SUKABUMIUPDATE.com - Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan kawasan Situ Gunung di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, berada di area rawan erupsi Gunung Gede.
Peta itu menjadi perbincangan bersamaan dengan meningkatnya aktivitas vulkanik Gunung Gede dalam beberapa waktu terakhir. Meski saat ini telah menurun, namun pada 1 April 2025, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat terjadi 21 kali gempa vulkanik dalam (VA) di gunung setinggi 2.958 meter di atas permukaan laut tersebut.
Peningkatan aktivitas ini memperlihatkan tekanan yang meningkat di dalam tubuh gunung. Jika tekanan terus naik, potensi letusan freatik dan pelepasan gas beracun bisa terjadi. Gunung Gede secara administratif berada di wilayah Cianjur, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor.
Adapun masuknya Situ Gunung ke dalam area rawan terdampak, senada dengan pernyataan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi. BPBD menyebut, berdasarkan dokumen KRB 2024-2028, sepuluh kecamatan di Kabupaten Sukabumi berisiko terdampak jika Gunung Gede erupsi.
Belum diperoleh data pasti soal sepuluh kecamatan itu, namun hasil penelitian Tri Yogatama dari Fakultas MIPA Universitas Indonesia pada 2012 menyatakan ada enam kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang terdampak bahaya letusan Gunung Gede: Caringin, Kadudampit, Nagrak, Sukabumi, Sukalarang, dan Sukaraja.
Gunung Gede terakhir meletus pada 1957 melalui Kawah Ratu dengan kolom letusan 3.000 meter di atas puncak. Saat ini aktivitas embusan terpantau dari Kawah Wadon dengan ketinggian asap 50-100 meter selama Maret 2025.
Situ Gunung sendiri sudah dikenal sejak dulu, baik karena legendanya maupun aktivitas penelitian dan wisatanya. Pada 1881, lokasi ini sudah menjadi perkebunan yang cukup besar. Bahkan dalam Java-bode (surat kabar yang diterbitkan di Batavia, Hindia Belanda) edisi 30 November 1888, Situ Gunung telah disebut sebagai danau yang indah atau mooi bergmeer.
Situ Gunung memiliki pemandangan danau yang indah di bawah kaki Gunung Gede Pangrango dan telah dikenal dengan transportasinya yang terjangkau.
Baca Juga: Ada Situgunung Sukabumi! ESDM Tampilkan Peta Potensi Rawan Bencana Gunung Gede Pangrango
Foto perbandingan peta KRB Gunung Gede dengan tangkapan layar Google Maps dan Google Earth. | Foto: Istimewa
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan fasilitas di danau Situ Gunung saat itu sudah cukup lengkap. Kano dan rakit dapat disewa untuk mengelilingi danau karena telaga gunung seluruhnya berada di kawasan hutan lindung sehingga airnya tidak tercemar dan bersih. Hanya bagian tengah Situ Gunung yang cocok untuk berenang karena masih banyak tanaman air di pinggir danau yang harus dibersihkan.
Keberadaan danau Situ Gunung tak terlepas dari sosok Mbah Jalun yang kerap dibicarakan warga setempat. Konon, danau ini dibuat oleh bangsawan Mataram bernama Mbah Jalun yang buron ke wilayah Priangan dan menetap di lereng Gunung Gede.
Mbah Jalun adalah nama yang disematkan kepada Raden Rangga Jagad Syahadana atas nama anaknya, Jaka Lulunta. Mbah Jalun diperkirakan hidup pada 1770-1841. Menurut Irman, Mbah Jalun mengeruk tanah di Situ Gunung menggunakan kulit kerbau hingga menjadi danau.
"Itu dilakukan untuk menunjukkan rasa syukur atas kelahiran anaknya yang bernama Jaka Lulunta," ucap Irman kepada sukabumiupdate.com.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Irman mengatakan masih ada keturunan Mbah Jalun yang hidup di kawasan Situ Gunung. Sebagian warga juga mempercayai cerita Mbah Jalun yang berhasil selamat dari hukuman gantungan Belanda di Alun-alun Cisaat pada 1814, lalu melarikan diri ke Bogor. Mbah Jalun memang dikenal ikut pergerakan perjuangan.
Masih menjadi polemik apakah kisah Mbah Jalun hanya legenda atau nyata. Virendra Nath Misra dan Peter Bellwood dalam bukunya Recent Advances in Indo-Pacific Prehistory menyebutkan bahwa sedimentasi di danau Situ Gunung dimulai hampir 8.000 tahun lalu. Alhasil, sejarah vegetasi yang tercatat di sana seluruhnya berada pada masa Holosen.
Kepala Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Situ Gunung Asep Suganda pada Mei 2022 pernah mengamini soal berkembangnya cerita Mbah Jalun di masyarakat. Dia juga memperoleh kisah tersebut dari tokoh bermana Abah Oji yang meninggal pada 2019.
Asep yang sudah lebih dari 25 tahun bertugas di kawasan Situ Gunung mengatakan danau Situ Gunung dibuat Mbah Jalun supaya mengalirkan air ke perkampungan di bawahnya. Menurut penuturan Abah Oji kepada Asep, Mbah Jalun beragama Islam.
Belum bisa dipastikan apakah sosok Mbah Jalun adalah nyata atau hanya personifikasi. Sebab, hingga saat ini belum ada bukti autentik atau penelitian secara khusus yang bisa membuktikan keberadaannya.
Terlebih lagi untuk membuktikan apakah danau Situ Gunung dibangun oleh Mbah Jalun atau terbentuk dengan sendirinya. Asep menyebut sampai sekarang tidak ada yang mengetahui di mana makam Mbah Jalun.
Terlepas cerita Mbah Jalun, Asep Suganda mengatakan adanya kemungkinan danau Situ Gunung adalah bekas kawah gunung api purba yang meletus dan cekungannya membentuk danau seperti saat ini. Pasalnya, kata Asep, terdapat jenis batuan vulkanik di sekitar danau Situ Gunung. Kemudian ada pula lapisan pasir yang menandakan bekas letusan gunung. Namun kembali, Asep menyebut belum ada pembuktian secara ilmiah terkait kemungkinan tersebut. "Belum ada riset sampai ke sana," ucap dia.
Keindahan dan keunikan Situ Gunung membuat sejumlah peneliti dunia tertarik mendatangi kawasan ini. Beberapa peneliti yang pernah datang ke Situ Gunung adalah Caspar Georg Carl Reinwardt (1819), Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn (1839), Johannes Elias Teijsmann (1839), Alfred Russel Wallace (1861), Sijfert Hendrik Koorders (1880), Melchior Treub (1891), Dr Van Leuweun (1918), Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis (1920), dan Hindelbrand. Mereka meneliti tentang alam, baik flora maupun faunanya.