SUKABUMIUPDATE.com - Di balik dinginnya udara Gunung Gede Pangrango di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, tersembunyi jamuan yang bukan hanya soal rasa. Di dapur terbuka BumiBagja Food Forest, asap kayu membubung, menyelimuti daging yang diperlakukan penuh penghormatan. Sang tuan rumah bukan hanya menyajikan makanan, melainkan menyiapkan pengalaman yang merobohkan batas antara hutan, manusia, dan kuliner. Bukan restoran atau kafe, melainkan ruang perjumpaan yang mengubah cara orang memandang alam.
Namun Kabupaten Sukabumi bukan hanya menyimpan kisah jamuan. Di kawasan Pondok Halimun, sekelompok orang merakit mimpi kecil dengan misi besar: menjadikan wisata sebagai pintu masuk literasi dan konservasi. Rak buku berdiri di shelter sederhana tengah hutan, kopi diseduh dari air yang menghidupkan pohon, dan tenda-tenda berdampingan dengan obrolan tentang lingkungan. Komunitas Distrik 09 menolak menjadi hanya destinasi. Mereka memilih berjalan pelan dan menjaga keseimbangan supaya hutan tidak sekadar indah dilihat.
Bergeser ke Kecamatan Cicantayan, desa kecil bernama Cisande menolak nasibnya hanya sebagai wilayah agraris sunyi. Dari keresahan pemuda penganggur hingga jeritan petani yang terjebak sistem distribusi tengkulak, lahirlah laboratorium sosial-ekonomi yang kini disebut Desa Wisata Cisande. Sawah, ladang, dan rumah sederhana berubah menjadi kelas terbuka, homestay, hingga ruang produksi ekonomi kreatif. Mereka tidak menjual tiket, melainkan pengalaman—menanam, memasak, dan membuat makanan dengan tangan sendiri.
Tiga kisah ini mungkin tampak berbeda: kuliner, pengetahuan, dan ekonomi. Namun benang merahnya sama: keberanian mengubah cara pandang terhadap desa, hutan, dan masyarakat. Dari dapur yang menjaga cita rasa lokal, ke shelter yang menjadikan literasi bagian dari konservasi, dan desa yang merancang ulang ekonominya.
Yang membuatnya semakin menarik, semua gerakan ini lahir dari inisiatif masyarakat biasa, bukan rencana investor besar atau program instan pemerintah. Mereka tidak ingin sekadar menjadi penonton, tetapi memilih menulis narasi sendiri bahwa hutan mampu menyediakan jamuan, komunitas bisa menjadi ruang pengetahuan, dan desa dapat menjadi mesin ekonomi daerah.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik dapur hutan Gunung Gede Pangrango? Bagaimana Distrik 09 menjaga keseimbangan antara literasi dan konservasi? Dan sejauh mana Cisande sanggup bertahan sebagai penggerak ekonomi? Kami mengulasnya dalam artikel berjudul "Laboratorium Makanan di Kaki Gede Pangrango", "Merawat Kepedulian di Hutan Sukabumi”, dan "Cisande, Laboratorium Sosial-Ekonomi dari Sukabumi"