IDAI Sebut Keparahan Picu Kematian: Ironi Balita Sukabumi yang Meninggal karena Cacingan

Sukabumiupdate.com
Selasa 19 Agu 2025, 19:01 WIB
IDAI Sebut Keparahan Picu Kematian: Ironi Balita Sukabumi yang Meninggal karena Cacingan

Ilustrasi penyakit cacingan (Sumber: dok alomedika)

SUKABUMIUPDATE.com - Kematian Raya menyita perhatian publik. IDAI atau Ikatan Dokter Anak Indonesia, menegaskan jika cacingan atau penyakit cacingan bisa memicu kematian, seperti yang dialami oleh balita asal Desa Cianaga Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Namun kematian mengancam pasien cacingan jika dilakukan pembiaran atau tidak diatasi dengan baik. Hal ini diungkap Anggota UKK Infeksi Tropik, IDAI, dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, MKed (Ped), SpA(K), PhD.

Penyakit cacingan menurut Ayodhia sebenarnya memiliki keparahan yang tinggi dengan cara penularan yang sangat mudah. Penyakit ini ditularkan melalui telur cacing yang biasanya mengkontaminasi di tanah atau air.

Baca Juga: Diduga Rem Blong, Kronologi Truk Pupuk Masuk Jurang di Letter S Cikidang Sukabumi

“Misalnya saja telur cacing yang ada di tanah, tinja dari orang yang terinfeksi telur cacing. Biasanya cacing dewasa hidup di usus orang yang terinfeksi. Penyakit cacing juga banyak disebabkan karena konsumsi makanan setengah matang sebab sayuran dan buah-buahan dapat terkontaminasi dengan telur cacing,” jelasnya dilansir dari Prohealth.id

Kecacingan juga masuk dalam Neglected Tropical Diseases (NTDs) alias Penyakit Tropis yang Terabaikan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 20 penyakit yang termasuk Penyakit Tropis yang Terabaikan atau Neglected Tropical Diseases. Namun di Indonesia ada sejumlah penyakit NDTs yang diprioritaskan antara lain filariasis atau penyakit kaki gajah, cacingan, schistosomiasis, kusta, dan frambusia. NTDs adalah penyakit yang disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk virus, bakteri, protozoa, dan cacing parasit.

Meski demikian, bebernya Ayodhia infeksi kecacingan sebagai salah satu NTDs dapat menimbulkan kerugian zat gizi karena kekurangan kalori dan protein. Hingga akhirnya, penderita cacing berpotensi kehilangan darah atau anemia. Artinya, penyakit cacingan secara bertahap menyebabkan disability adjusted life years (DALYs) atau kehilangan waktu produktif atau disabilitas akibat infeksi cacing.

Baca Juga: Kata Keluarga Mendiang Dini di Sukabumi Soal Remisi HUT RI untuk Ronald Tannur

“Hasilnya, cacingan pada anak misalnya bisa menghambat perkembangan fisik, menurunkan kecerdasan produktivitas kerja, dan menurunkan kualitas pribadi sampai kualitas bangsa,” kata dr. Ayodhia.

Keparahan Bisa Picu Kematian

Penyakit cacing memiliki bahaya besar bagi anak-anak. Sebut saja diantaranya; anak mudah lelah, anak mengalami kurang gizi karena cacing mengisap makanan, anak mengalami anemia, turunnya kemampuan belajar anak di sekolah, dan akhirnya mengganggu pertumbuhan anak.

Menurut dr. Ayodhia, penyakit cacing tak hanya disebabkan oleh anak yang bermain di tanah atau air tercemar, karena penyakit ini juga bisa ditularkan oleh ibu. Beberapa penyebabnya antara lain; ibu yang jarang cuci tangan meningkatkan risiko kecacingan pada anak, lalu ibu yang jarang gunting kuku, dan anak yang juga tidak menggunting kuku berisiko 4,5 kali lipat mengalami cacingan.

Baca Juga: Sekolah Swasta Diminta Cabut Gugatan ke Dedi Mulyadi, Intimidasi? Ini Pengakuan BPMS Kota Sukabumi

“Jadi memang faktor risiko utama pada anak sekolah terjadi cacingan adalah bermain dengan tanah. Bisa juga anak memakai jamban yang terkontaminasi,” ujarnya.

Oleh karena itu penting untuk mendorong perubahan gaya hidup masyarakat menjadi pola hidup sehat dan bersih. Selain itu, harus ada jaminan kebersihan sanitasi dan air bersih untuk mencuci tangan dan juga untuk konsumsi minum.

Ia juga menegaskan wajib bagi orang tua memasak air sebelum dikonsumsi oleh semua anggota keluarga. Hal ini karena penularan cacing sangat cepat melalui telur yang bersembunyi dalam kulit, tanah, sampai air. Akibatnya, penyakit cacing terbilang sulit diatasi karena hanya bisa disembuhkan dengan obat cacing.

Baca Juga: DPMPTSP: Toko Modern di Kabupaten Sukabumi Bisa Buka 24 Jam dengan Izin Khusus

“Ketika ada anggota keluarga yang sakit cacing, maka serumah harus diobati dengan obat cacing. Lalu sprei, semua dibersihkan dengan air hangat dan deterjen. Pastikan semua barang dalam rumah bersih dan bebas dari tanah,” tegas dr. Ayodhia.

Untuk penyakit cacingan, Kementerian Kesehatan menyatakan di tahun 2021 terdapat 36,97 juta anak yang mendapatkan pemberian obat untuk pencegahan massal (POPM). Hasil survei evaluasi pasca pemberian obat cacing dari tahun 2017 hingga tahun 2021 menunjukkan bahwa terdapat 66 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi cacingan di bawah 5 persen, dan 26 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi cacingan diatas 10 persen.

“Penyakit cacing ini pada akhirnya bukan hanya di daerah desa ya. Orang di kota juga bisa terkena cacing. Di Jakarta Utara saja ada. Ini semua karena perilaku,” tuturnya.

Baca Juga: UPTD PU Sagaranten Lakukan Penanganan Sementara Jalan Cigadog-Cimanggir Sukabumi

Beberapa gejala cacingan yang dialami anak-anak dan patut diwaspadai antara lain; berkurangnya nafsu makan, perut anak membuncit, berat badan anak menurun, nyeri perut, mual-mual, muntah, rasa gatal di sekitar anus, diare atau sembelit, lalu keluar cacing dari mulut atau dubur. Bahkan, keparahan cacing juga bisa sampai menghambat kerja organ vital lain. Contoh gejalanya, cacing bisa sampai keluar melalui hidung atau saat batuk.

“Jadi anak bisa ada masalah pencernaan, lalu sampai ke masalah pernapasan, sesak napas, cacing keluar dari hidung atau batuk. Maka hati-hati, sakit cacing diabaikan bisa menyebabkan kematian.”

Sebagai catatan, Indonesia sebagai negara dengan curah hujan yang tinggi membuat karakter tanah di Indonesia cenderung lembab sepanjang tahun. Artinya, tanah di seluruh Indonesia adalah tempat yang nyaman untuk kembang biak cacing. Untuk itu, orang tua wajib menjamin anak harus memakai alas kaki setiap keluar dari rumah untuk mencegah sakit cacing.

Sumber: Prohealth.id

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini