SUKABUMIUPDATE.com - Praktik penagihan utang oleh debt collector yang semakin meresahkan dan kerap berujung pada tindak kriminal membuat Parlemen geram. Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, secara tegas mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghapus pasal yang melegalkan penggunaan jasa penagih utang pihak ketiga.
Aturan yang menjadi sorotan adalah pasal 44 ayat (1) dan (2) dalam Peraturan OJK (POJK) nomor 22 tahun 2023 tentang perlindungan konsumen. Menurut Abdullah, pasal inilah yang menjadi payung hukum bagi maraknya aksi brutal debt collector di lapangan yang jauh dari aturan dan justru melahirkan banyak kasus pidana.
“Saya mendesak OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga,” ujar Abdullah dalam keterangan resminya.
“Alasannya, praktik di lapangan tidak sesuai aturan dan malah banyak tindak pidana, saya mendorong juga masalah utang ini diselesaikan secara perdata,” sambungnya.
Baca Juga: Terungkap, Identitas Mayat Mengambang di Sungai Cikaso Sukabumi Ternyata ODGJ Asal Waluran
Abdullah mengaku miris dengan serangkaian peristiwa kekerasan yang melibatkan para pernagih utang. Ia mencontohkan kasus terbaru di mana seorang debt collector berinisial L (38 tahun) nekat mengancam akan menghajar seorang anggota Polisi saat hendak menarik mobil di Tanggerang pada kamis (2/10/2025). Pelaku kini telah ditetapkan tersangka.
Tidak hanya itu, insiden lain terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah di hari yang sama. Mobil yang digunakan debt collector jadi sasaran amuk warga dan ditimpuki batu karena mengebut dan membuat keributan di area pemukiman saat hendak melakukan penarikan kendaraan.
“pelanggaran yang dilakukan penagih utang ini sudah banyak diadukan,” jelas Abdullah.
Data dari OJK sendiri seolah mengkonfirmasi keganasan ini. Selama periode Januari hingga Juni 2025 saja, tercatat ada 3.858 aduan terkait prilaku penagihan oleh pihak ketiga yang tidak sesuai ketentuan.
Abdullah menyoroti bahwa para penagih ini diduga kuat melakukan berbagai tindak pidana, mulai dari pengancaman, kekerasan hingga tindakan mempermalukan debitur.
“namun pertanyaan saya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau bahkan pidana?,” tukasnya.
Baca Juga: Disdik Kabupaten Sukabumi Perketat Tertib Administrasi dan Pengelolaan Aset Sekolah
Sebagai solusi, Abdullah mendorong agar sengketa utang-pitutang dikembalikan ke ranah hukum perdata. Dengan mekanisme ini menurutnya, resiko tindak pidana dapat diminimalisir karena semua proses harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku, mulai dari penagihan, penjaminan hingga penyitaan.
“Melalui perdata, perusahaan jasa keuangan harus mengikuti menkanisme yang ada, mulai dari penagihan, penjaminan sampai penyitaan,” sebutnya.
Debitur yang tidak mampu bayar pun akan tercatat dalam daftar hitam nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Dengan ini, menurut Abdullah, didasarkan para perspektif hukum dan HAM yang harus melindungi konsumen. Meskipun penagihan adalah hak kreditur, prosesnya tidak boleh mengabaikan hak asasi manusia.
“Maka itu, sekali lagi saya tegaskan, negara hukum yang beradab tidak mengukur keberhasilan hukum dari seberapa banyak orang dipaksa membayar utang, melainkan dari seberapa jauh hak manusia dihormati dalam proses itu,” pungkasnya.
Sumber : Suara.com