GSBI Kecam Besaran UMK Sukabumi 2026 di Bawah Rekomendasi Bupati, KDM Dinilai Ingkar Janji

Sukabumiupdate.com
Jumat 26 Des 2025, 16:54 WIB
GSBI Kecam Besaran UMK Sukabumi 2026 di Bawah Rekomendasi Bupati, KDM Dinilai Ingkar Janji

Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi kecewa besaran UMK 2026 yang ditetapkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di bawah rekomendasi kepala daerah. (Sumber : GSBI)

SUKABUMIUPDATE.com – Besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jawa Barat Tahun 2026 yang ditetapkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi (KDM) menuai kecaman dan kekecewaan dari kalangan buruh. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi menilai KDM mengabaikan rekomendasi kepala daerah.

Penetapan UMK tersebut diketahui tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.862-Kesra/2025 yang ditandatangani pada Rabu (24/12/2025) sekitar pukul 18.00 WIB. Dalam SK tersebut, UMK Kabupaten Sukabumi 2026 ditetapkan sebesar Rp3.831.926 atau naik Rp227.444, setara kenaikan 6,31 persen dari UMK 2025 sebesar Rp3.604.482.

Ketua DPC GSBI Kabupaten Sukabumi, Dadeng Nazarudin, menyatakan angka tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi Bupati Sukabumi Asep Japar. Sebelumnya, pada 22 Desember 2025, Bupati merekomendasikan UMK 2026 sebesar Rp3.893.201 atau naik sekitar 8 persen dari tahun sebelumnya.

“Nilai UMK yang ditetapkan Gubernur tidak sesuai rekomendasi Bupati. Padahal sebelumnya KDM menyampaikan akan mengesahkan SK sesuai rekomendasi kepala daerah kabupaten/kota. Faktanya, SK yang dikeluarkan justru berbeda dan tidak sesuai janji,” ujar Dadeng dalam siaran pers yang diterima sukabumiupdate.com, Kamis (25/12/2025).

Baca Juga: UMP Naik Jadi Rp2,3 Juta, Berikut Daftar Lengkap UMK-UMSK Jabar 2026 yang Diteken KDM

Tak hanya soal besaran UMK, GSBI juga mempersoalkan dihilangkannya rekomendasi Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) untuk sejumlah sektor usaha di Kabupaten Sukabumi. Dadeng menyebut, rekomendasi Bupati terkait UMSK sama sekali tidak dicantumkan dalam SK Gubernur.

“Bukan hanya UMK Sukabumi yang diubah, rekomendasi UMSK juga tidak di-SK-kan. Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah lain di Jawa Barat, baik UMK maupun UMSK ada yang diubah bahkan dihilangkan,” katanya.

GSBI mengaku hingga saat ini belum menerima penjelasan resmi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait alasan perubahan dan penghapusan rekomendasi tersebut. Padahal, proses perundingan Dewan Pengupahan di daerah dilakukan melalui mekanisme tripartit dan memakan waktu panjang.

“Buat apa Dewan Pengupahan berunding berhari-hari sampai larut malam dan Bupati mengeluarkan rekomendasi, kalau akhirnya diubah sepihak oleh Gubernur? Ini menunjukkan KDM tidak berpihak pada buruh dan hanya menyampaikan janji,” tegas Dadeng.

GSBI juga menyoroti kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat 2026 yang ditetapkan sebesar Rp2.317.601. Angka tersebut dinilai jauh dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Jawa Barat yang berdasarkan survei Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan BPS yang mencapai Rp4.122.871.

“UMP Jawa Barat bahkan tidak sampai setengah dari KHL. Ini jelas kebijakan pro upah murah dan anti buruh,” ujarnya.

Baca Juga: Pergerakan Tanah Susulan Terjang Kampung Gempol Sukabumi: Rusak 15 Rumah, Warga Kembali Mengungsi

Kekecewaan buruh semakin bertambah ketika ribuan pekerja melakukan aksi di Gedung Sate, Bandung pada Rabu siang. GSBI menyebut Gubernur KDM tidak hadir menemui massa dan sulit dihubungi.

“Kami mempertanyakan, apakah KDM ini benar-benar Gubernur Rakyat atau justru ‘Gubernur Konten’ seperti yang banyak dibicarakan publik,” sindir Dadeng.

GSBI mendesak Gubernur Jawa Barat dan Dewan Pengupahan Provinsi untuk bertanggung jawab serta segera memberikan penjelasan terbuka kepada buruh dan masyarakat. Mereka juga menuntut agar SK UMK dan UMSK direvisi dan ditetapkan sesuai rekomendasi Bupati/Wali Kota.

Ke depan, GSBI Sukabumi bersama serikat pekerja lainnya menyatakan akan segera berkonsolidasi dan melanjutkan perlawanan untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum, setidaknya sesuai rekomendasi kepala daerah.

“Perlu kami sampaikan, tuntutan ini sebenarnya sangat moderat dan kompromistis. Secara prinsip, GSBI memperjuangkan pemberlakuan Upah Minimum Nasional 2026 sebesar Rp8,2 juta. Sebab, rumus upah minimum selama ini lebih mengutamakan kepastian usaha dan daya saing investasi, bukan sebagai alat perlindungan sosial bagi buruh,” pungkas Dadeng.

Sebelumnya diberitakan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut penetapan UMK dan UMSK 2026 yang dituangkan dalam SK yang ditekennya tersebut dilakukan berdasarkan usulan dari masing-masing daerah.

“Untuk kabupaten/kota, kita mengikuti atau menetapkan seluruh usulan yang disampaikan oleh kabupaten dan kota, baik upah minimum kabupatennya maupun upah minimum sektoralnya,” kata Dedi kepada awak media di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Rabu (24/12/2025).

Baca Juga: Rp6,6 Triliun Uang Sitaan Kasus Korupsi Untuk Tambal APBN: Defisit Rp560 Triliun

Ia menjelaskan, pengelompokan UMSK mengikuti ketentuan pemerintah pusat. “Komponen dan kelompok upah minimum sektoral disesuaikan dengan peraturan pemerintah,” jelasnya.

Dedi mengakui masih terdapat perbedaan besaran upah antardaerah di Jawa Barat yang dipengaruhi oleh kesepakatan masing-masing kabupaten dan kota. Ia mencontohkan Kabupaten Bekasi sebagai daerah dengan upah tertinggi di Jawa Barat.

Terkait penilaian ideal atau tidaknya besaran upah, Dedi menyebut hal tersebut bersifat relatif. “Kalau dalam pandangan saya ideal, tapi bagi pengusaha bisa dianggap terlalu mahal, sementara bagi pekerja dianggap terlalu murah. Itu hal yang biasa,” ujarnya.

Menurut Dedi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil posisi tengah untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja dan dunia usaha. “Kita juga mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan dunia usaha agar investasi di Jawa Barat tidak hanya bertumpu di satu daerah, tetapi menyebar ke berbagai wilayah kawasan industri,” pungkasnya.

Berita Terkait
Berita Terkini