DPRD Soroti Miliaran Dana Panas Bumi, Balita Sukabumi Mati Cacingan di Lumbung Energi

Rabu 20 Agu 2025, 11:24 WIB
DPRD Soroti Miliaran Dana Panas Bumi, Balita Sukabumi Mati Cacingan di Lumbung Energi

Rumah Raya (3 tahun) di Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. | Foto: Istimewa

SUKABUMIUPDATE.com - Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi Andri Hidayana menyoroti kasus meninggalnya balita bernama Raya (3 tahun) asal Kampung Padangenyang RT 06/03 Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Raya meninggal pada 22 Juli 2025 dengan tubuh dipenuhi cacing gelang.

Andri yang juga Pembina Kelompok Relawan Kesehatan Masyarakat (KOREK MAS) menilai peristiwa ini menjadi tamparan keras sekaligus kado pahit bagi Provinsi Jawa Barat yang resmi berusia 80 tahun pada 19 Agustus 2025. Menurutnya, negara belum sepenuhnya hadir melindungi masyarakat seperti yang dialami Raya.

"Di satu sisi, ada perusahaan besar seperti Star Energy (Star Energy Geothermal Salak, Ltd) yang setiap tahun menghasilkan miliaran rupiah, tetapi kondisi masyarakat di sekitarnya masih jauh dari kata sejahtera,” kata dia kepada sukabumiupdate.com pada 19 Agustus 2025.

Menurutnya, dana desa senilai miliaran rupiah juga selalu digelontorkan setiap tahun, namun nyatanya tidak mampu menjangkau masyarakat miskin yang membutuhkan.

“Belum lagi anggaran kesehatan yang jumlahnya besar, tapi setiap tahun selalu tidak terserap dan justru menjadi SiLPA. Miris, ketika anggaran ada, tenaga kesehatan pun banyak di setiap puskesmas, tapi masih ada keluarga yang luput dari perhatian hingga kehilangan nyawa anaknya karena cacingan,” ujar Andri dengan tegas.

Raya (3 tahun) saat ditangani medis. Ia adalah anak asal Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, yang menderita penyakit cacing dan meninggal dunia. | Foto: Instagram/@rumah_teduh_sahabat_iinRaya (3 tahun) saat ditangani medis. | Foto: Instagram/@rumah_teduh_sahabat_iin

Baca Juga: Absennya Negara! Kritik Keras atas Kasus Balita Sukabumi Mati Dimakan Cacing

KOREK MAS mendesak pemerintah turun tangan secara serius menanggapi kasus ini. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap sistem layanan kesehatan dasar, khususnya di desa “Siapa yang harus disalahkan? Pemerintah tidak boleh abai. Tragedi Raya adalah sinyal darurat bahwa masih banyak keluarga yang terpinggirkan dari akses kesehatan,” kata Andri.

Kisah tragis ini baru mengemuka setelah komunitas sosial Rumah Teduh mengunggah kondisi Raya pada pertengahan Agustus lalu. Raya dibawa ke rumah sakit pada 13 Juli 2025 malam dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia pun diketahui tengah menjalani pengobatan tuberkulosis, ditambah demam, batuk, dan pilek yang membuat tubuhnya kian rapuh.

Sembilan hari Raya bertahan di rumah sakit tanpa identitas dan jaminan kesehatan, sehingga tagihan biaya perawatan menembus puluhan juta.

Sejak kecil, Raya memang tumbuh di lingkungan kotor, bermain di tanah bercampur kotoran ayam di bawah rumah panggungnya di Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan. Kedua orang tuanya, Rizaludin alias Udin (32 tahun) dan Endah (38 tahun), mengalami gangguan mental, sehingga tak mampu mengurus dokumen maupun memastikan tumbuh kembang sang anak.

Catatan sukabumiupdate.com, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi menerima Dana Bagi Hasil (DBH) panas bumi dan dana Bonus Produksi (BP) dari Star Energy Geothermal Salak, Ltd (Star Energy), perusahaan energi panas bumi yang berlokasi di sekitar Kecamatan Kabandungan, tempat Raya tumbuh.

DBH panas bumi dan BP dari Star Energy adalah potensi anggaran yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemkab Sukabumi untuk wilayah sekitar. Dana tersebut seharusnya menjadi instrumen pembangunan dan pelayanan yang langsung menjawab kebutuhan warga di dekat proyek geothermal.

Civil Society Organization (CSO) Cinta Karya Alam Lestari (CIKAL) pernah merinci penerimaan Pemkab Sukabumi dari DBH panas bumi pada 2022 dan 2023 berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemkab Sukabumi tahun 2023. Realiasinya, Rp 60.277.112.000,00 pada 2023 dan Rp 82.910.097.080,00 pada 2022. Sementara tahun 2025, menurut data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah Kemenkeu RI, Pemkab Sukabumi akan menerima DBH sebesar Rp 118.402.014.000,00.

“Berdasakan pembagian untuk daerah penghasil dan pengolah panas bumi yang diatur UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hasil hitungan kami pada 2022 dan 2023, Kabupaten Sukabumi telah menerima tidak kurang dari Rp 45 miliar DBH panas bumi per tahun dari Star Energy,” kata Direktur CIKAL Didin Sa’dillah pada 11 Mei 2025.

Adapun penerimaan Pemkab Sukabumi dari BP Star Energy pada 2023 realisasinya mencapai Rp 14.330.140.614,00, sedangkan 2022 sebesar Rp 11.008.568.447,00. “Merujuk kepada Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemanfaatan Dana Bonus Produksi Panas Bumi Kepada Pemerintah Desa, maka pemkab menerima 50 persen dari BP panas bumi tersebut, 50 persen lagi dibagi secara merata untuk 13 pemerintah desa di Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal,” katanya.

Saat itu, CIKAL meminta Pemkab Sukabumi segera memperbaiki kerusakan jalan Bojonggenteng-Kabandungan menggunakan DBH panas bumi dan BP dari Star Energy Geothermal Salak, Ltd. Namun kini terungkap, kebutuhan warga sekitar bukan hanya soal infrastruktur fisik, melainkan juga layanan dasar kesehatan.

Star Energy Geothermal Salak, Ltd (SEGS) memiliki hak eksklusif untuk mengembangkan area panas bumi berdasarkan Kontrak Operasi Bersama dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) hingga 2040 dan menyediakan listrik hingga 495 MW berdasarkan Kontrak Penjualan Energi dengan PGE & PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

SEGS yang berlokasi sekitar 70 kilometer dari Jakarta, menyuplai uap panas bumi untuk menghasilkan listrik melalui pembangkit listrik sebesar 180 MW yang dioperasikan oleh PLN. SEGS juga menyediakan uap panas bumi dan mengoperasikan pembangkit listrik sebesar 201 MW untuk Jaringan Listrik Interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI).

Produksi uap panas bumi perdana pada 1994 menandai beroperasinya SEGS secara komersial dengan menyalurkan listrik sebesar 110 MW kepada PLN. Pada 2021, SEGS berhasil mencapai kapasitas listrik sebesar 381 MW, yang menempatkan SEGS sebagai salah satu operasi panas bumi terbesar di dunia.

Penjelasan Pemerintah

Sebelumnya, Kepala Desa Cianaga Wardi Sutandi membenarkan bahwa sejak kecil Raya sering bermain di bawah kolong rumah bersama ayam, hingga hidup dalam lingkungan yang tidak sehat. Ia sempat mengalami demam, lalu diperiksa di klinik dan puskesmas setempat dengan diagnosis awal penyakit paru-paru. Namun karena keluarga tidak memiliki dokumen kependudukan maupun BPJS Kesehatan, pengobatannya terkendala. “Lalu ada keluarga yang melapor ke Rumah Teduh dan Raya dijemput pakai ambulans,” kata dia.

Pelaksana tugas (Plt) Camat Kabandungan Budi Andriana mengurai simpul administrasi yang terlambat. Informasi pertama baru diterima pada 15 Juli, dua hari setelah Raya masuk rumah sakit. Kebingungan identitas ini membuat proses kependudukan kian berbelit. Baru pada 21 Juli dilakukan perekaman data, dan sehari kemudian kartu keluarga resmi terbit.

Tim dokter RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi mengungkapkan bahwa sebelum meninggal, tubuh Raya sudah dipenuhi cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Menurut keluarga, Raya sebelumnya mengalami demam, batuk, pilek, dan sedang menjalani pengobatan tuberkulosis. Sejak awal perawatan, kondisinya terus memburuk. Selain tidak sadar, tanda vitalnya juga tidak stabil. Raya sempat dirawat intensif di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengambil langkah tegas atas kasus ini dengan pemberian sanksi berupa penundaan pencairan dana desa untuk Desa Cianaga. Dedi menilai perangkat Desa Cianaga lalai dalam menjalankan tugasnya, sehingga tidak mampu memberikan perhatian yang cukup terhadap kondisi kesehatan Raya.

Berita Terkait
Berita Terkini