Konten Kreator Sukabumi Terseret UU ITE, Ini Kata Ahli Hukum Dewan Pers

Sukabumiupdate.com
Senin 15 Sep 2025, 10:28 WIB
Konten Kreator Sukabumi Terseret UU ITE, Ini Kata Ahli Hukum Dewan Pers

Ilustrasi - Konten kreator Sukabumi dilaporkan ke Ditreskrimsiber Polda Jabar atas dugaan pencemaran nama baik. (Sumber : Freepik.com/@Freepik).

SUKABUMIUPDATE.com - Konten kreator pada dasarnya bertugas menciptakan konten menarik untuk diunggah ke platform online. Namun, dalam praktiknya, tak jarang konten yang dibuat justru menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Seperti yang dialami seorang konten kreator asal Sukabumi berinisial MK. Ia dilaporkan ke Ditreskrimsiber Polda Jabar oleh Rizal, tim atau simpatisan DN, anggota DPRD Kabupaten Sukabumi Komisi IV dari Fraksi PPP. Laporan tersebut dilayangkan karena MK diduga mencemarkan nama baik DN melalui video berdurasi 57 detik yang sempat diunggah ke akun TikTok pribadinya.

Dalam video itu, MK secara terang-terangan menyebut nama dan jabatan DN, serta menudingnya menggunakan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah milik seseorang yang mengadu kepadanya. DN juga dituding tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Rizal melaporkan kasus ini pada Jumat 12 September 2025, dengan dasar dugaan pencemaran nama baik dan fitnah berdasarkan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat 1.

"MK diduga melakukan pencemaran nama baik dan fitnah dengan menyebutkan langsung nama anggota DPRD Kabupaten Sukabumi berinisial DN. Karena itu, kami melaporkan kasus ini sesuai dengan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 Pasal 27A dan 45 Ayat 1," ujar Rizal kepada sukabumiupdate.com pada Sabtu 13 September 2025.

Beberapa saat setelah video diunggah, MK kemudian menghapusnya dan mengunggah video permintaan maaf kepada DN dengan alasan terjadi miskomunikasi. Meski begitu, Rizal menegaskan perkara tetap dilanjutkan. “Kami merasa dirugikan dengan berita hoaks yang sangat luar biasa itu, yang menyasar langsung privasi ibu DN,” tambahnya.

Di sisi lain, MK mengonfirmasi video itu dibuat setelah menerima curhatan seseorang yang mengaku ditipu oleh salah satu anggota DPRD Kabupaten Sukabumi pada Kamis malam 11 September 2025.

"Sempat nelpon dan gak keangkat. Saya balas ada yang bisa dibantu, oh ada banget jawabnya, saya ditipu katanya sama anggota DPRD Kabupaten Sukabumi," ujar MK.

Hanya 30 menit setelah video diunggah, orang yang disebut korban itu meminta MK menghapus video tersebut karena tim DN hendak melakukan konfirmasi.

"Setelah itu video baru 30 menit naik dipostingan, yang minta dibikinin videonya minta ditakedown. Didiemin dulu sama saya, gak didengar, sekitar 20 menit kemudian dia nelpon. Katanya minta tolong video ditakedown, soalnya ada dari timnya DN mau konfirmasi, ditakedown lah sama saya,” ucapnya.

“Itu video iseng lah sebenarnya, cuma saya percaya diri langsung nyebut nama itu kan. Beberapa bulan ke belakang saya sempat menyerang dewan PPP juga. Takutnya kalau nyebutin dewan dari PPP dianggap nyerang dia lagi, makanya ditembakin ke situ,” kata MK.

Hingga kini, ia mengaku belum ada penyelesaian langsung dengan pihak DN. Bahkan belum ada upaya islah karena dirinya belum bertemu langsung dengan pihak terkait. Ia menilai tidak perlu sampai mendatangi Kapolda karena hanya akan membuang waktu dan tenaga, dan lebih baik jika pihak bersangkutan menghubunginya langsung melalui nomor ponsel. MK juga menegaskan, apabila video tidak ditakedown dan komunikasi sulit dilakukan, ia meminta langkah somasi.

Hendrayana, Tenaga Ahli Hukum Dewan Pers Ingatkan Influencer Untuk Bijak Bermedia Sosial

Kasus ini juga mendapat perhatian dari Hendrayana, Tenaga Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers. Ia mengingatkan para influencer, konten kreator, dan pegiat media sosial untuk lebih bijak dalam bermedia sosial.

Menurutnya, banyak kasus pencemaran nama baik terjadi karena para kreator tidak memahami rambu-rambu hukum. "Segala sesuatu di media sosial itu ada rambu-rambunya, dalam arti masyarakat tidak boleh memposting sesuatu yang dianggap bisa menimbulkan gugatan atau laporan. Karena jangan sampai (konten) itu dianggap merugikan orang lain, karena ada pasal-pasal dalam undang-undang ITE maupun kitab hukum pidana yang mengatur itu," ujar Hendrayana kepada sukabumiupdate.com pada Minggu 14 September 2025.

Menurutnya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk melaporkan siapa pun ketika merasa dirugikan menggunakan UU ITE yang sering dianggap sebagai pasal karet itu.

Ia menegaskan, meski konten yang disampaikan benar, seorang kreator tetap harus berhati-hati karena bisa terjerat ranjau hukum, apalagi sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seseorang bersalah.

"Kecuali kalau itu sudah menjadi peristiwa hukum, misalkan ada laporan atau orang tersebut diperiksa di Aparat Penegak Hukum (APH) silahkan, tapi tetap narasinya tidak boleh bersifat menghakimi. Konteksnya sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah melakukan suatu tindak kejahatan, tapi tetap menyampaikannya harus dengan bijak,' jelas dia.

Hendrayana juga menekankan perbedaan antara pegiat media sosial dengan media massa. Influencer tunduk pada KUHP dan UU ITE, sementara media massa diatur oleh UU Perss.

“Influencer dan lain sebagainya itu kan tunduknya kepada kitab hukum pidana, KUHP dan UU ITE. Kalau Perss itu ada UU yang secara khusus mengatur yaitu UU Perss," jelas dia.

"Terkait Perss yang memiliki media sosial juga sudah ada yang mengatur, dalam arti akun mediasosialnya trafiliasi atau merupakan bagian dari perusahaan perss maka yang berlaku adalah UU Perss bukan UU ITE atau KUHP," pungkasnya.

Hukum Mahkamah Konstitusi dalam UU ITE

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) juga memperjelas batasan kritik dalam UU ITE. MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE dengan memperjelas makna frasa “orang lain”. Frasa ini tidak lagi mencakup lembaga pemerintah, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Dengan demikian, kritik terhadap pihak-pihak tersebut tidak bisa dipidana hanya karena dianggap menyerang kehormatan atau nama baik.

MK menegaskan bahwa tindakan menyerang kehormatan tidak dapat dipidana jika dilakukan demi kepentingan umum, misalnya dalam bentuk kritik, unjuk rasa, pembelaan diri, termasuk menyuarakan keadilan sosial.

 

Berita Terkait
Berita Terkini