Yayasan Dapuran Kipahare terpilih sebagai pelaksana kegiatan Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX Jawa Barat. Kegiatan ini mewakili Kota Sukabumi dengan tajuk “Workshop Budaya: Menggali Seni Tradisi dan Ritual Betok”.
Workshop berlangsung pada Kamis, 18 September 2025, di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Sukabumi. Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh dan instansi, antara lain Wakil Wali Kota Sukabumi, Bobby Maulana; Kasubag Umum BPK Wilayah IX Jawa Barat, Bpk. Swedhi Hananta, S.S., M.A; Pengadministrasi Keuangan BPK Wilayah IX Jawa Barat, Bpk. Ade Nana Budhiarno; Perwakilan Kepala Cabang Dinas Wilayah V Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat; Perwakilan Plt. Kadisdikbud Kota Sukabumi; Perwakilan Kadiskominfo Kota Sukabumi; Perwakilan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Sukabumi; Camat Lembursitu, Bpk. Yudi Sutriana, S.E., M.M; Sekitar 150 peserta dari SMP, SMA, SMK, dan mahasiswa di Kota dan Kabupaten Sukabumi.
Mengenal Betok: Warisan Tradisi Sukabumi
Betok, singkatan dari “lebe” dan “patok”, merupakan kesenian asli Sukabumi yang diciptakan oleh Bapak Ani dari Harempoy. Kesenian ini berkembang sejak masa kolonial di Desa Cisarua, yang kini menjadi bagian dari Kota Sukabumi sejak 1996. Keberadaan Betok tercatat dalam buku Over Toonschalen en Instrumenten van West-Java (1923).
Betok lahir dari proses sinkretis budaya Sunda, Tionghoa, dan Arab. Instrumen musiknya meliputi gendang, gong, terompet, dan rebana (terbang), yang berasal dari istilah Arab “tarbana” atau “robana”. Dalam versi awal, pertunjukan Betok menghadirkan tokoh Sayyid yang berdakwah dan naga sebagai simbol pengaruh budaya Tionghoa.
Pertunjukan Betok bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarat tuntunan. “Lebe” merujuk pada tokoh agama Islam dalam urusan pernikahan, sementara “patok” berarti standar atau tali paranti—jalan hidup. Simbol seperti cermin dalam ritual Kuda Lumping mengandung makna introspeksi agar tidak takabur.
Pada masa kolonial, Betok dikenal luas di Sukabumi, Cianjur, Bogor, hingga Banten. Kwee Tek Hoay menyebutnya sebagai “ronggeng gunung” yang tampil di Batavia. Peneliti Belanda menyebutnya paarddansers, berbeda dari Kuda Lumping biasa karena menggunakan kulit kambing berbentuk melingkar. Ritual mistisnya dikenal dengan istilah “nginjeum rasa”—merasakan jiwa kuda dalam manusia dan sebaliknya.
Namun, seiring waktu, Betok mengalami reduksi. Beberapa adegan seperti dialog dakwah, sayembara memanah naga, dan lagu pujian “Sulanjana” mulai hilang. Saat ini, Bah Mardi dari Betok Pusaka merupakan generasi kelima yang berkomitmen melestarikan tradisi ini secara berkelanjutan.
Upaya Revitalisasi dan Literasi Budaya
Yayasan Dapuran Kipahare bersama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX berupaya menggali kembali filosofi Betok melalui workshop budaya. Kegiatan ini bertujuan mengenalkan Betok kepada generasi muda, khususnya siswa dan mahasiswa.
Output kegiatan tidak berhenti pada workshop saja, tetapi akan dituangkan dalam buku “Menggali Seni Pertunjukan Betok” yang dijadwalkan terbit pada September ini.
“Budaya akan lestari jika dianggap berguna oleh generasinya. Seperti K-pop yang diminati karena relevan dan keren, Betok pun perlu dikemas secara kreatif agar sesuai zaman tanpa kehilangan pakemnya,” ujar Irman Firmansyah, perwakilan Yayasan Dapuran Kipahare dalam rilis kepada Sukabumiupdate.com, Jumat (19/9/2025).
Ia berharap workshop ini menjadi pemicu revitalisasi budaya lokal sesuai amanat UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Sukabumi serta panitia dari Yayasan Dapuran Kipahare atas kerja keras menyelenggarakan kegiatan ini. “Terus merajut sejarah dan merawat budaya. Maju babarengan, moal pahare hare,” tutup Irman.
Seni Tradisi di Era Digital
Wakil Wali Kota Sukabumi, Bobby Maulana, dalam sambutannya menegaskan pentingnya seni budaya sebagai sarana memperkuat jati diri dan kapabilitas daerah di era digital.
“Seni budaya adalah cara untuk meningkatkan popularitas daerah dan mengoptimalkan potensi Sukabumi. Di era digital, budaya kita harus tampil di ruang publik, termasuk media sosial,” ujarnya.
Ia menyoroti fenomena masyarakat yang ramah secara langsung namun kerap keras di ruang maya. Literasi digital, menurutnya, menjadi kunci menghadapi transformasi budaya global.
“Agama, budaya, dan ilmu harus menjadi karakter jati diri. Gunakan media sosial secara bijak untuk mempromosikan budaya lokal,” tambahnya.
Bobby juga membuka peluang agar kegiatan serupa dikolaborasikan dengan momen besar Kota Sukabumi, seperti peringatan HUT Kota. Ia berharap generasi muda dapat memanfaatkan algoritma digital untuk menyebarkan konten positif tentang kebudayaan.
“Keluar dari zona nyaman, perluas pandangan, dan promosikan kebudayaan asli kita,” tutupnya dilansir dari portal KDP Kota Sukabumi.


