan mudharatnya, lebih baik wanita tersebut hendaknya berbuka.
Baca Juga: Bagaimana Hukum Telat Qadha Puasa Ramadan? Simak Penjelasannya di Sini
Hukum puasa Ramadan bagi ibu menyusui atau wanita hamil yang hanya mengkhawatirkan kesehatan dirinya saja, bukan si anak, juga diperbolehkan tidak berpuasa. Sebagaimana dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dan Imam Nawawi. Namun, wanita tersebut harus memperoleh konsekuensi.