Starlink Menjanjikan Internet, Berjatuhan Sisakan Sampah Antariksa?

Sukabumiupdate.com
Senin 13 Okt 2025, 07:23 WIB
Starlink Menjanjikan Internet, Berjatuhan Sisakan Sampah Antariksa?

Starlink: Koneksi cepat datang dengan risiko orbit tercemar. (Sumber : Canva)

SUKABUMIUPDATE.com - Upaya ambisius Elon Musk dengan konstelasi satelit Starlinknya telah menghasilkan berton-ton sampah antariksa. Astrofisikawan Jonathan McDowell memprediksi, satu hingga dua satelit Starlink jatuh kembali ke Bumi setiap harinya dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat. SpaceX telah meluncurkan lebih dari 8.000 satelit sejak tahun 2019 dengan masa pakai sekitar lima tahun sebelum kemudian diarahkan kembali ke atmosfer Bumi.

Namun, kita coba skenario ini! Bayangkan, Anda seorang guru di sebuah sekolah kecil di pedalaman Halmahera. Setiap hari, Anda berjuang mengunduh materi ajar dengan sinyal yang hilang-timbul. Lalu, sebuah perangkat sebesar piringan bernama Starlink hadir. Dalam hitungan menit, dunia maya yang sebelumnya terasa jauh, kini ada di ujung jari. Anda bisa mengakses video pembelajaran, anak-anak bisa menjelajahi pengetahuan baru dengan lancar.

Hal tersebut adalah revolusi, janji Starlink sedang diwujudkan di Indonesia. Dan, bagi daerah tertinggal, terluar, dan terdepan dari negeri ini (3T), kehadirannya bagai oase di padang pasir digital. Kecepatannya yang disebut-sebut bisa menembus 200 Mbps, dengan setup yang mudah, telah mengubah hidup banyak pelaku usaha wisata di daerah terpencil, relawan bencana, dan masyarakat yang terisolasi.

Baca Juga: Tangan Muda di Lahan Tua: Cerita Panen Edamame Organik Bersama Gen Z Sukabumi

Baca Juga: Atap Kelas Ambruk, Anggota DPRD Sukabumi Soroti Siswa Belajar di Ruang Guru

Sisi Lain yang Mengkhawatirkan Hujan Sampah dari Orbit

Namun, di balik kisah sukses menghubungkan pelosok Bumi, ada narasi lain yang tertulis di langit narasi yang jauh dari kata "bersih".

Upaya ambisius Elon Musk ini memiliki konsekuensi yang mencemaskan. Setiap harinya, satu atau dua satelit Starlink berakhir hidupnya dengan jatuh kembali ke Bumi. Mengapa ini terjadi?

Masa Pakai yang Pendek: Satelit Starlink dirancang dengan masa operasional sekitar lima tahun. Bandingkan dengan satelit tradisional yang bisa beroperasi puluhan tahun.

Skala yang Masif: Dengan lebih dari 8.000 satelit yang telah diluncurkan sejak 2019, dan rencana puluhan ribu lagi, ini menciptakan siklus penggantian yang terus-menerus. Setiap satelit yang habis masa pakainya harus "dipensiunkan".

Ilustrasi Orbit BumiRevolusi internet satelit seperti Upaya Elon Musk menghadirkan starlink bagai dua sisi mata uang: menghubungkan daerah terpencil Indonesia dengan kecepatan tinggi, namun menyisakan masalah sampah antariksa yang mengkhawatirkan dari ribuan satelit yang jatuh setiap tahunnya.

Baca Juga: Semangat Muda Ala T-Five x Melly Mono, Musik Mantap Pesona Alam di Funcamp 2025 Situ Gunung Sukabumi

Apa Arti "Jatuh ke Bumi" dan Risikonya?

Ketika satelit ini ditarik kembali, mereka tidak langsung lenyap. Prosesnya disebut "disposal reentry". Sebagian besar komponennya akan terbakar habis di atmosfer akibat gesekan dan panas yang luar biasa. Namun, menurut para ilmuwan seperti Astrofisikawan Jonathan McDowell dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, tidak semua bagian habis terbakar.

Beberapa komponen yang tahan banting dan berukuran cukup besar, seperti bagian dari propulsi atau struktur pendukung, berpotensi mencapai permukaan Bumi. Meski risiko secara statistik lebih besar jatuh di lautan yang luas atau area tak berpenghuni, prinsip "risiko rendah" bukan berarti "risiko nol". Setiap potongan yang berhasil mencapai tanah adalah ancaman, sekecil apa pun.

Masalah selain risiko fisik:

  1. Polusi Kimia: Pembakaran satelit di atmosfer melepaskan partikel-partikel kimia yang dapat mengotori lapisan atmosfer atas, dengan dampak jangka panjang yang masih diteliti.
  2. Mengotori Langit Malam: Konstelasi satelit yang masif ini telah mengganggu pengamatan astronomi. Teleskop-telesop canggih di seluruh dunia kesulitan mengambil gambar langit malam yang jernih karena dilintasi oleh jejak-jejak satelit yang terang.

Baca Juga: Meta Ubah Wajah Facebook! AI Bakal Bikin Reels Lebih Personal dan Interaktif

Baca Juga: Lulusan Lama dan Batas Satu Tahun yang Tak Adil

Sebuah Pilihan yang Sulit tentang Konektivitas vs. Kelestarian Orbit Bumi

Di sinilah kita dihadapkan pada sebuah dilema modern yang pelik. Di satu sisi, Starlink adalah solusi nyata dan tercepat untuk masalah ketimpangan digital yang dihadapi oleh jutaan orang, termasuk di Indonesia. Ia membawa pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.

Di sisi lain, ia berkontribusi pada masalah global yang serius: sampah antariksa. Setiap satelit yang jatuh adalah pengingat bahwa kita sedang "mengotori halaman belakang" kita sendiri, yaitu orbit Bumi, yang bisa berakibat pada keselamatan misi antariksa di masa depan dan kemurnian langit.

Masa Depan yang Perlu Dipertimbangkan dengan Bijak

Starlink bukanlah teknologi yang hitam-putih. Ia adalah warna abu-abu yang kompleks. Bagi Indonesia, kehadirannya adalah sebuah anugerah untuk mendobrak isolasi digital. Namun, sebagai bagian dari komunitas global, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap dampak lingkungan antariksa yang ditimbulkannya.

Pertanyaannya sekarang bukan lagi hanya "Seberapa cepat koneksinya?" atau "Berapa biayanya?", tetapi juga "Sudah siapkah kita menerima konsekuensi dari sampah antariksa yang dihasilkan untuk menikmati koneksi ini?"

Perlu ada tekanan global pada perusahaan seperti SpaceX untuk mengembangkan teknologi daur ulang satelit yang lebih baik, atau metode "deorbit" yang lebih bersih. Sebagai pengguna, kita harus menyadari bahwa setiap bit data yang mengalir dari langit memiliki jejak ekologisnya sendiri sebuah jejak yang tertinggal di orbit Bumi, jauh di atas kita.

(Berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini