Patanjala dan Jasling, DPRD Sukabumi Bayu Permana Soal Lingkungan Pasca Bencana

Sukabumiupdate.com
Senin 15 Sep 2025, 11:41 WIB
Patanjala dan Jasling, DPRD Sukabumi Bayu Permana Soal Lingkungan Pasca Bencana

Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Sukabumi, Bayu Permana. (Sebelah Kiri). (Sumber : Dok DPRD).

SUKABUMIUPDATE.com - Rangkaian bencana hidrometeorologi yang melanda Kabupaten Sukabumi dalam beberapa bulan terakhir menjadi perhatian serius DPRD Kabupaten Sukabumi. Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kabupaten Sukabumi, Bayu Permana, menilai kondisi ini semakin menegaskan urgensi pembahasan Raperda Patanjala dan Raperda Jasa Lingkungan (Jasling).

Bayu mengingatkan bahwa catatan bencana terjadi hampir beruntun. “Dua hari yang lalu ada tujuh rumah dan pesantren di Cisaat terkena banjir, sebulan lalu longsor di Bojonggenteng, dan pada 4 Maret 2025 tercatat tiga orang meninggal, lima orang hilang, serta 325 orang mengungsi akibat banjir. Jika ditarik mundur sampai 4 Desember 2024, rentetan longsor, banjir, dan pergeseran tanah terjadi secara merata di Kabupaten Sukabumi,” tuturnya, Senin (15/9/2025).

Menurutnya, kejadian tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan. Ia menilai kondisi ekosistem lingkungan dari wilayah hulu, tengah, hingga hilir sudah terganggu. Sebagai contoh, Sungai Cicatih mengalami gangguan kawasan sebesar 62,8 persen yang menunjukkan daya dukung dan daya tampung sungai sudah tidak memadai. Begitu pula Gunung Rompang di Simpenan sebagai hulu Sungai Cidadap yang mengalami alih fungsi lahan.

Baca Juga: Konten Kreator Sukabumi Terseret UU ITE, Ini Kata Ahli Hukum Dewan Pers

“Di sinilah kenapa Raperda Patanjala tentang pengetahuan tradisional dalam perlindungan kawasan sumber air dan Raperda Jasa Lingkungan menemukan urgensinya,” jelasnya.

Bayu menuturkan, Sukabumi yang memiliki kekayaan budaya berupa pengetahuan tradisional dan masyarakat hukum adat, serta kekayaan sumber daya alam di kawasan Gunung, Rimba, Laut, Pantai, dan Sungai (Gurilaps), justru menghadapi ancaman eksploitasi. “Alih-alih menjamin kesejahteraan, kekayaan alam ini menjadi kutukan sumber daya alam karena dieksploitasi secara tidak etis tanpa memikirkan keselamatan lingkungan dan keberlanjutan untuk masa kini maupun masa depan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti desain pola ruang yang berlaku saat ini, di mana kawasan lindung hanya 12,8 persen dengan kontribusi kawasan perlindungan setempat (KPS) seluas 0,7 persen. Angka tersebut dinilai tidak cukup untuk menopang kawasan budidaya di Kabupaten Sukabumi. Padahal, jika mengacu pada RPJMD 2025-2030 sebagai tahapan pondasi pencapaian RPJPD, perlindungan kawasan lingkungan menjadi hal mendesak.

“Atas dasar itu, upaya perluasan kawasan lindung menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Yang paling penting, agenda ini harus berbasis kebudayaan atau Patanjala agar mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup,” kata Bayu.

Ia juga mengingatkan pesan Gubernur Jawa Barat, KDM, yang menyebut bahwa tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup di Sukabumi harus dikembalikan pada nilai-nilai kebudayaan. “Seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta sudah saatnya memprioritaskan agenda ini. Tujuannya untuk menjamin pembangunan berkualitas dan berkelanjutan sebagai warisan untuk anak cucu kita di masa yang akan datang,” pungkas Bayu. (adv)

 

Berita Terkait
Berita Terkini