Harga Diri Lebih Tinggi Dari Tahta! Dua Epik Perlawanan Sunda dari Bubat hingga Mataram

Sukabumiupdate.com
Selasa 04 Nov 2025, 06:57 WIB
Harga Diri Lebih Tinggi Dari Tahta! Dua Epik Perlawanan Sunda dari Bubat hingga Mataram

Panorama luas perlawanan Dipati Ukur di tengah hutan lebat Priangan. Pasukan Sunda yang berani, dengan senjata tradisional dan semangat membara, bergerak di antara pepohonan rimbun yang diselimuti kabut pagi. (Ilustrasi: Sora)

SUKABUMIUPDATE.com - Kisah tragedi Bubat tidak hanya dramatis, tapi juga sangat tragis, di mana Putri Dyah Pitaloka memilih untuk menyudahi hidupnya dan Raja Sunda memilih gugur dalam palagan, telah menjadi batu penjuru filosofi martabat di Tanah Pasundan bukanlah roman picisan atau soal cinta yang gagal, melainkan tentang penolakan mutlak terhadap pelecehan harga diri.

Di satu sisi, Kidung Sunda dengan lantang menyalahkan Mahapatih Gajah Mada atas keangkuhan politiknya. Keputusan Mahapatih Gajah Mada di Bubat adalah tindakan realpolitik yang dihitung secara dingin dan tanpa belas kasihan, demi menuntaskan ambisi Sumpah Palapa yang ia yakini wajib terlaksana.Gajah Mada memandang kedatangan rombongan Kerajaan Sunda bukan sebagai upacara pernikahan yang sakral, melainkan sebagai peluang emas satu-satunya cara untuk memaksa pengakuan kedaulatan Majapahit atas Sunda.

Dengan manuver politik yang cerdik dan keras, ia mengubah tenda kehormatan menjadi medan perang. Gajah Mada memblokade semua negosiasi damai, secara efektif memojokkan Maharaja Sunda dan putrinya di antara dua pilihan yang mustahil berupa penyerahan total yang memalukan atau kematian heroik. Langkah ini berhasil menyingkirkan kemerdekaan Sunda dari peta politik, namun mencoreng citra Majapahit dengan darah di mata sejarah.

Tetapi, di sisi lain, naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan justru berbalik mengkritik Putri dan Raja karena hasrat yang dianggap melanggar tatanan adat, seolah mengingatkan bahwa bencana seringkali bermula dari kesalahan internal. Walau perspektifnya terbelah, intinya sama bagi Sunda, kehormatan tidak dapat dinegosiasikan. Warisan heroik nan pilu inilah yang terus bergema berabad-abad kemudian, saat Majapahit telah runtuh, namun ancaman hegemoni kembali datang dari timur.

Ketika Majapahit tinggal kenangan, panggung kekuasaan di Jawa beralih ke Mataram, dipimpin oleh Sultan Agung yang ambisius. Di bawah bayang-bayang Mataram, otonomi Priangan terasa tercekik. Dalam periode penyerahan kekuasaan inilah muncul seorang tokoh yang memikul beban harga diri Sunda, yakni Dipati Ukur, seorang Ukur (kepala daerah) yang berkuasa di wilayah Bandung.

Baca Juga: Meluruskan Sora Nu Patukeur: Vokal 'E', 'Eu', dan Kekeliruan Lain dalam Tulisan Bahasa Sunda

Dipati Ukur,Ekspresinya memancarkan konflik batin yang mendalam: putus asa, tekad membara, dan beban keputusan besar. Ia baru saja kembali dari kegagalan ekspedisi Batavia, dan kini harus memilih antara hukuman memalukan dari Mataram atau pemberontakan.Dipati Ukur, ekspresinya memancarkan konflik batin yang mendalam: putus asa, tekad membara, dan beban keputusan besar. Ia baru saja kembali dari kegagalan ekspedisi Batavia, dan kini harus memilih antara hukuman memalukan dari Mataram atau pemberontakan (ilustrasi: Canva).

Kisahnya bermula dari tugas berat memimpin pasukan Mataram untuk menyerang benteng VOC di Batavia. Ukur dan pasukannya gagal dalam misi epik tersebut. Keputusan yang dihadapinya pasca-kegagalan adalah pilihan pahit kembali ke ibukota Mataram dan menghadapi hukuman yang memalukan, atau mengangkat senjata melawan Sultan Agung.

Ukur memilih jalan yang diwarnai darah para pendahulunya di Bubat. Daripada tunduk pada nasib yang diputuskan oleh penguasa asing, Ukur memutuskan untuk memberontak. Tindakannya bukanlah kalkulasi politik yang cerdas ia tahu betul kekuatan Mataram jauh melampaui pasukannya melainkan manifestasi dari reaktif heroik yang diwarisi secara turun-temurun menolak menjadi budak dari kekuasaan manapun.

Di mata rakyatnya, pemberontakan Ukur adalah upaya terakhir untuk mempertahankan percikan kedaulatan Sunda. Selama beberapa waktu, ia memimpin perlawanan sengit, menjadikannya duri dalam daging bagi Mataram. Namun, sejarah memiliki kehendaknya sendiri, yakni perlawanan Dipati Ukur yang akhirnya dapat dipadamkan, dan ia pun dihukum mati.

Baca Juga: Wangsit Siliwangi Apakah Sekadar Ramalan atau Panggilan Moral dari Tanah Pasundan?

Baik Dyah Pitaloka di Bubat maupun Dipati Ukur di Priangan, kedua kisah ini, terpisah oleh tiga abad, menjadi monumen memori kolektif yang bermuatan martabat, cerdas dan menyentuh dalam budaya Sunda. Bubat adalah pelajaran tentang kegagalan diplomasi yang berujung pada gugurnya martabat, sementara kisah Ukur adalah penolakan mutlak terhadap penundukan politik yang berujung pada gugurnya raga.

Keduanya mengajarkan satu filosofi yang sama identitas Sunda selalu diukur dari kesediaan mereka membayar harga tertinggi demi martabat. Mereka tidak hanya dikenang karena kekalahan, mereka dikenang karena pilihan untuk kalah dengan kemuliaan, meninggalkan warisan reflektif bahwa harga diri adalah tahta sejati yang harus dipertahankan.

Kegagalan dan Pilihan Pemberontakan

Kisah Dipati Ukur, yang menjadi penguasa di Tatar Ukur (wilayah Priangan), muncul sebagai cermin reflektif atas semangat anti-dominasi yang diwarisi dari Tragedi Bubat, namun kali ini berhadapan dengan kekuatan baru, Kesultanan Mataram di abad ke-17. Dipati Ukur awalnya adalah seorang bupati yang dipercaya oleh Sultan Agung untuk memimpin ekspedisi Mataram yang ambisius menyerang benteng VOC di Batavia. Sayangnya, serangan tersebut berakhir dengan kegagalan yang pahit.

Baca Juga: Beda Uang Rupiah Digital Bank Indonesia vs. Kripto (Mitos vs. Fakta)

Di hadapan Sultan Agung, kegagalan militer seringkali berarti hukuman mati atau penghinaan besar. Ukur menyadari bahwa jika ia kembali ke ibukota Mataram, ia tidak hanya akan kehilangan jabatan, tetapi juga martabatnya sebagai pemimpin Sunda. Dalam momen genting inilah, ia mengambil pilihan yang berisiko namun heroik: daripada tunduk pada vonis Mataram dan merendahkan harga diri Priangan, ia memilih untuk mengangkat senjata, mendeklarasikan pemberontakan, dan berjuang demi otonomi wilayahnya sendiri, menolak dijadikan pion dalam permainan politik kekuasaan luar.

Meskipun didorong oleh tekad baja untuk mempertahankan kehormatan (siri), perlawanan Dipati Ukur adalah perjuangan yang terisolasi dan ditakdirkan juga. Kekuatan militer Mataram, yang jauh lebih terorganisir dan superior, segera bergerak untuk menumpas pemberontakan tersebut. Ukur dan pasukannya berjuang dengan gigih di tanah Priangan, tetapi tanpa dukungan politik yang memadai, mereka tidak mampu menahan gelombang serbuan Mataram.

Ukur akhirnya tertangkap, dibawa ke Mataram, dan dieksekusi, menutup babak perlawanan bersenjata Sunda terhadap kekuatan sentralis.

Meskipun kalah secara militer, Dipati Ukur dikenang dalam ingatan kolektif Sunda bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai pahlawan tragis yang berani menantang takdir hegemoni. Warisannya adalah simbol ketidakrelaan abadi rakyat Priangan untuk ditindas, menegaskan kembali filosofi yang ditegakkan di Bubat, bahwa kemuliaan dan martabat adalah nilai yang harus dibayar dengan pengorbanan tertinggi.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini