Saat Negara Bahas Rojali, Rombongan Jarang Beli: Gaya Hidup atau Potret Kemiskinan

Sukabumiupdate.com
Sabtu 26 Jul 2025, 14:04 WIB
Saat Negara Bahas Rojali, Rombongan Jarang Beli: Gaya Hidup atau Potret Kemiskinan

Ilustrasi mall di Sukabumi. Fenomena Rojali dibahas publik, rombongan jarang beli (Sumber: dok/su)

SUKABUMIUPDATE.com - Akhir-akhir ini Rojali atau Rombongan Jarang Beli jadi perbincangan publik di Indonesia. Fenomena sosial dan ekonomi ini bahkan ikut dibahas oleh negara dan pemerintah.

Fenomena Rojali nyata dan terjadi disekitar kita, di pusat-pusat perbelanjaan atau mall, industri ritel yang semakin tergerus oleh digitalisasi pemasaran. Istilah yang merujuk pada masyarakat yang hanya datang ke pusat perbelanjaan untuk jalan-jalan atau cuci mata', jarang bahkan tidak membeli produk-produk dagangan yang ada di sana.

Potret Rojali diungkap dalam data oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga ini menyebut Rojali sebagai cerminan potensi tekanan ekonomi pada kelompok rumah tangga tertentu.

Baca Juga: Ceraikan Suami Setelah Diangkat Jadi ASN P3K, Ada apa dengan Bu Guru?

Melansir suara.com, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkapkan bahwa fenomena 'Rojali' patut diamati lebih jauh. Meskipun tidak selalu mencerminkan kemiskinan, Ateng menekankan ini adalah gejala sosial yang bisa mengindikasikan tekanan ekonomi, terutama pada kelompok rentan.

"Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi tentunya relevan dilihat sebagai gejala sosial dan bisa jadi ada untuk refresh atau tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan," kata Ateng dalam konferensi pers, Jumat 25 Juli 2025.

Yang mengejutkan, fenomena 'Rojali' ini ternyata tidak hanya menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah, melainkan juga bisa dilakukan warga kelas atas. Ateng mengungkapkan, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, terjadi kecenderungan kelompok masyarakat atas agak menahan konsumsi.

Baca Juga: Ini Aturannya! SMA SMK dan SLB Negeri di Jabar Dilarang Jualan Seragam, Buku Pelajaran Termasuk LKS

Ateng menyebut data tersebut menunjukkan bahwa daya beli masyarakat, bahkan di lapisan atas, sedang di hold atau ditahan dulu. Ini berarti, sinyal tekanan ekonomi bisa jadi lebih meluas dari yang diperkirakan, karena juga dilakukan oleh segmen masyarakat yang selama ini dikenal memiliki daya beli tinggi.

Fenomena 'Rojali' ini, menurut BPS, penting untuk dicermati oleh pemerintah. Ini adalah sinyal yang harus direspons dengan mendesain ulang arah kebijakan. BPS menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada upaya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga harus mulai memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah.

"Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah," pungkas Ateng.

Baca Juga: Ngaku Petugas Kecamatan, Penipu Modus PKH Ditangkap Saat Beraksi di Kalapanunggal Sukabumi

Menteri ungkap Trend Baru Warga ke Mall

Masih dari suara.com, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ikut angkat bicara terkait tren ini, di mana masyarakat ramai-ramai mendatangi mal namun minim belanja alias beli. Menurut Airlangga, ada pergeseran signifikan dalam perilaku konsumen.

"Sekarang memang trennya kebanyakan ke mal itu makan dan itu beberapa lama terakhir kan trennya ke sana. Makanya banyak mal yang memperbanyak kuliner," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat 25 Juli 2025.

Airlangga menggarisbawahi realitas bahwa mal-mal kini lebih berfungsi sebagai destinasi kuliner dan rekreasi sosial, bukan lagi semata-mata pusat belanja. Tak heran jika banyak pengelola mal berlomba-lomba memperluas area food court dan deretan restoran, demi menarik pengunjung yang kini berorientasi pada pengalaman bersantap.

Baca Juga: Update Pengungkapan Kasus Kematian Diplomat Kemlu Terbungkus Lakban di Kamar Kos

Selain itu, Airlangga juga menyoroti beralihnya pola perbelanjaan ke platform online. Kemudahan dan beragam pilihan yang ditawarkan e-commerce menjadi daya tarik utama yang mengikis kunjungan belanja fisik ke mal. Kalau pun ada daya tarik belanja di mal, kata Airlangga, itu pun harus didorong dengan berbagai acara menarik dan gelontoran diskon besar-besaran.

Ini menjadi tantangan besar bagi para peritel konvensional yang harus berjuang keras di tengah ketatnya persaingan dengan toko online. Oleh karena itu, pemerintah melalui Bidang Perekonomian akan terus mendorong pelaku usaha untuk berinovasi. Membuat berbagai acara yang memikat dan rajin memberikan diskon menjadi strategi utama untuk kembali menarik minat belanja masyarakat di mal.

"Ini diupayakan pemerintah untuk mendorong ada event baru lagi untuk diskon. Kalau ke depan ya kita persiapkan lagi untuk Nataru di akhir tahun," ujar Airlangga. Pemerintah bahkan sudah menyiapkan gelaran diskon besar-besaran menyambut Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025-2026.

Baca Juga: Kala Pemilik Rumah Singgah Cidahu Pilih Salurkan Bantuan KDM ke Keluarga Tersangka

Rojali Dimata Pemerhati Gaya Hidup

Fenomena Rojali di mal atau rombongan jarang beli kerap dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan. Sekelompok orang datang yang hanya jalan-jalan di mall , kadang hanya tanya-tanya harga, coba produk, akhirnya tidak membeli apapun, coba diulas oleh psikolog klinis dan forensik, Kasandra Putranto.

Ia menyebut fenomena ini berkaitan dengan berbagai aspek psikologis dan budaya masyarakat Indonesia. Rojali di mal bukan sekadar soal tidak mampu membeli. Aktivitas ini dapat mencerminkan kebutuhan sosial, pencitraan, hingga tekanan norma budaya.

Kasandra Putranto mengungkap 5 alasan dibalik perilaku tersebut.Pertama, Kebutuhan Sosial dan Aktualisasi Diri. Kasandra menjelaskan bahwa perilaku rojali di mal dapat dikaitkan dengan teori hierarki kebutuhan. Pergi ke mal bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis seperti membeli barang, tapi juga menjadi bagian dari pencapaian kebutuhan sosial dan aktualisasi diri. Aktivitas seperti berkumpul, refreshing, atau sekadar jalan-jalan bisa memberikan kepuasan emosional dan meningkatkan perasaan diterima dalam kelompok.

Baca Juga: Pelajar Sukabumi Ungkap Suasana Belajar di Kelas dengan Rombel 50 Orang

Kedua, Strategi Pembentukan Citra Diri. Sering kali orang berpura-pura tertarik pada suatu barang atau bertingkah seperti calon pembeli, semata untuk membentuk citra diri. Tujuannya adalah terlihat memiliki daya beli di mata pramuniaga, teman, bahkan diri sendiri. Menurut Kasandra, tindakan ini muncul dari keinginan untuk dihargai dan merasa selevel dengan lingkungan sosial yang konsumtif.

Ketiga, Perlindungan Harga Diri. Ketika seseorang menyadari dirinya tidak mampu membeli barang yang diinginkan, namun tetap ingin mempertahankan harga diri, maka ia akan melakukan tindakan seolah-olah membeli. Ini adalah bentuk mekanisme pertahanan psikologis untuk menghindari rasa malu, kecewa, atau rendah diri. Kasandra menyebut ini sebagai bentuk konflik batin yang sering terjadi di lingkungan penuh tekanan sosial.

Keempat, Pengaruh Norma Sosial dan Budaya. Dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, sering kali pengunjung merasa tidak enak hati jika langsung menolak penawaran penjual. Oleh karena itu, mereka memilih berpura-pura tertarik agar tetap terlihat sopan. Ini merupakan bentuk konformitas terhadap norma sosial yang menghargai keramahan dan interaksi baik, bahkan dalam konteks jual-beli.

Baca Juga: Vonis 3,5 Tahun Penjara Kasus Suap Komisioner KPU, Hasto Kristiyanto: Hukum jadi Alat Kekuasaan

Kelima, Proses Pencarian Informasi Pra-Pembelian. Fenomena window shopping atau sekadar melihat-lihat tanpa membeli merupakan hal yang wajar dalam proses pembelian. Menurut Kasandra, banyak konsumen yang sedang melakukan riset atau mempertimbangkan pilihan sebelum membeli. Mereka datang untuk mengumpulkan informasi, membandingkan harga, atau menilai kualitas produk, yang merupakan tahapan penting dalam proses pengambilan keputusan.

Sumber: sumber.com

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini