Debt Collector Nagih Utang kepada Keluarga, Apakah Boleh? Simak Disini Aturannya!

Sukabumiupdate.com
Senin 29 Sep 2025, 13:30 WIB
Debt Collector Nagih Utang kepada Keluarga, Apakah Boleh? Simak Disini Aturannya!

Ilustrasi - Debt Collector sering sekali digambarkan dengan sosok yang menyeramkan dan tegas. (Sumber : AI/ChatGPT).

SUKABUMIUPDATE.com - Ketika mendengar kata Debt Collector sudah pasti yang terpikirkan adalah seseorang atau sekelompok orang dengan wajah menyeramkan. Mereka identik dengan tagih-menagih perihal utang dalam bentuk apapun.

Seperti halnya yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat, khususnya Sukabumi, banyak sekali insiden penarikan kendaraan bermotor yang dilakukan secara paksa oleh para Debt Collector. Tak sedikit warga yang merasa khawatir dan para penagih tersebut terkadang menyasar para keluarga debitur.

Lalu Apakah Boleh Debt Collector menagih ke keluarga debitur? 

Pertanyaan-pertanyaan ini sering sekali muncul di tengah masyarakat, terutama anggota keluarga yang secara tiba-tiba dihubungi oleh pihak penagih utang untuk melunasi pinjaman yang bukan atas nama mereka. 

Kondisi itulah yang akhirnya membingungkan dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan serta tekanan psikologis, baik pihak yang berutang maupun keluarganya.

Di era serba maju seperti saat ini, pemahaman mengenai batasan hukum dan etika dalam praktik penagihan utang menjadi semakin krusial—khususnya bagi pelaku usaha yang ingin menjaga integritas dan kepercayaan dalam pengelolaan kredit. 

Oleh karenanya, kali ini kita akan membahas lebih dalam mengenai aspek hukum dan solusi praktis terkait apakah penagih utang (debt collector) memiliki kewenangan untuk menagih kepada keluarga debitur.

Namun ada beberapa hal yang wajib dipahami bahwa mekanisme penagihan utang sendiri telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 

Aturan tersebut hadir untuk melindungi konsumen dari praktik penagihan yang tidak etis maupun yang melanggar hak privasi.

Maka secara hukum, Debt Collector tidak diperkenankan menagih langsung kepada keluarga debitur apabila mereka tidak memiliki hubungan hukum atau tanggung jawab atas perkara utang tersebut. 

Dengan kata lain, anak, pasangan, maupun orang tua yang tidak ikut menandatangani kontrak atau menjadi penjamin, tidak berkewajiban membayar utang kepada Debt Collector.

Akan tetapi dalam praktiknya masih sering terjadi kasus Debt Collector menghubungi pihak keluarga debitur dengan tujuan memberi tekanan agar utang segera dilunasi. Tindakan ini jelas melanggar prinsip perlindungan konsumen dan dapat dilaporkan kepada OJK atau otoritas berwenang lainnya.

Bagi pelaku usaha yang memiliki sistem penagihan sendiri atau menggunakan jasa pihak ketiga, memahami regulasi ini menjadi hal penting. Kepatuhan terhadap aturan tidak hanya mencegah pelanggaran hukum, tetapi juga menjaga kredibilitas perusahaan di mata konsumen.

Ketentuan Etika Penagihan oleh PUJK dan Debt Collector

Untuk memastikan proses penagihan berjalan sesuai norma masyarakat dan aturan hukum, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib memastikan bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara berikut:

1. Tanpa Ancaman, Kekerasan, atau Mempermalukan Konsumen

Penagihan tidak boleh dilakukan dengan intimidasi, ancaman fisik maupun psikis, apalagi mempermalukan konsumen di depan umum. Hal ini melindungi hak konsumen agar tidak diperlakukan secara tidak manusiawi.

2. Tidak Menekan Secara Fisik Maupun Verbal

Debt Collector dilarang melakukan tekanan, baik dengan kekerasan fisik maupun kata-kata kasar. Penagihan harus tetap dilakukan dengan komunikasi yang sopan.

3. Hanya Kepada Pihak Berutang atau Penjamin

Penagihan hanya boleh ditujukan langsung kepada debitur atau pihak yang resmi menjadi penjamin utang. Menagih ke keluarga, tetangga, atau pihak lain yang tidak berkaitan merupakan pelanggaran.

4. Tidak Dilakukan Secara Berulang-ulang yang Mengganggu

 Debt Collector dilarang menghubungi konsumen secara terus-menerus hingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Misalnya, menelepon berkali-kali dalam satu hari bisa dianggap bentuk gangguan.

5. Dilakukan di Alamat Resmi Konsumen

Penagihan harus dilakukan di alamat penagihan atau domisili konsumen yang tertera dalam kontrak, bukan di sembarang tempat. Hal ini untuk menjaga privasi dan menghindari praktik mempermalukan konsumen di ruang publik.

6. Mengikuti Jam Kerja yang Ditentukan

Penagihan hanya boleh dilakukan pada hari Senin hingga Sabtu, di luar hari libur nasional, dengan rentang waktu pukul 08.00 – 20.00 waktu setempat. Penagihan di luar jam tersebut dianggap melanggar etika dan aturan.

7. Sesuai Peraturan Perundang-undangan

Semua tindakan penagihan wajib berpedoman pada regulasi yang berlaku agar sah secara hukum dan tidak merugikan konsumen.

8. Menunjukkan Identitas

Selain itu, setiap Debt Collector yang bertugas melakukan penagihan wajib dengan membawa dan menunjukkan identitas resmi, serta menunjukkan surat penugasan atau bukti legalitas dari perusahaan pembiayaan atau kreditur yang sah.

Hal ini penting untuk menghindari penipuan oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai Debt Collector padahal tidak memiliki wewenang resmi.

Peraturan Penagihan oleh Debt Collector

Mengutip laman Hukumonline, menurut Pasal 191 ayat (1) PBI 23/2021, proses penagihan utang oleh Debt Collector wajib mengikuti etika penagihan. Prinsip utama etika penagihan bagi penyedia jasa pembayaran penerbit kartu kredit meliputi:

1. Menjamin bahwa seluruh penagihan, baik dilakukan langsung oleh penyedia jasa pembayaran maupun melalui pihak ketiga, harus sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan.

2. Jika menggunakan jasa penagihan pihak ketiga, penyedia jasa pembayaran wajib memastikan bahwa:

  • Penagihan hanya dilakukan terhadap utang kartu kredit dengan status kredit diragukan atau macet.
  • Mutu pelaksanaan penagihan setara dengan standar penagihan yang dilakukan langsung oleh penyedia jasa pembayaran.

Ketentuan teknis yang lebih rinci mengenai etika penagihan dapat diatur oleh self regulatory organization (SRO) dengan persetujuan Bank Indonesia.

Selain itu, Pasal 62 ayat (1) POJK 22/2023 menegaskan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib menjamin proses penagihan kredit atau pembiayaan kepada konsumen dilakukan sesuai norma yang berlaku di masyarakat serta peraturan perundang-undangan.

Untuk memastikan hal tersebut, PUJK bertanggung jawab agar seluruh praktik penagihan tetap berada dalam koridor hukum dan norma sosial yang berlaku.

Sumber: Hukum Online dan Berbagai Sumber

 

Berita Terkait
Berita Terkini