SUKABUMIUPDATE.com - Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia telah mengeluarkan kebijakan terbaru yang menyatakan bahwa saat ini Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tidak lagi diperbolehkan memungut royalti musik secara langsung. Tugas pemungutan royalti kini dialihkan secara eksklusif ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sementara LMK bertanggung jawab hanya di bidang pendistribusian royalti kepada pemegang hak yang berhak. Hal ini merupakan bagian dari perbaikan tata kelola royalti musik agar lebih transparan dan terhindar dari penyimpangan.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa pemisahan tugas ini bertujuan menciptakan mekanisme saling mengawasi antara LMKN dan LMK, dengan LMKN tidak boleh mendistribusikan royalti secara langsung, dan LMK harus menyediakan laporan keuangan secara terbuka. Pemerintah juga sedang melakukan audit internal dan melakukan transformasi digital sistem pengelolaan royalti ini.
Dengan demikian, benar bahwa LMK dihentikan untuk memungut royalti secara langsung sejak kebijakan ini berlaku pada tahun 2025, dan seluruh pengumpulan royalti disentralisasi ke LMKN demi transparansi dan efisiensi pengelolaan royalti lagu dan musik di Indonesia.
Baca Juga: Materialists (2025): Pertaruhan Cinta, Eksistensi dan Nilai dalam Dunia Transaksional
Mari kita bicara jujur. Dalam dunia bisnis kuliner, terutama bagi UMKM, setiap rupiah pengeluaran dihitung dengan cermat.
Musik Bukan Sekadar Vibe, Tapi Tagihan Miliaran: Kisah Royalti, Keadilan, dan Dilema Pedas di Balik Mie Gacoan
Anda datang untuk mie pedas yang legendaris. Untuk sensasi rasa yang bikin nagih dan harga yang terjangkau. Bagi Anda, pelanggan, makanan adalah magnet utamanya. Tapi pernahkah Anda menyadari, di balik kepulan asap kuah pedas, ada elemen tak kasat mata yang membuat pengalaman itu lengkap alunan musik yang menemani setiap suapan?
Bagi banyak pengusaha, musik sering dianggap sebagai wallpaper suara, bukan pendorong utama pendapatan. Namun, di sinilah letak ironi terbesar dalam bisnis modern. Musik adalah perekat yang membuat Anda betah, mengubah ruang makan biasa menjadi tempat yang hidup, dan secara halus membuat waktu 45 menit terasa seperti 30 menit. Musik adalah nilai tambah yang Anda nikmati, dan nilai ini, ternyata, memiliki harga yang harus dibayar.
Ketika Vibe Berharga Rp 2,2 Miliar
Kisah ini mencapai puncaknya pada kasus yang melibatkan PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi Mie Gacoan yang pada Agustus 2025, kasus sengketa royalti musik mereka berakhir dengan kesepakatan damai di Polda Bali. Keputusan penyelesaian itu adalah dengan pembayaran royalti sebesar Rp 2,2 miliar kepada salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk penggunaan musik di seluruh gerai mereka periode 2022-2025.
Bagi ekosistem kreatif, ini adalah kemenangan besar sebuah penegasan bahwa karya intelektual harus dihargai, sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Musik yang didengar jutaan pelanggan setiap hari memiliki nilai ekonomi yang sah, dan pengusaha wajib mematuhi aturan tersebut. Kepatuhan ini adalah bagian tak terpisahkan dari membangun pengalaman bisnis yang berkelanjutan.
Baca Juga: Pegiat Wisata Hadirkan Sunday Market di Pantai Ujunggenteng, Dispar: Dorong Promosi Wisata Sukabumi
Cafe memang tempat asyik buat nongki sambil dengerin musik santai berteman obrolan ngalor-ngidul | Instagram/@pantai_pandan
Dilema Pengusaha antara Kepatuhan dan Cash Flow
Namun, di balik angka miliaran dan semangat keadilan, tersembunyi dilema pedas yang dirasakan banyak pelaku usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Angka Rp 2,2 miliar itu mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh sektor bisnis. Banyak pengusaha yang terpaksa melek pada aturan, tapi sekaligus cemas. Keluhan utama mereka realistis:
"Kami UKM, margin tipis. Kami harus bayar sewa, bahan baku, gaji, dan listrik. Sekarang harus tambah lagi biaya royalti. Bisakah sistem ini lebih proporsional dan fleksibel untuk skala bisnis kecil?"
Mereka bukan menentang hak cipta, tapi mereka merasa terbebani oleh sistem perhitungan yang dianggap terlalu kaku terutama jika tagihan dihitung berdasarkan jumlah kursi atau luas ruangan, tanpa melihat intensitas penggunaan musik atau profitabilitas bisnis. Keadilan harus berjalan dua arah: memastikan musisi sejahtera, tetapi juga memastikan pengusaha kecil tidak gulung tikar karena biaya tambahan.
Baca Juga: Ketika Siluman Bertemu Quantum: Kuantum China Jadi Tantangan bagi Kedaulatan Udara Indonesia
Menanggapi polemik dan kebutuhan akan transparansi, pemerintah terus melakukan reformasi dalam tata kelola royalti. Sejak 2025, terjadi perubahan mendasar untuk menata sistem agar lebih adil bagi semua pihak, sesuai amanat UU Hak Cipta dan PP No. 56 Tahun 2021. Tugas pemungutan royalti (dari kafe, restoran, hotel, dan lain-lain) kini dipegang eksklusif oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai pintu tunggal. Sementara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) kini berfokus pada pendistribusian royalti yang akurat kepada para pencipta. Reformasi ini bertujuan untuk:
- Menghilangkan pungutan ganda yang selama ini dikeluhkan pengusaha.
- Menciptakan transparansi dan sistem saling mengawasi agar setiap rupiah royalti sampai ke tangan pencipta.
- Mempertimbangkan keringanan tarif bagi UMKM, meskipun detail pelaksanaannya masih terus diupayakan agar lebih memberikan kepastian hukum.
Ini adalah masalah keadilan dalam ekosistem bisnis. Sebuah pengakuan bahwa di balik kenikmatan pengalaman yang Anda jual, ada pihak lain yang berjasa.
Investasi pada Ekosistem, Dikawal Pemerintah
Kisah Mie Gacoan pada akhirnya mengajarkan satu hal fundamental: dalam bisnis kuliner, yang Anda jual bukan sekadar rasa di piring, tetapi pengalaman menyeluruh. Musik adalah jiwa dari pengalaman itu. Maka, pembayaran royalti harus dilihat sebagai investasi bersama pada ekosistem. Keadilan sejati terjadi ketika musisi mendapatkan haknya dan pengusaha bisa mematuhinya melalui sistem yang transparan dan proporsional. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk membangun iklim bisnis dan seni yang sehat di Indonesia.
Melalui pengawasan ketat terhadap LMKN dan LMK, pemerintah berusaha memastikan bahwa reformasi ini tidak hanya menjadi perubahan di atas kertas, tetapi benar-benar membawa kepastian hukum bagi pencipta dan kemudahan kepatuhan bagi pengusaha. Kisah Mie Gacoan ini mengajarkan bahwa keadilan sejati adalah ketika hak pencipta terlindungi dan kepatuhan pengusaha dipermudah. Di tengah keresahan UMKM, reformasi sistem royalti menjadi janji perbaikan.
Poin terpenting dalam reformasi ini adalah penegasan kembali peran kelembagaan, berdasarkan aturan terbaru yang diinisiasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dilarang keras untuk melakukan penarikan atau pemungutan royalti secara langsung dari pengguna komersial seperti kafe atau restoran. Tugas pemungutan dan penghimpunan royalti kini dipegang secara eksklusif oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai pintu tunggal.
Perubahan ini bertujuan untuk mengakhiri praktik pungutan ganda dan menjamin transparansi, memastikan bahwa dana royalti tidak disalahgunakan dan benar-benar didistribusikan kepada pencipta. Dengan dikawal oleh Kementerian Hukum melalui pengawasan ketat, sistem ini diharapkan memberikan kepastian hukum bagi pelaku seni dan sekaligus kemudahan serta proporsionalitas biaya bagi pengusaha, sehingga musik bisa terus berdentum tanpa meninggalkan rasa pahit dalam pembukuan bisnis.



