SUKABUMIUPDATE.com – Sekitar tahun 2019-2020, hyperpop adalah genre yang tidak bisa dihindari. Lagu-lagu seperti "money machine" oleh 100 gecs menjadi anthem viral. Namun, memasuki 2024, gemuruhnya seolah tidak sekeras dulu. Apakah ini pertanda kematian sebuah genre? Atau justru bukti bahwa ia telah berhasil melakukan misinya?
Fenomena hyperpop mengikuti siklus alami banyak gerakan musik avant-garde: muncul sebagai gejolak bawah tanah, mengalami momen ledakan di mata publik, dan kemudian asimilasi—di mana elemen-elemennya diserap oleh arus utama, sehingga yang "murni" berkurang, tetapi pengaruhnya justru ada di mana-mana.
Tanda-Tanda "Kematian" sebuah Genre?
Beberapa tanda yang sering ditafsirkan sebagai "kematian" hyperpop:
1. Pembubaran Playlist "Hyperpop" Spotify: Pada akhir 2023, Spotify secara resmi menghentikan playlist resmi "Hyperpop" mereka dan menggantinya dengan playlist seperti "Escapism." Ini dilihat banyak orang sebagai sinyal bahwa genre sebagai label komersial telah mencapai titik jenuh.
Baca Juga: Ternyata Ini Alasan Hyperpop Jadi Rumah bagi Kaum “Pelangi”
2. Pencerai-beraian Pelopor: Meninggalnya Sophie pada 2021 merupakan kehilangan besar. Sementara itu, para pionir seperti A.G. Cook dan Charli XCX telah bergerak ke proyek-proyek yang lebih luas, tidak hanya terkotak pada satu sound.
3.Siklus Internet yang Cepat: Algorithm platform seperti TikTok selalu haus akan hal baru. Begitu suatu sound menjadi terlalu familiar, algorithm akan mencari "the next big thing," meninggalkan genre sebelumnya untuk dinikmati oleh komunitas intinya.
Bukti-Bukti "Evolusi" dan Kehidupan Baru
Namun, melihatnya sebagai kematian adalah kekeliruan. Hyperpop berevolusi dalam beberapa cara:
1.Pengaruh pada Arus Utama (Mainstream Assimilation): Sound hyperpop kini menjadi warna palet baru bagi produser pop. Anda bisa mendengar sentuhan distorsi hiper, vokal yang dimanipulasi, dan beat glitch dalam lagu-lagu Olivia Rodrigo, Troye Sivan, atau bahkan di beberapa track BTS dalam eksperimen mereka. Hyperpop telah menjadi plugin efek yang bisa digunakan siapa saja.
Baca Juga: Tak Hanya Bising, Rahasia Teknik Produksi Hyperpop Bikin Musisi Traditional Kaget!
2.Fragmentasi menjadi Sub-genre Baru: Energi hyperpop tidak hilang, tetapi terpecah menjadi aliran yang lebih spesifik. Muncul istilah seperti "Digicore" (lebih fokus pada aesthetic internet yang cepat dan chopped vocals), "Glitchcore" (lebih menekankan pada elemen error dan chaos), dan "Breakcore" yang mengalami revival.
3.Hidup dalam Adegan Lokal: Di Indonesia, semangat hyperpop hidup dalam eksperimen musisi-musisi indie dan elektronik. Artis seperti Jasmine Risach, Grrrl Gang, dan Vintonic tidak meniru sound 100 gecs secara mentah, tetapi mengambil semangat kebebasan produksinya dan memadukannya dengan sensibilitas lokal, menciptakan sesuatu yang baru dan segar.
Warisan Sebuah Filosofi
Pada akhirnya, warisan hyperpop yang paling abadi bukanlah pada sound-nya yang spesifik, melainkan pada filosofi yang ditinggalkannya.
Ada tiga hal yang diwariskan, pertama, Demokratisasi Produksi, bahwa siapa pun dengan laptop bisa menciptakan musik yang berani dan berdampak,. Kedua, pemberontakan terhadap norma, di mana tidak ada aturan yang saklek dalam menciptakan seni.
Ketiga, mencipta ruang untuk yang terpinggirkan, musik bisa dan harus menjadi ruang aman untuk suara-suara apapin dan siapapun yang berbeda.
Jadi, hyperpop tidak mati. Ia telah menyelesaikan tugas revolusionernya dan kini hidup sebagai DNA dalam musik pop masa kini, sebuah hantu yang membahagiakan di dalam mesin industri musik.
Sumber: Berbagai Sumber
Penulis: Danang Hamid