SUKABUMIUPDATE.com - Di sebuah kampung di Priangan Timur, Ketika mentari sore mulai merunduk, memantulkan jingga cahaya keemasan pada rumpun-rumpun padi yang hampir menguning, suasana magis pun menyelimuti bumi. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara ngahaleuang, bersenandung lirih dari seorang petani di pematang sawah, ia melantunkan kawih dengan suara serak namun syahdu, seolah-olah ia sedang bercakap dengan langit dan tanah yang menghidupinya.
“Budak leutik bisa ngapung, Babakuna tengah peuting, Nguriling kakalayangan, Neangan nu amis-amis, Sarupaning bungbuahan, naon wae nu kapanggih.”
Ia menyaksikan senja itu sambil bernyanyi dengan pandangan nostalgia, seakan setiap langkahnya adalah pengingat akan perjalanan panjang hidupnya untuk merawat setiap jengkal bumi warisan leluhur ini, namun taka da penerus, seperti juga Pupuh Kinanti yang ia nyanyikan.
Pupuh Kinanti
Dalam khazanah sastra Sunda, terdapat sebuah bentuk puisi tradisional yang tidak hanya memesona karena iramanya, tetapi juga kaya akan nilai kehidupan. Itulah Pupuh Kinanti. Lebih dari sekadar rangkaian kata, Kinanti adalah sebuah mahakarya yang menjadi media untuk menyampaikan cerita, curahan hati, dan nasihat bijak yang langgeng, mampu mengangkat hal-hal dari yang alamiah hingga teknologi modern.
Baca Juga: Sulit Ucapkan Huruf F? Ini 5 Fakta Unik Suku Sunda yang Harus Kamu Ketahui
Apa Itu Pupuh?
Sebelum masuk ke Kinanti, penting untuk memahami apa itu pupuh. Dalam tradisi sastra Sunda, pupuh adalah bentuk puisi tradisional yang terikat oleh aturan tertentu, yaitu guru lagu (sajak akhir) dan guru wilangan (jumlah suku kata dalam setiap baris). Setiap jenis pupuh memiliki pola dan suasana tersendiri, dan Kinanti adalah salah satu yang paling populer dan fleksibel.
Mengenal Ciri Khas Pupuh Kinanti
Pupuh Kinanti memiliki karakteristik yang membuatnya mudah dikenali:
- Guru Lagu: Setiap akhir barisnya memiliki sajak yang merujuk pada vokal -ung, -ing, -ang, atau -ung. Pola ini menciptakan resonansi sajak yang khas.
- Guru Wilangan: Setiap barisnya terdiri dari 8 suku kata. Kepatuhan pada aturan inilah yang menciptakan irama yang ritmis dan melodius saat pupuh ini dilagukan atau dibacakan.
Dengan pola ini, Kinanti memiliki irama yang mengalir, sangat cocok untuk menyampaikan berbagai kandungan isi, dari nasihat dan kerinduan hingga deskripsi yang dinamis.
Fungsi dan Makna Pupuh Lebih dari Sekadar Puisi
Pada masa lalu, Kinanti bukanlah sekadar karya sastra untuk dinikmati keindahannya. Ia memiliki fungsi sosial yang penting:
- Media Nasihat dan Pendidikan: Kinanti sering menjadi sarana untuk menyelipkan pitutur (nasihat) dan ajaran moral. Nilai-nilai seperti kesabaran, ketekunan, dan kebajikan banyak disampaikan melalui pupuh ini.
- Ekspresi Perasaan: Iramanya yang syahdu membuat Kinanti sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan rindu, cinta, atau penantian.
- Menggambarkan Keadaan: Kinanti juga lincah dalam mendeskripsikan sebuah pemandangan, kegiatan, atau fenomena, seperti yang terlihat dalam contoh kedua di bawah.
Baca Juga: 22 Sisindiran Basa Sunda, Keindahan dan Kelucuan yang Tersirat dalam Kata
Contoh Pupuh Kinanti: Dari Alegori Hingga Deskripsi Modern
Kekuatan Pupuh Kinanti terletak pada kemampuannya untuk tetap relevan. Berikut dua contoh yang menunjukkan jangkauannya:
Contoh 1: Kinanti Allegori (Paling Populer)
Budak leutik bisa ngapung
Babaku ngapungna peuting
Nguriling kakalayangan
Neangan nu amis-amis
Sarupaning bungbuahan
Naon bae nu kapanggih
Terjemahan dan Makna Allegoris:
Anak kecil bisa terbang
Waktunya terbangnya malam hari
Berputar-putar di angkasa
Mencari yang manis-manis
Segala macam buah-buahan
Apa saja yang ditemui
Pupuh ini sarat dengan makna kiasan. "Budak leutik bisa ngapung" adalah metafora untuk pikiran dan imajinasi anak-anak yang bebas dan tak terbatas. "Neangan nu amis-amis" melambangkan keingintahuan mereka yang selalu mencari pengetahuan dan pengalaman yang menyenangkan. Pupuh ini adalah nasihat lembut bagi orang tua untuk memastikan "asupan" yang diterima anak adalah hal-hal yang baik dan bermanfaat.
Contoh 2: Kinanti Deskriptif (Modern)
Itu naon nu ngahiung
Suat-siet henteu cicing
Ngawang-ngawang kawas heulang
Muter karalang-kuriling
Sihoréng kapal nu urang
Kapal udara ngalingling
Terjemahan dan Analisis:
Itu apa yang berhiung
Sibuk sekali tidak diam
Terbang-terbang seperti elang
Berputar kesana-kemari
Ternyata kapal kita
Kapal udara berputar
Contoh pupuh di atas membuktikan bahwa aturan pupuh yang klasik tidak kaku untuk mengangkat objek modern. Sebuah helikopter ("kapal udara") dideskripsikan dengan dinamis menggunakan diksi tradisional seperti "ngawang-ngawang kawas heulang" (terbang seperti elang) dan "muter karalang-kuriling".
Puisi ini menunjukkan kekaguman pada teknologi, tetapi disampaikan dengan sudut pandang dan bahasa budaya Sunda, sebuah perpaduan yang unik antara tradisi dan modernitas.
Baca Juga: Overthinking Stopper: Teknik 5-4-3-2-1 untuk Menenangkan Pikiran
Melestarikan Kinanti di Era Modern
Kekhawatiran akan punahnya warisan budaya seperti Kinanti adalah nyata. Namun, upaya pelestarian bisa dilakukan dengan cara-cara yang kreatif dan relevan:
- Integrasi ke dalam Pendidikan: Memasukkan pembelajaran pupuh ke dalam muatan lokal di sekolah-sekolah.
- Adaptasi ke Media Modern: Mengalihwahanakan Kinanti ke dalam bentuk komik, animasi, atau konten media sosial.
- Kolaborasi Musik: Menciptakan lagu-lagu modern dengan melodi pop atau elektro, tetapi menggunakan lirik yang berasal dari pupuh Kinanti.
Pupuh Kinanti adalah lebih dari sekadar puisi tua. Ia adalah cerminan jiwa Sunda yang menjunjung tinggi keseimbangan antara keindahan seni, kedalaman makna, dan daya adaptasi.
Dari nasihat tentang imajinasi anak-anak hingga deskripsi lincah tentang sebuah helikopter, Kinanti membuktikan bahwa tradisi tidak harus berhenti pada masa lalu, tetapi dapat menjadi bahasa yang hidup untuk mencerna dunia yang terus berubah.
Melestarikannya berarti menjaga sebuah sistem budaya yang canggih di mana disiplin berbahasa, kepekaan estetika, dan kearifan lokal menyatu untuk kemudian diwariskan dengan cara-cara baru yang segar.