Politik Seratus Hari, Waktunya Menonton dan Menginterupsi Teater Kekuasaan

Sukabumiupdate.com
Selasa 10 Jun 2025, 23:38 WIB
CSA Teddy Lesmana, Dosen Prodi Hukum Universitas Nusa Putra | Foto : Facebook @CSA Teddy Lesmana

CSA Teddy Lesmana, Dosen Prodi Hukum Universitas Nusa Putra | Foto : Facebook @CSA Teddy Lesmana

 
Penulis : CSA Teddy Lesmana
Dosen Prodi Hukum Universitas Nusa Putra

Keadilan bukan panggung. Ia tak tampil dalam 100 hari, tapi hidup dalam keberpihakan yang tak pernah berhenti.

Di Sukabumi, juga di daerah lain di Indonesia, saat-saat ini waktu bukan lagi sekadar penanda hari, melainkan panggung, tempat kekuasaan tampil, berbicara, dan berdandan di hadapan rakyat. Seratus hari pertama, sebagaimana yang kini ramai diperbincangkan baik di Kabupaten maupun Kota Sukabumi, telah menjelma menjadi semacam ritus publik. Seolah-olah dalam kurun waktu itu, kita bisa melihat arah, rasa, bahkan watak dari sebuah pemerintahan.

Tapi apa yang benar-benar kita lihat? Kinerja? Keputusan strategis? Atau sekadar pertunjukan simbolik dengan latar baliho, slogan, dan statistik prematur?

Di Kabupaten Sukabumi, Bupati Asep Japar dan Wakilnya, Andreas, menerima gelombang kritik yang nyaris bulat. Sebuah polling daring mencatat lebih dari 95% warga tidak puas terhadap 100 hari pertama mereka. Jalan rusak, janji layanan publik, hingga kehadiran negara yang tak terasa, semuanya disuarakan dengan nada kecewa.

Sementara di Kota Sukabumi, meski masih ada segelintir apresiasi, mayoritas warga juga mempertanyakan efektivitas kinerja Wali Kota Ayep Zaki dan Bobby Maulana yang lebih banyak tampil di layar dibanding hadir di lapangan. Di dua ruang kuasa yang berbeda namun saling berdekatan ini, publik seakan disodorkan menu yang sama: politik yang tampil, tetapi belum tentu bekerja.

Baca Juga: Catatan dan Kritik 100 Hari Kerja Ayep Zaki-Bobby Maulana Pimpin Kota Sukabumi

Tradisi 100 Hari dan Performatifnya Kekuasaan

Tradisi 100 hari ini bukan hanya persoalan dua figur kepala daerah. Ini adalah cermin lebih besar dari bagaimana politik lokal kita dijalankan dan dinilai. Seratus hari kerja bukanlah alat ukur substansi, melainkan lebih mirip durasi sebuah pertunjukan. Ia menghitung waktu panggung, bukan kedalaman kerja. Ia mengukur suara, bukan substansi. Inilah yang oleh banyak filsuf politik disebut sebagai fase “performativitas kekuasaan”, di mana pemerintah lebih sibuk membangun kesan daripada membenahi kenyataan.

Tradisi “100 hari pertama” memiliki akar sejarah. Diadopsi dari masa pemerintahan Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat, ketika langkah-langkah cepat dikerahkan menghadapi Depresi Besar, konsep ini kemudian menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. Presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota berlomba memaparkan program 100 hari sebagai simbol ketegasan awal.

Namun ironinya, dalam banyak kasus, tradisi ini lebih banyak mengundang euforia media ketimbang membuka ruang penilaian yang reflektif dan partisipatif. Ia menjadi panggung legitimasi instan yang jauh dari semangat demokrasi deliberatif.

Keadilan Tak Bisa Dipentaskan

Dalam lensa filsafat hukum, kita perlu bertanya ulang, apakah hukum dan kekuasaan dapat dinilai hanya dari kilatan waktu dan pernyataan program? Satjipto Rahardjo sejak lama mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar teks dan prosedur, melainkan “hukum yang hidup” di tengah masyarakat.

Maka pertanyaan mendasarnya bukanlah “apa yang ditampilkan dalam 100 hari,” melainkan: apakah dalam 100 hari itu, rakyat kecil merasa lebih dekat pada keadilan? Apakah suara mereka didengar, kebutuhan mereka disentuh, atau mereka justru menjadi penonton pasif dari panggung kuasa yang tak pernah bisa disentuh?

Bila kita kembali ke Sukabumi, kita menemukan bahwa sebagian besar warga tidak mengeluhkan narasi, tetapi absennya dampak. Jalan rusak tetap rusak. Sektor pendidikan dan kesehatan belum menunjukkan reformasi struktural. Dan janji-janji besar berubah menjadi baliho besar, seolah ingin berkata “kami penguasa saat ini”. Seolah-olah politik hari ini tak lagi berbicara tentang rakyat, tetapi tentang citra pemerintah di mata rakyat.

Apa yang diwartakan media, itulah yang dianggap nyata. Maka pemerintahan berubah menjadi industri representasi, sebuah teater kekuasaan yang ditulis, disutradarai, dan dipertontonkan oleh para elite, sementara rakyat hanya diminta menjadi penonton yang baik, atau diam.

Masalahnya, ketika performa menjadi tujuan, maka keadilan kehilangan tempat. Keadilan tidak bisa dipentaskan. Ia lahir dari proses yang lambat, mendalam, dan partisipatif. Amartya Sen menekankan bahwa keadilan bukan hanya soal institusi yang ideal, tetapi pengalaman konkret dari manusia yang hidup di tengah ketidaksetaraan.

Maka tugas pemerintahan bukan menciptakan impresi, tetapi menyusun keadilan dalam tindakan, membuka ruang dialog, mendengar mereka yang terpinggirkan, dan membangun sistem yang bukan hanya efisien, tapi juga empatik.

Baca Juga: Kritisi 100 Hari Kerja Bupati Sukabumi, Dewan Hera Iskandar Beri 4 Catatan

Pekerjaan Rumah yang Tak Bisa Diselesaikan dalam 100 Hari

Seratus hari seharusnya menjadi masa transisi yang jujur, bukan pertunjukan yang glamor. Pemerintah daerah harus berani menolak logika populisme instan, dan beralih pada kerja jangka panjang yang mengakar. Evaluasi bukan hanya soal cepat atau lambat, tetapi soal arah dan keberpihakan. Dalam hal ini, DPRD, pers lokal, akademisi, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab untuk memindahkan fokus publik dari yang tampak ke yang esensial.

Tapi kita tahu, tantangan pemerintahan lokal bukan hanya soal waktu, tapi soal keberanian menembus akar masalah yang sering dihindari. Di Kabupaten Sukabumi, pekerjaan rumah yang menumpuk itu bukan rahasia umum. Dari persoalan jalan rusak di wilayah selatan yang bertahun-tahun diabaikan, hingga problem tata ruang yang terkesan membiarkan desa-desa terjebak dalam ketertinggalan dan rawan bencana ekologis.

Belum lagi problem klasik dalam pengelolaan tenaga kerja, maraknya percaloan, dan absennya reformasi menyeluruh dalam sistem rekrutmen ASN maupun buruh migran. Kondisi ini diperburuk dengan menumpuknya regulasi yang saling tumpang tindih kendati kosong secara substansi.

Di sisi lain, minimnya kreativitas dalam memaksimalkan potensi khas daerah juga menjadi catatan kelam yang tak boleh diabaikan. Kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, yang secara formal telah diakui UNESCO sebagai bagian dari Global Geoparks Network, belum sepenuhnya dikelola sebagai kekuatan ekonomi berbasis ekowisata dan edukasi. Begitu pula GURILAPS (Gunung, Rimba, Laut, Pantai, Sungai), yang selama ini hanya dijadikan jargon promosi sesaat tanpa strategi lintas sektor yang konkret dan berkelanjutan.

Padahal, jika dikelola dengan visi dan kolaborasi, GURILAPS bisa menjadi sumber pembiayaan pembangunan, pembuka lapangan kerja, sekaligus sarana pendidikan ekologis yang membentuk kesadaran generasi muda. Tapi tanpa imajinasi politik yang kuat, semua potensi ini hanya menjadi lanskap indah dalam brosur promosi, tapi tak pernah benar-benar menyentuh hidup warga.

Sementara itu di Kota Sukabumi, tantangan tak kalah serius. Keterbatasan lahan mendorong ketimpangan pemukiman, ruang terbuka hijau terus menyusut, dan indeks kemiskinan kota yang stagnan tak bisa diselesaikan hanya dengan program pelatihan atau UMKM simbolik. Di bidang pendidikan dan kesehatan, Kota Sukabumi masih kekurangan SDM yang memadai, sementara distribusi layanan belum merata hingga ke pinggiran. Semua ini bukan persoalan 100 hari, melainkan persoalan keberanian politik dalam lima tahun yang utuh, dan bahkan jauh setelahnya.

Belakangan, strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga mulai menjadi sorotan. Tagline “Sukabumi Kota Wakaf”, misalnya, menuai berbagai reaksi publik, dari yang mengapresiasi hingga yang skeptis.

Di satu sisi, jika dikelola secara serius dan profesional, narasi Kota Wakaf berpotensi menjadi arus baru ekonomi spiritual-sosial yang tidak hanya mengandalkan pajak dan retribusi, melainkan juga memberdayakan nilai-nilai keislaman untuk menghidupkan aset umat, menggerakkan UMKM syariah, hingga membangun sistem pelayanan sosial berbasis solidaritas. Ini bisa menjadi model hibrida antara modernisasi fiskal dan etika keadilan distributif.

Namun di sisi lain, bila hanya dijadikan slogan seremonial tanpa sistem kelembagaan yang kuat dan pengawasan yang transparan, proyek Kota Wakaf berisiko menjadi jargon kosong, simbol moralitas yang tak punya dampak konkret bagi kesejahteraan masyarakat. Wakaf bukan sekadar donasi harta, tapi butuh tata kelola aset publik, trust masyarakat, akuntabilitas, dan kesinambungan politik.

Selain itu, strategi PAD Kota Sukabumi secara umum perlu ditinjau kembali: ketergantungan pada sektor parkir, reklame dan retribusi kecil-kecilan tanpa lompatan inovatif dalam hal digitalisasi ekonomi; miskin kerja sama lintas daerah atau transformasi kawasan heritage, kuliner dan wisata kota menjadi sumber pendapatan berkelanjutan, kota ini membutuhkan visi fiskal yang bukan hanya cerdas, tapi juga adil, berbasis partisipasi warga dan akuntabilitas ruang.

Baca Juga: DOB Sukabumi Utara Menggema Lagi, Komisi I DPRD Siap Kawal Pemekaran Wilayah

Saatnya Menginterupsi Naskah Teaternya

Maka, jika seratus hari dijadikan panggung untuk pencitraan, siapa yang akan turun ke lorong-lorong yang sunyi itu? Jika kekuasaan hanya sibuk tampil, siapa yang akan bekerja diam-diam memperbaiki akar keadilan sosial yang keropos?

Apalagi ketika kekuasaan hari ini tampak lebih sibuk menata relasi kuasa daripada merumuskan arah pembangunan. Terlalu takut pada suara kritis, terlalu sibuk menegosiasikan proyek, dan terlalu mudah terjebak dalam logika transaksional yang membungkam imajinasi. Seolah-olah visi bisa diganti dengan akomodasi, dan masa depan cukup dibentuk lewat konsensus diam-diam dengan kekuatan yang lebih ditakuti daripada didengar.

Padahal, kota dan kabupaten ini tak dibangun oleh rasa takut. Ia menunggu keberanian untuk membongkar kebiasaan lama dan menyusun arah baru, dengan keyakinan, bukan kompromi. Politik yang baik bukanlah panggung. Politik yang baik adalah kerja diam-diam yang membangun pondasi kehidupan.

Jika kekuasaan hanya hadir untuk dipertontonkan, maka rakyat hanya akan menjadi bayangan dari demokrasi yang kosong. Maka, dalam seratus hari pertama ini, kita seharusnya tidak hanya menonton teater kekuasaan, tapi kita harus menginterupsi naskahnya, sebelum panggung itu menjadi milik elite semata.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Berita Terkait
Berita Terkini