Refleksi Hari Kartini: Merayakan Jejak, Menyulam Masa Depan

Sukabumiupdate.com
Senin 21 Apr 2025, 17:11 WIB
Hari Kartini 2025 | Foto : Freepik.com

Hari Kartini 2025 | Foto : Freepik.com

Penulis : Hamidah, M.Pd,./Praktisi Pendidikan

Setiap tanggal 21 April, kita mengheningkan cipta untuk mengenang Raden Ajeng Kartini—seorang perempuan yang di erang kolonialisme berani bermimpi tentang kesetaraan, pendidikan, dan kemandirian bagi kaumnya. Namun, di tengah gemerlap peringatan Hari Kartini, ada pertanyaan yang perlu kita gali lebih dalam: Sudah sejauh manakah perempuan Indonesia mewarisi semangat Kartini hari ini?

Kartini bukan sekadar simbol kebaya dan konde, melainkan representasi perlawanan terhadap belenggu patriarki yang membisikkan narasi, "Perempuan cukup di sumur, kasur, dapur." Surat-suratnya (Habis Gelap Terbitlah Terang) adalah manifestasi kegelisahan sekaligus harapan: bahwa perempuan berhak menjadi subjek, bukan objek sejarah.

Di Manakah Kita Hari Ini?

Perempuan Indonesia telah mencatat banyak kemajuan: akses pendidikan yang lebih terbuka, keterwakilan politik yang perlahan meningkat, dan kesadaran akan hak-hak kesehatan reproduksi. Namun, di balik itu, ketimpangan masih nyata:
- Kekerasan berbasis gender yang tak kunjung usai (Catatan Komnas Perempuan: 3.000+ kasus kekerasan dalam pacaran di 2023).
- Beban ganda perempuan bekerja yang diharapkan "sempurna" di ranah domestik dan publik.
- Stigma yang mengkerdilkan perempuan di luar peran tradisional: "Kamu terlalu ambisius," atau "Nanti siapa yang akan menikahimu?"

Meneruskan Estafet Kartini di Era Modern

Semangat Kartini harus diterjemahkan secara kontekstual:
1. Literasi Kritis*: Kartini membaca, lalu menulis. Perempuan hari ini perlu melek bukan hanya huruf, tetapi juga sistem yang menindas—mulai dari bias algoritma media sosial hingga kebijakan yang tidak inklusif.
2. Solidaritas, Bukan Kompetisi: Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan lain. Kini, kita perlu saling mendukung, bukan terjebak dalam *internalized misogyny yang membandingkan dan menghakimi sesama perempuan.
3. Menggugat Dominasi Ruang*: Jika dulu Kartini memperjuangkan akses ke kelas, sekarang kita harus merebut ruang di parlemen, laboratorium teknologi, dan pusat-pusat ekonomi.

Sebuah Catatan untuk Diri Sendiri

Hari Kartini bukan sekadar seremonial. Ia adalah cermin: Apa yang sudah saya lakukan untuk perempuan lain? Setiap tindakan kecil—mulai dari mendidik anak lelaki kita menghargai kesetaraan, hingga berani menolak lelucon seksis—adalah cara kita menghidupkan roh perjuangan Kartini.

Di ujung refleksi ini, kita ingat pesan Kartini: "Ada dua macam kewajiban, kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang banyak." Perjuangan belum usai—kita adalah Kartini-Kartini baru yang harus terus menyalakan lilin di tengah gelapnya ketidakadilan.

Selamat Hari Kartini. Teruslah bersuara, teruslah bergerak.

Berita Terkait
Berita Terkini