SUKABUMIUPDATE.com - Sekitar 80% atau sebanyak 38 Kecamatan di Kabupaten Sukabumi masuk kategori rawan pergerakan tanah. Satu di antaranya Kecamatan Warungkiara, di mana pada Jumat (3/2) lalu, empat kampung di Desa Bantarkalong mengalami kerusakan akibat bencana pergerakan tanah.
"Warungkiara itu termasuk daerah rawan pergerakan tanah dengan zona sedang mengarah tinggi," kata Kepala Dinas ESDM dan Perindustrian Kabupaten Sukabumi Adi Purnomo saat dihubungi sukabumiupdate.com melalui sambungan telepon, Kamis (9/2).
Kerawanan bencana pergerakan tanah di wilayah yang digadang-gadang terluas se-Pulau Jawa dan Bali itu, relatif tinggi. Adi menyebut Kabupaten Sukabumi bisa dikatakan etalasenya berbagai bencana geologi, termasuk di dalamnya pergerakan tanah.
"Hampir 80% wilayah di Kabupaten Sukabumi itu rawan bencana. Wilayahnya tersebar di utara dan selatan. Selain pergerakan tanah, ada juga potensi tsunami, tanah longsor, dan bencana lainnya," sebut Adi.
Hanya saja tingginya potensi pergerakan tanah itu belum dibarengi dengan upaya pendetailan wilayah. Artinya, sejauh ini pemetaan wilayah baru dilakukan secara global sehingga tak diketahui persis wilayah mana saja di setiap kecamatan yang termasuk zona merah, zona kuning, maupun zona hijau.
BACA JUGA:
Bencana Pergerakan Tanah Ancam 60 KK di Desa Bantarkalong Kabupaten Sukabumi
Pergerakan Tanah di Cisolok Kabupaten Makin Parah, Jumlah Pengungsi Terus Bertambah
Kaji Pergerakan Tanah Cisolok Kabupaten Sukabumi Badan Geologi Minta Warga Direlokasi
"Detail peta gerakan tanah geologi itu perbandingannya 1:100.000. Rasio itu agar diketahui persis detail wilayahnya. Sayangnya, pendetailan itu bukan kewenangan pemerintah daerah, tapi Badan Geologi. Dulu pernah ada pendetailan wilayah rawan pergerakan tanah itu. Tapi bukan dilakukan di Bantarkalong (Warungkiara), tapi di Bantargadung," sebut Adi.
Pemkab Sukabumi ingin melakukan pendetailan pemetaan wilayah rawan pergerakan tanah itu. Tetapi masih terkendala keterbatasan anggaran. "Pendetailan wilayah rawan pergerakan tanah itu butuh anggaran besar. Kalau ada anggarannya sih enggak ada masalah. Tapi kan kita tak punya anggaran untuk melakukan pendetailan itu," beber Adi.
Masih relatif tingginya intensitas curah hujan, sebut Adi, menjadi pemicu utama terjadinya pergerakan tanah. Karakteristik tanah, kata Adi, ketika kemarau akan merekah sehingga terdapat rongga-rongga. Ketika diguyur hujan deras, rongga-rongga itu akan dibebani dengan volume air. "Sehingga kondisi tanah jadi jenuh. Ketika terjadi endapan air yang semakin menumpuk, maka volume tanah bisa ambruk. Apalagi dengan banyak berubahnya tata guna lahan. Misalnya yang sebelumnya hutan lindung jadi hutan terbuka. Itu bisa jadi memicu tanah longsor," terang dia.
Bagi Adi berbagai potensi kebencanaan itu tak bisa dihindari. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat menyikapinya karena harus hidup di daerah rawan bencana. "Kalau harus pindah, kecil kemungkinannya karena butuh anggaran besar juga yang tentunya membebankan masyarakat. Bencana itu gejala alam yang sudah digariskan Allah SWT. Masyarakat juga harus terlibat mengamati gejala-gejala alam itu secara terstruktur dan kontinyu," tandasnya.