Tragedi di Lumbung Energi: Balita Sukabumi Tewas Cacingan di Tengah Miliaran Dana Panas Bumi

Sukabumiupdate.com
Kamis 21 Agu 2025, 15:26 WIB
Tragedi di Lumbung Energi: Balita Sukabumi Tewas Cacingan di Tengah Miliaran Dana Panas Bumi

Suasana Makam Raya (3 tahun) di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, pada 20 Agustus 2025. | Foto: SU/Ibnu Sanubari

SUKABUMIUPDATE.com - Raya baru berusia tiga tahun ketika ajal menjemputnya pada 22 Juli 2025. Tubuh mungilnya penuh cacing gelang, rapuh karena tuberkulosis, demam, batuk, dan pilek yang tak kunjung reda. Di balik kisah tragis itu, terkuak kenyataan pahit: balita ini mati bukan hanya karena sakit, melainkan abainya negara di sebuah desa yang seharusnya kaya.

Raya berasal dari Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Hidup di bawah rumah panggung, ia bermain di tanah bercampur kotoran ayam. Ayahnya, Rizaludin (32 tahun), dan ibunya, Endah (38 tahun), mengalami gangguan mental. Mereka tak bisa mengurus dokumen kependudukan, apalagi membawa Raya ke layanan kesehatan sejak awal. Situasi itu menjadi bom waktu bagi penyakit yang terus semakin parah.

Pada 13 Juli 2025 malam, Raya akhirnya dibawa ke rumah sakit oleh komunitas sosial Rumah Teduh. Saat itu ia sudah tak sadarkan diri. Selama sembilan hari ia bertahan di ruang perawatan RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, tanpa identitas dan jaminan kesehatan. Tagihan rumah sakit pun dengan cepat menembus puluhan juta rupiah. Raya tak kuasa bertahan lebih lama.

Kisahnya baru muncul sebulan kemudian, ketika Rumah Teduh mengunggah cerita Raya pada pertengahan Agustus. Sejak saat itu, publik mulai bertanya: bagaimana mungkin seorang balita mati cacingan di desa yang justru disebut sebagai desa emas?

Rumah Raya (3 tahun) di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, pada 20 Agustus 2025. | Foto: SU/Ibnu SanubariRumah Raya (3 tahun) di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. | Foto: SU/Ibnu Sanubari

Mati di Lumbung Energi

Cianaga bukan desa sembarangan. Ia termasuk 13 desa emas di Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, yang menerima Bonus Produksi (BP) dari Star Energy Geothermal Salak, Ltd (SEGS), perusahaan panas bumi raksasa yang beroperasi di kawasan itu.

BP panas bumi adalah potensi anggaran yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk wilayah sekitar. Dana ini seharusnya menjadi instrumen pembangunan dan layanan yang menjawab kebutuhan warga di dekat proyek geothermal.

Catatan Civil Society Organization (CSO) Cinta Karya Alam Lestari (CIKAL), berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Sukabumi, BP dari Star Energy yang masuk ke kas Pemerintah Kabupaten Sukabumi pada 2022 mencapai Rp 11.008.568.447,00, kemudian pada 2023 naik menjadi sekitar Rp 14.330.140.614,00.

Baca Juga: Raya Pergi dalam Sunyi: Balita Sukabumi yang Tumbuh di Tanah, Meninggal Digerogoti Cacing

Merujuk pada Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemanfaatan Dana Bonus Produksi Panas Bumi kepada Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten Sukabumi menerima 50 persen dari BP tersebut, lalu 50 persen dibagi secara merata untuk enam desa di Kecamatan Kabandungan (Kabandungan, Tugubandung, Cipeuteuy, Cihamerang, Mekarjaya, dan Cianaga) serta tujuh desa di Kecamatan Kalapanunggal (Palasari Girang, Kalapanunggal, Kadununggal, Pulosari, Walangsari, Gunung Endut, dan Makasari).

Direktur CIKAL Didin Sa’dillah mengatakan, untuk 2024, Desa Cianaga memperoleh BP panas bumi Rp 461.538.462. Jika berasumsi seluruh desa menerima angka yang sama, maka pada 2022 Desa Cianaga mendapatkan BP Rp 423.406.478 dan tahun 2023 sekitar Rp 551.159.254.

Dalam regulasi yang sama, prioritas penggunaan dana adalah kesehatan. Namun, di desa yang setiap tahun mendapat ratusan juta rupiah itu, seorang balita justru mati tanpa perawatan dasar.

Tak Hanya BP, Ada Dana Bagi Hasil Raksasa

Lebih jauh, aliran dana panas bumi ke Kabupaten Sukabumi bukan hanya lewat BP. Ada juga Dana Bagi Hasil (DBH), jumlahnya jauh lebih besar.

Realisasinya pada 2022 kurang lebih Rp 82.910.097.080,00 dan tahun 2023 sekitar Rp 60.277.112.000,00. Sementara untuk 2025, menurut data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah Kemenkeu RI, Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan menerima DBH sebesar Rp 118.402.014.000,00.

Berdasakan pembagian untuk daerah penghasil dan pengolah panas bumi yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hasil hitungan CIKAL selama 2022 dan 2023, Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah menerima tidak kurang dari Rp 45 miliar DBH panas bumi per tahun dari Star Energy.

“SEGS sebenarnya sudah menunaikan kewajiban, mulai dari DBH, BP, CSR, hingga sponsorship. Masalah utama ada pada pemerintah: bagaimana dana itu dikelola,” ujar Direktur CIKAL Didin Sa’dillah kepada sukabumiupdate.com pada Kamis (21/8/2025).

Ia menambahkan, di kawasan Salak Project, selain SEGS, ada pula PT PLN Indonesia Power. Tetapi kontribusi Indonesia Power masih minim, dan peran pemerintah seharusnya lebih besar dalam memastikan dana yang ada menjawab kebutuhan warga.

Sejak lama, CIKAL mendesak agar aturan pembagian dana direvisi. Dua kali audiensi digelar, hasilnya tetap buntu. Tiga tuntutan yang mereka ajukan adalah:

1. Perubahan regulasi terkait Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018, terutama yang mengatur tentang penggunaan dan pembagian.
2. Meminta BP 70 persen dikembalikan ke daerah penghasil dan pemerintah daerah hanya mengelola 30 persen.
3. Meminta DBH direalokasi sebesar 15 atau 20 persen ke daerah penghasil.

Tuntutan itu diajukan bukan tanpa alasan. Kecamatan Kabandungan masih dipandang sebagai wilayah tertinggal dan miskin. Jika ditelusuri di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), pembangunan di Kabandungan jelas tertinggal dibanding kecamatan lain. Padahal, DBH geothermal yang masuk terbesar di provinsi.

Fokus tuntutan CIKAL sederhana: gunakan dana itu untuk layanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan ekonomi) serta infrastruktur utama—khususnya akses jalan Bojonggenteng-Kalapanunggal dan Kabandungan yang hingga kini rusak parah.

Cermin Buram Desa Emas

Kematian Raya menyingkap paradoks nyata: desa yang disebut emas justru tak mampu memberi pelayanan dasar. Dana ratusan juta rupiah mengalir ke desa tiap tahun, miliaran masuk ke kas daerah, namun satu balita dibiarkan mati tanpa identitas dan jaminan.

Apakah uang itu terserap ke pembangunan? Atau justru menguap dalam program yang tak menyentuh akar persoalan masyarakat? Pertanyaan ini menggantung, tanpa jawaban yang jelas dari pemerintah desa maupun kabupaten.

Bagi warga, tragedi ini bukan sekadar cerita duka. Ia adalah cermin buram pembangunan: angka besar di atas kertas tak pernah menjelma keadilan sosial di lapangan.

Raya sudah tiada. Namun kematiannya meninggalkan jejak tajam—tentang bagaimana kekayaan energi di bumi Kabupaten Sukabumi belum sanggup menyelamatkan satu nyawa kecil di desa penghasilnya.

SEGS diketahui memiliki hak eksklusif untuk mengembangkan area panas bumi berdasarkan Kontrak Operasi Bersama dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) hingga 2040 dan menyediakan listrik hingga 495 MW berdasarkan Kontrak Penjualan Energi dengan PGE & PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

SEGS yang berlokasi sekitar 70 kilometer dari Jakarta, menyuplai uap panas bumi untuk menghasilkan listrik melalui pembangkit listrik sebesar 180 MW yang dioperasikan oleh PLN. SEGS juga menyediakan uap panas bumi dan mengoperasikan pembangkit listrik sebesar 201 MW untuk Jaringan Listrik Interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI).

Produksi uap panas bumi perdana pada 1994 menandai beroperasinya SEGS secara komersial dengan menyalurkan listrik sebesar 110 MW kepada PLN. Pada 2021, SEGS berhasil mencapai kapasitas listrik sebesar 381 MW, yang menempatkan SEGS sebagai salah satu operasi panas bumi terbesar di dunia.

Desa Cianaga sendiri terhampar di lahan seluas 1.926 hektare pada ketinggian 700–850 meter di atas permukaan laut. Dengan curah hujan ideal (600–700 mm/tahun), tanahnya juga subur untuk pertanian padi, perkebunan teh, dan peternakan, yang menjadi tumpuan hidup mayoritas warga.

Namun, potret kependudukannya menunjukkan data yang perlu diverifikasi lebih lanjut. Terdapat inkonsistensi jumlah penduduk: data internal desa per 2024 mencatat 3.458 jiwa, sedangkan laporan resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam "Kecamatan Kabandungan dalam Angka 2023" menunjukkan populasi Desa Cianaga mencapai 6.323 jiwa. Perbedaan ini memerlukan penelusuran lebih dalam oleh pihak terkait.

Keterbatasan paling penting terasa di sektor kesehatan. Desa seluas ini hanya ditopang oleh: satu Puskesmas Pembantu (Pustu), tujuh Posyandu, dan satu Bidan Desa.

Data desa juga menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: 925 Kepala Keluarga (KK) tergolong keluarga pra-sejahtera. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi dari kerentanan ekonomi, risiko gizi buruk, dan minimnya jangkauan layanan dasar. Tragedi yang menimpa Raya adalah puncak gunung es.

Berita Terkait
Berita Terkini