Salah Urus Satu Keluarga Tak Seharusnya Hentikan Dana Desa

Sukabumiupdate.com
Kamis 28 Agu 2025, 16:46 WIB
Salah Urus Satu Keluarga Tak Seharusnya Hentikan Dana Desa

Eman Sulaeman, S.IP. Mahasiswa Pasca Sarjana UMMI | Foto : Dok.Istimewa

Oleh: Eman Sulaeman, S.IP. Mahasiswa Pasca Sarjana UMMI

Belakangan publik digemparkan oleh kasus salah asuh anak di Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Kasus ini mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk Gubernur Jawa Barat yang mewacanakan penghentian sementara dana desa sebagai bentuk respons. Sekilas, kebijakan tersebut tampak tegas. Namun, jika ditelaah lebih jauh, langkah ini justru berisiko melahirkan ketidakadilan baru bagi masyarakat luas.

Dana desa bukanlah hadiah, melainkan hak kolektif masyarakat desa untuk membangun kehidupannya. Selama ini dana desa terbukti menjadi instrumen vital: membangun jalan, jembatan, posyandu, sekolah PAUD, hingga program pemberdayaan ekonomi. Menghentikan penyaluran dana desa hanya karena kesalahan pengasuhan anak dari satu keluarga, sama saja dengan menghukum seluruh warga desa yang tidak bersalah.

Kita tentu tidak menutup mata terhadap masalah salah asuh anak. Negara memang berkewajiban hadir, melindungi, dan memberikan penanganan tepat. Namun, penyelesaiannya harus menyasar keluarga yang bermasalah, bukan dengan menghentikan aliran dana pembangunan. Logika kebijakan seperti ini akan menciptakan preseden buruk: apakah setiap masalah sosial individu atau keluarga akan dijadikan dasar penghentian dana desa? Jika iya, maka tujuan utama dana desa untuk mengurangi kesenjangan dan mempercepat pembangunan bisa terganggu.

Baca Juga: KKN UMMI di Bojong Tugu, Sinergi Mahasiswa dan Warga Wujudkan Desa Cerdas Sehat dan Berdaya Saing

Langkah yang lebih tepat seharusnya adalah memperkuat sistem perlindungan anak, memperluas edukasi parenting, serta menghadirkan konseling keluarga di desa-desa. Pendekatan berbasis pendampingan sosial jauh lebih solutif dibanding kebijakan reaktif yang menyandera kepentingan publik.

Gubernur sebagai pemimpin daerah tentu memiliki tanggung jawab untuk menegakkan aturan dan melindungi anak. Namun, ia juga perlu memastikan pembangunan desa tidak terhambat. Menghentikan dana desa akan mematikan banyak program yang justru bermanfaat bagi tumbuh kembang anak, seperti perbaikan gizi, layanan kesehatan, dan pendidikan dasar. Ironis bila dengan alasan melindungi anak, kebijakan yang diambil malah merugikan ribuan anak lain di desa.

Jangan sampai kita terjebak pada pendekatan hukuman kolektif. Kesalahan satu keluarga tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghentikan denyut pembangunan di seluruh desa. Masyarakat desa berhak atas dana pembangunan, dan hak itu tidak boleh dikorbankan karena persoalan yang sebetulnya bisa ditangani secara lebih tepat sasaran.

Pada akhirnya, keberanian seorang pemimpin bukan diukur dari seberapa keras ia memberi sanksi, melainkan seberapa bijak ia mengambil keputusan yang menyelamatkan kepentingan masyarakat luas.

Berita Terkait
Berita Terkini