Tangisan di Makam Raya, Balita Sukabumi yang Meninggal karena Cacingan Akut

Sukabumiupdate.com
Kamis 21 Agu 2025, 13:45 WIB
Tangisan di Makam Raya, Balita Sukabumi yang Meninggal karena Cacingan Akut

Suasana makam Raya (3 tahun) di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, pada 20 Agustus 2025. | Foto: SU/Ibnu Sanubari

SUKABUMIUPDATE.com - Sore hari di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, terasa hening. Di pemakaman sederhana yang dikelilingi semak belukar, dua perempuan berhijab duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah yang masih tampak baru, dengan beberapa batang tanaman hidup sebagai penanda.

Mereka adalah saudara Raya, balita tiga tahun yang meninggal akibat cacingan akut. Salah satunya, Sarah, bibi almarhumah, menunduk lama sambil berbisik doa. Sesekali ia mengusap wajah, menahan air mata. Raya meninggal pada 22 Juli 2025 dengan tubuh penuh cacing gelang.

Kisah tragis ini baru mengemuka setelah komunitas sosial Rumah Teduh mengunggah kondisi Raya pada pertengahan Agustus lalu. Raya dibawa ke rumah sakit pada 13 Juli 2025 malam dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia pun diketahui tengah menjalani pengobatan tuberkulosis, ditambah demam, batuk, dan pilek yang membuat tubuhnya kian rapuh.

Sembilan hari Raya bertahan di rumah sakit tanpa identitas dan jaminan kesehatan, sehingga tagihan biaya perawatan menembus puluhan juta.

Baca Juga: Raya Pergi dalam Sunyi: Balita Sukabumi yang Tumbuh di Tanah, Meninggal Digerogoti Cacing

Sejak kecil, Raya memang tumbuh di lingkungan kotor, bermain di tanah bercampur kotoran ayam di bawah rumah panggungnya di Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan. Kedua orang tuanya, Rizaludin alias Udin (32 tahun) dan Endah (38 tahun), mengalami gangguan mental, sehingga tak mampu mengurus dokumen maupun memastikan tumbuh kembang sang anak.

“Kalau ingat Raya, saya masih sering nangis. Rasanya kehilangan sekali, apalagi biasanya suka main sama anak saya di halaman rumah. Sekarang sudah tidak ada lagi,” kata Sarah pada 20 Agustus 2025.

Makam Raya tidak jauh dari rumah panggung kayu yang dulu ia tinggali. Letaknya hanya sekitar 80 meter, masih dalam satu kampung yang sama.

Suasana di sekitar makam terasa sangat sederhana. Tidak ada nisan marmer atau hiasan bunga, hanya gundukan tanah dengan beberapa pohon kecil. Kesederhanaan itu justru menunjukkan betapa dekatnya Raya dengan kehidupan serba terbatas yang dialami keluarganya semasa hidup.

Raya, anak kedua, sejak bayi memiliki kondisi fisik berbeda dengan anak pada umumnya. Tubuhnya kecil, perut besar, dan baru bisa berjalan di usia mendekati tiga tahun. “Kirain bawaan lahir, tapi ternyata bukan. Terakhir ditimbang, berat badannya enam kilogram,” cerita Sarah.

Kehidupan keluarga yang penuh keterbatasan membuat Raya kerap dirawat oleh nenek buyutnya, Mak Uyud. Di rumah panggung berukuran 4x7 meter, Raya tumbuh bersama kakak perempuannya, ditemani kandang domba dan ayam yang berada tak jauh dari rumah.

“Sehari-harinya sama ibunya. Tapi kalau sakit atau ada apa-apa, biasanya dibawa ke Mak Uyud. Dari bayi memang sering diurus di sana,” ujar Sarah.

Kini, keheningan menyelimuti rumah dan lingkungan sekitar. Mainan dan sandal mungil yang masih tergeletak di halaman menjadi saksi bisu kebersamaan yang kini tinggal kenangan. Ziarah keluarga ke makam Raya, seperti yang dilakukan Sarah, menjadi cara melepas rindu sekaligus pengingat bahwa anak ini pernah hadir, bermain, dan memberi warna di tengah kehidupan.

“Biasanya ada suara tangisan atau candaannya. Sekarang tidak ada lagi. Sepi sekali,” ucap Sarah.

Berita Terkait
Berita Terkini