SUKABUMIUPDATE.com - Agenda Sidang MK kali ini yakni mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Derek Loupatty selaku Pihak Terkait pengujian UU Pemilu dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang digelar Senin (15/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Derek menghadirkan tiga orang ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan, yakni Titi Anggraini (pegiatan dan praktisi pemilu), Zainal Arifin Mochtar (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta), dan Khairul Fahmi (Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Pemilihan Umum Fakultas Hukum Universitas Andalas).
Dalam sidang, Titi yang hadir secara luring menyebut, pilihan proporsional terbuka secara gradual tersebut dibatalkan MK melalui Putusan No.22-24/PUU-VI/2008. MK menyebut setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.
“Sehingga persyaratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak maka akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif,” kata Titi.
Titi berharap, di masa depan sangat mungkin ada evaluasi ataupun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.
Oleh karena itu, menurut Titi, bila menilik beberapa Putusan MK termutakhir, maka sudah sewajarnya jika MK menempatkan pengaturan soal sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.
MK juga penting menegaskan dalam putusannya terkait konsistensi pilihan sistem pemilu terhadap berbagai variabel teknis yang menyertainya sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Misalnya saja, tidak relevannya penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos partai pada sistem proporsional terbuka dengan popular vote (suara terbanyak murni).
Apabila masih diperbolehkan mencoblos tanda gambar partai maka partai menjadi wajar untuk diperbolehkan menentukan preferensi caleg pilihannya apabila partai memperoleh suara terbanyak. Hal itu misalnya seperti di sistem pemilu Australia yang mengenal konsep below the line dan above the line.
Below the line pemilih sepenuhnya memilih pemeringkatan caleg sesuai kehendaknya, sedangkan pada above the line pemilih memberikan otoritas pada caleg untuk menentukan caleg yang akan memperoleh suara. Tentu detail teknisnya harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang maupun Peraturan KPU.
Ke depannya, bila akan dilakukan peninjauan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang, maka mestilah dilakukan secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai. Harus dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat.