Di Balik Absurditas Pantun Sunda, Bagaimana Bisa Capung Jadi Pejabat? Ngakak Dulu,We!

Sukabumiupdate.com
Minggu 12 Okt 2025, 07:00 WIB
Di Balik Absurditas Pantun Sunda, Bagaimana Bisa Capung Jadi Pejabat? Ngakak Dulu,We!

Bagaimana bisa Papatong jadi Wadana? Capung bisa jadi Pejabat? ada relevansi di era digital dalam pantun Sunda jenaka yang terdengar absurd (Sumber: Canva)

SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah kekayaan sastra lisan Sunda, Pantun Sunda hadir sebagai warisan budaya yang cerdas, menggunakan metafora jenaka dan terkadang absurd untuk menyampaikan kearifan hidup yang mendalam. Penting untuk dicatat bahwa karakter yang dianggap "jorang" (nyentrik atau sedikit vulgar) pada pantun ini bukanlah makna hakiki dari pantun itu sendiri.

“Ngakak guling-guling, Mang! Karak ayeuna nguping pantun kocak kieu, dekah!” kata seorang milenials Sukabumi yang enggan disebut namanya, saat penulis menyampaikan pantun buhun ini. Pengakuannya bisa saja perdana, tapi Sundanesse memang dikenal dengan entitas yang senang guyon. Namun, bisa kita ambil kesimpulan, Itu artinya jiwa "Jorang" dan absurditas Pantun Sunda-nya sudah nyampe bener nih ke hati dan perut dia!

“Bahasanya tuh emang gitu kadang bikin bingung, kadang bikin mikir, tapi ujung-ujungnya bikin ketawa duluan. Kaya nenek-nenek metot tali calana sambil ngajak katukang... siapa coba yang nggak kebayang visualnya dan langsung senyum-senyum sendiri?” demikian, respon.

Baca Juga: Jawa Barat Jadi Destinasi Wisata Ramah Muslim Terbaik Nasional

Nah, berarti kita sepakat! Pantun Sunda itu bukan cuma budaya, tapi juga semacam terapi tawa yang mengunakan logika kearifan terselubung.

Sifat "jorang" atau tidaknya sepenuhnya bergantung pada "Theatre of Mind" (Bagaimana isi kepala bayangan individual masing-masing) pendengar, yang sejatinya adalah alat retorika yang cerdas, dirancang untuk memancing tawa dan perhatian sebelum menyuguhkan nilai-nilai luhur yang membumi, yakni Pantun Sunda atau Papantunan.

Bagi telinga yang belum terbiasa, pantun ini mungkin terdengar mengejutkan, penuh dengan gambaran yang absurd dan terkesan "jorang" (jenaka, nyentrik, vulgar dan berani)  seperti seekor capung yang menjadi wadana atau seorang nenek yang menarik tali celana.

Namun, di sinilah letak kecerdasan budaya Sunda. Absurditas dan kejenakaan bukanlah kekurangan, melainkan strategi komunikasi dan pendidikan karakter yang canggih. Pantun Sunda seperti sistem nilai yang hidup, yang mengajarkan kita untuk menemukan makna yang paling dalam, dalam konteks pantun jenaka ini justru ada makna tersembunyi di balik kelucuan yang paling mustahil.

Baca Juga: KDM: Gerakan Poe Ibu Bukan Baru, Hanya Menghidupkan Kembali Tradisi Gotong Royong

Inti Sastra Lisan Struktur Klasik Pantun Sunda

Pantun Sunda memiliki struktur baku yang terdiri dari empat baris:

  1. Sampiran (Baris 1 & 2): Bagian pembuka yang sering kali berisi deskripsi alam, teka-teki, atau situasi absurd yang berfungsi sebagai "pembajakan perhatian" (hook) dan penentu rima.
  2. Eusi (Isi/Baris 3 & 4): Bagian inti yang mengandung nasihat, kritik, atau makna sesungguhnya yang ingin disampaikan.

Struktur Pantun Sunda merupakan fondasi utama dari sastra lisan ini, yang secara baku terdiri dari empat baris dengan pembagian fungsi yang jelas. Dua baris pertama dikenal sebagai Sampiran, yang bertindak sebagai bagian pembuka dan berfungsi ganda sebagai penentu rima untuk baris berikutnya serta sebagai "pembajak perhatian" (istilah keren jaman kiwari mah, hook, cenah) dengan menyajikan deskripsi alam, teka-teki, atau yang paling khas situasi absurd yang jenaka.

Sementara itu, dua baris terakhir adalah Eusi (Isi), yang merupakan bagian inti yang mengandung nasihat, kritik, atau makna mendalam yang sesungguhnya ingin disampaikan kepada pendengar. Sebagai contoh, dalam pantun yang dibahas, baris "Kini kini kuang kuang papatong jadi wadana, Nini-nini ngajak katukang memetot tali calana" berfungsi sebagai sampiran yang absurd untuk menciptakan kejutan dan rima, yang kemudian diikuti oleh baris isi, "Atang etek kacang etek ngukuy belut di walungan, Akang getek akang getek geura cabut lalaunan," yang menjadi sarana penyampaian nasihat kehidupan.

Geura Cabut (Cepat/Segera) melambangkan Inisiatif cepat dan semangat tinggi untuk memulai, tidak menunda-nunda.Geura Cabut (Cepat/Segera) melambangkan Inisiatif cepat dan semangat tinggi untuk memulai, tidak menunda-nunda.

Mengapa Harus Absurd? Filosofi di Balik Kejenakaan

Para juru pantun (seniman pantun) zaman dahulu tahu betul bahwa pikiran manusia lebih mudah mengingat hal yang unik, lucu, atau tidak terduga. Absurditas dalam sampiran yang memiliki fungsi mendalam:

  1. Absurditas sebagai "Senam Otak" (Mental Agility)

Dengan menghadirkan "Papatong jadi wadana" (capung jadi pejabat), pantun sengaja mematahkan logika linear pendengar, seakan memaksa pikiran untuk beralih dari pemikiran harfiah ke pemikiran metaforis. Briliant! Musabab ini adalah cara tradisional Sunda melatih kelenturan berpikir (mental agility) kemampuan untuk menerima paradoks dan melihat masalah dari sudut pandang yang tidak konvensional.

  1. Strategi Pengingat yang Efektif

Otak akan lebih lama menyimpan memori yang terhubung dengan emosi kuat, seperti tawa. Dengan sampiran yang absurd, pesan moral dalam eusi (isi) akan tertanam lebih kuat dalam ingatan. Seseorang mungkin lupa nasihat yang kaku, tetapi akan selalu ingat nasihat yang dibungkus oleh kelucuan seorang nenek-nenek.

  1. Saluran Kritik Sosial yang Elegan

Gambaran yang absurd seringkali digunakan sebagai sindiran sosial yang halus. Misalnya, "Papatong jadi wadana" bisa menjadi kritik elegan terhadap sebuah fenomena kepemimpinan, bahwa terkadang pemimpin yang ada dan berkuasa ternyata tidak memiliki bobot atau wibawa yang seharusnya, alih-alih ringkih seperti capung. Wadidaw! Kritik ini disampaikan tanpa melukai, melainkan melalui senyuman bahkan ngakak guling-guling tadi.

Baca Juga: Jalur Sukabumi-Bogor Padat, Lonjakan Kendaraan Terjadi Sejak Malam Akhir Pekan

Perspektif yang Membangun Membaca Ulang Kearifan

Kunci untuk mengapresiasi Pantun Sunda adalah tidak terpaku pada kelucuan sampiran, tetapi melompat ke kedalaman maknanya.

Filosofi "Cepat tapi Pelan-Pelan" (Geura Cabut Lalaunan)

Bagaimana bisa cepat tapi pelan? Geura cabut lalaunan nampak bagai paradoks ini, justru mengandung logika hidup yang profundal. Esensinya terletak pada pemisahan antara kecepatan dalam niat dan keputusan dengan kesabaran dalam eksekusi dan proses.

Kita harus gesit dan berani dalam memulai sebuah langkah (geura cabut), mengambil inisiatif tanpa ragu-ragu. Namun, begitu kaki telah melangkah, perjalanan harus ditempuh dengan ketelitian, kesabaran, dan kesadaran penuh (lalaunan). Dengan demikian, falsafah ini bukanlah kontradiksi, melainkan sebuah resep seimbang untuk meraih tujuan tanpa mengorbankan kualitas, ketenangan, dan makna dari perjalanan itu sendiri.

Pesan inti dari pantun di atas terletak pada frasa "Geura cabut lalaunan" (cepatlah pergi/cabut, tapi pelan-pelan). Ini adalah sebuah paradoks yang jenius:

  • "Geura Cabut" (Cepat/Segera): Melambangkan Inisiatif Cepat dan semangat tinggi untuk memulai, tidak menunda-nunda.
  • "Lalaunan" (Pelan-Pelan/Hati-hati): Melambangkan Eksekusi yang Matang dan proses yang penuh kehati-hatian, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai Positif: Dalam konteks modern, ini adalah nasihat ideal untuk manajemen risiko dan keseimbangan hidup. Miliki ambisi yang cepat, tetapi eksekusi harus stabil, terencana, dan menghindari burnout atau kesalahan fatal. Kecepatan harus didampingi ketenangan.

Baca Juga: 20 Negara Telah Memastikan Diri Tampil di Piala Dunia 2026, Bagaimana Nasib Timnas Indonesia?

Filosofi "Keseimbangan dan Kolaborasi" (Nini-Nini dan Katukang)

Absurditas tentang "Nini-nini ngajak katukang memetot tali calana" juga memiliki makna sosial yang dalam:

  • Inklusivitas dan Integrasi Ilmu: Menggambarkan kolaborasi antara pengalaman hidup/tradisi ("nini-nini") dan keahlian/teknis ("katukang"). Penyelesaian masalah komunitas adalah urusan bersama.
  • Pentingnya Fondasi: "Memetot tali calana" (memperbaiki hal yang mendasar) menunjukkan bahwa isu-isu paling sederhana dan fundamental dalam masyarakat juga membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.

Relevansi Pantun Sunda di Era Digital

Di era post-truth dan serba instan, nilai-nilai dalam Pantun Sunda justru menjadi penyeimbang yang krusial.

  • Antidot terhadap Kepalsuan: Pantun melatih kita untuk tidak menerima informasi begitu saja pada "sampirannya" (yang absurd) atau penawar, tetapi selalu mencari eusi-nya (makna sebenarnya). Ini adalah keterampilan literasi digital yang penting untuk melawan hoaks, sehingga menjadi tabayyun.
  • Template Konten Kreatif: Pola "sampiran menarik – isi bernas" adalah formula hook dan value yang brilian. Generasi muda dapat mengadopsi pola ini untuk membuat presentasi, konten media sosial, atau strategi komunikasi yang engaging dan sarat nilai.
  • Membangun Resiliensi: Dengan membungkus kesulitan hidup dalam tawa, Pantun Sunda mengajarkan kita untuk tidak mengerutkan dahi saat menghadapi masalah, tetapi mencari celah kelucuan untuk meringankan beban mental, tanpa melupakan pelajaran yang harus dipetik.

Gambaran yang absurd seringkali digunakan sebagai sindiran sosial yang halus. Misalnya, Gambaran yang absurd seringkali digunakan sebagai sindiran sosial yang halus. Misalnya, "Papatong jadi wadana" bisa menjadi kritik elegan terhadap sebuah fenomena kepemimpinan, bahwa terkadang pemimpin yang ada dan berkuasa ternyata tidak memiliki bobot atau wibawa yang seharusnya, alih-alih ringkih seperti capung.

Bonus, Nih! Kehangatan Romantisme, Komunikasi Cerdas!

 “Engkang-engkang dina dulang, kaca piring endog sapotong, 'engkang 'engkang geura hudang, eneng hoyong sarapan lontong,” adalah contoh sempurna dari Pantun Sunda dengan ciri khasnya yang intim dan jenaka. Pantun ini mengikuti struktur baku di mana dua baris pertama berfungsi sebagai Sampiran. Sampiran ini menggunakan metafora yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, menciptakan visual yang lucu atau absurd (Engkang di atas dulang dan telur sepotong), yang tujuannya adalah memancing perhatian, menimbulkan senyum, dan menyiapkan rima vokal untuk baris berikutnya. Sampiran ini adalah bumbu penyedap yang membuat pesan utama menjadi lebih menarik untuk disimak.

Bagian yang paling penting, yakni Eusi (Isi), terdapat pada dua baris terakhir. Pesan yang disampaikan sangat lugas dan merefleksikan keakraban dalam rumah tangga: 'Engkang 'engkang geura hudang, Eneng hoyong sarapan lontong." Kalimat ini adalah permintaan dari Eneng (istri atau adik perempuan) kepada Engkang (suami atau kakak) untuk segera bangun.

Meskipun pesannya sederhana hanya meminta sarapan lontong cara penyampaiannya mencerminkan kecerdasan komunikasi dalam budaya Sunda, di mana permintaan atau ajakan disampaikan dengan cara yang puitis dan lucu, bukan dengan omelan atau nada mendesak yang kaku.

Baca Juga: 10+ Daftar Destinasi Menawan & Eksotis di Tasikmalaya Nih! Jadi, Iraha Bade ka Tasik?

Secara filosofis, pantun ini berfungsi sebagai Pantun Pamepeuhan, yaitu pantun yang bertujuan membangkitkan semangat atau memotivasi. Permintaan sarapan lontong dapat dimaknai sebagai metafora untuk kebutuhan keluarga, secara halus mendorong Engkang (sebagai kepala keluarga atau individu yang bertanggung jawab) untuk segera memulai aktivitasnya dan mencari rezeki, tidak hanya menghibur, tetapi juga memuat nilai tentang kehangatan hubungan, motivasi, dan seni menyampaikan kebutuhan dengan cara yang paling menyenangkan dan berbudaya.

Jadi, Pantun Sunda adalah sebuah strategi marketing kebudayaan yang genius. Absurditas adalah pintu masuk, daya tarik yang membuat kita berhenti sejenak, tersenyum, dan akhirnya membuka diri untuk menerima nilai-nilai luhur yang disampaikan.

Dengan merangkul "kejorangan" dan absurditasnya, kita tidak hanya melestarikan tradisi lisan, tetapi juga membekali diri dengan kacamata kearifan, bahwa kebenaran sejati tidak takut pada realitas, dan kebijaksanaan yang paling dalam bisa disampaikan dengan senyuman,kejutan dan ngakak guling-guling.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini