Raya Pergi dalam Sunyi: Balita Sukabumi yang Tumbuh di Tanah, Meninggal Digerogoti Cacing

Sukabumiupdate.com
Kamis 21 Agu 2025, 11:58 WIB
Raya Pergi dalam Sunyi: Balita Sukabumi yang Tumbuh di Tanah, Meninggal Digerogoti Cacing

Suasana rumah Raya (3 tahun) di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, pada 20 Agustus 2025. | Foto: SU/Ibnu Sanubari

SUKABUMIUPDATE.com - Rumah panggung di Dusun Lemahduhur, Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, kini sepi. Sunyi yang terasa berat menyimpan kehilangan yang tidak bisa diucapkan. Tak ada lagi langkah kecil Raya, balita tiga tahun yang pergi terlalu cepat.

Untuk tiba di bangunan sederhana berukuran 4x7 meter itu, orang mesti menapaki jalan berbatu. Kendaraan sering kesulitan, hingga perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki, memasuki gang. Begitu dekat dengan rumah, bau kandang domba langsung menyergap. Di sampingnya, kandang ayam milik saudara Raya berdiri seadanya.

Ayam-ayam tersebut bebas keluar masuk, bahkan ke bawah kolong rumah panggung yang dulu menjadi tempat bermain Raya. Tak ditemukan toilet di dalam rumah ini. Raya bersama ayah dan ibunya, Rizaludin alias Udin (32 tahun) dan Endah (38 tahun), juga sang kakak, Risna, yang berusia enam tahun, buang air kecil dan besar di tempat tak layak.

Halaman rumah masih menyimpan jejak sang anak. Sandal mungil dan beberapa mainan plastik tergeletak diam. Benda-benda sederhana itu kini hanya jadi penanda masa kecil yang terputus. Tawa, tangis, dan celoteh yang pernah menghidupkan rumah tersebut tak terdengar lagi. Raya telah pergi, meninggalkan barang-barang yang tak mampu bercerita.

Sejak bayi, tubuh Raya memang berbeda: kecil dan perutnya menonjol. “Kirain bawaan lahir, tapi ternyata bukan. Terakhir ditimbang, berat badannya cuma enam kilogram,” kata Sarah, bibinya, kepada sukabumiupdate.com pada 20 Agustus 2025. Ucapan itu lirih, seolah menahan penyesalan yang terlambat disadari.

Baca Juga: DPRD Soroti Miliaran Dana Panas Bumi, Balita Sukabumi Mati Cacingan di Lumbung Energi

Meski ringkih, Raya tak pernah benar-benar diam. Menjelang usia tiga tahun, ia baru mulai belajar berjalan, walau langkahnya belum tegak. Bicara pun masih terbata, namun semangatnya untuk bermain tak pernah surut. “Kesehariannya banyak main di tanah. Kadang di halaman, kadang ke kolam. Kalau main, biasanya sama kakaknya atau sama anak saya,” ujar Sarah.

Tanah adalah dunianya. “Dia suka anteng kalau di tanah. Kadang tiba-tiba nangis, kadang diem aja. Waktu hari Jumat terakhir, masih sempat main. Baru Sabtu sore kelihatan nge-drop,” kenangnya, menunduk.

Kabar tentang penyebab kematian Raya membuat keluarga terpukul. Ia ternyata meninggal akibat cacingan akut. “Gak ada yang bilang cacingan. Dulu kalau dibawa berobat katanya batuk, panas. Malah dibilangnya kemungkinan paru. Baru tahu soal cacingan itu setelah viral di media sosial,” ungkap Sarah. Padahal Raya rajin ke posyandu setiap bulan, bahkan sempat diperiksa dokter anak beberapa hari sebelum tubuhnya melemah.

Malam 13 Juli 2025 menjadi awal penderitaan yang tak tertahankan. Raya dilarikan ke rumah sakit oleh lembaga sosial Rumah Teduh dalam kondisi tak sadarkan diri. Tubuhnya yang sudah rapuh karena tuberkulosis, batuk, pilek, dan demam, kian tak berdaya. Sembilan hari ia bertahan di rumah sakit tanpa identitas dan jaminan kesehatan. Tagihan perawatan menumpuk, menembus puluhan juta, sedangkan keluarga hanya bisa pasrah.

Di balik kisah ini, ada keterbatasan yang menyelimuti keluarga kecilnya. Raya adalah anak dari orang tua yang mengalami gangguan mental, sehingga tak mampu mengurus dokumen, apalagi memastikan tumbuh kembang anak mereka. Sejak bayi, Raya lebih banyak diasuh oleh nenek buyutnya, Mak Uyud. “Sehari-harinya sama ibunya. Tapi kalau sakit atau ada apa-apa, biasanya dibawa ke Mak Uyud. Dari bayi memang sering diurus di sana,” tutur Sarah.

Rumah panggung itu berdiri dengan segala kekurangan. Dua kamar kecil berdinding papan dan dapur yang masih mengandalkan kayu bakar. Keluarga biasa mandi di empang dekat rumah, di sanalah Raya menghabiskan hari-harinya. Lingkungan yang kotor, bercampur kotoran ayam dan tanah, menjadi bagian dari keseharian balita ini.

Kini, sepeninggal Raya, rumah panggung itu terasa asing. Kehidupan berjalan, tapi ada yang hilang dan tak tergantikan. Mainan di halaman, sandal mungil yang tak lagi dipakai, semua berubah menjadi kenangan. “Saya sampai hari ini masih menangis. Terpuruk sekali. Biasanya ada yang nangis, main sama anak-anak, sekarang enggak ada. Kehilangan banget,” ucap Sarah. Kalimat itu menggantung, menutup kesunyian rumah kecil yang ditinggalkan Raya.

Tim dokter RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, tempat Raya dirawat, mengungkapkan bahwa sebelum meninggal, tubuh Raya sudah dipenuhi cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Sejak awal perawatan, kondisinya terus memburuk. Selain tidak sadar, tanda vitalnya juga tidak stabil. Raya sempat dirawat intensif di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis anak. Namun takdir berkata lain, Raya meninggal pada 22 Juli 2025 dengan tubuh dipenuhi cacing gelang.

Kepala Desa Cianaga Wardi Sutandi membenarkan bahwa sejak kecil Raya sering bermain di bawah kolong rumah bersama ayam, hingga hidup dalam lingkungan yang tidak sehat. Ia sempat mengalami demam, lalu diperiksa di klinik dan puskesmas setempat dengan diagnosis awal penyakit paru-paru. Namun karena keluarga tidak memiliki dokumen kependudukan maupun BPJS Kesehatan, pengobatannya terkendala. “Lalu ada keluarga yang melapor ke Rumah Teduh dan Raya dijemput pakai ambulans,” kata dia.

Pelaksana tugas (Plt) Camat Kabandungan Budi Andriana mengurai simpul administrasi yang terlambat. Informasi pertama baru diterima pada 15 Juli, dua hari setelah Raya masuk rumah sakit. Kebingungan identitas ini membuat proses kependudukan kian berbelit. Baru pada 21 Juli dilakukan perekaman data, dan sehari kemudian kartu keluarga resmi terbit.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengambil langkah tegas atas kasus ini dengan pemberian sanksi berupa penundaan pencairan dana desa untuk Desa Cianaga. Dedi menilai perangkat Desa Cianaga lalai dalam menjalankan tugasnya, sehingga tidak mampu memberikan perhatian yang cukup terhadap kondisi kesehatan Raya.

Berita Terkait
Berita Terkini