Oleh: Ahmad Riyadi S. Leky | BPH PB PMII, Kandidat Ketua Umum PB PMII 2021-2023
Dalam perkembangan sejarah, setiap perubahan global selalu berawal dari revolusi industri. Namun, era 21 ini nyaris tak terprediksi, Covid 19 pada akhir tahun 2019 hadir secara mengejutkan melanda hampir semua negara di dunia sehingga WHO pada Januari 2020 menyatakan bahwa dunia masuk ke dalam darurat global. Bahkan hingga tulisan ini hadir (12/3), virus Corona yang menyerang sistem pernapasan ini sejak kemunculannya secara global telah menginveksi 118.545.934 kasus baru dan 2.629.240 meninggal dunia (arcgis.com), begitu pula di Indonesia terjadi 1,4 juta kasus, sembuh 1, 22 juta kasus, 37, 932 meninggal dunia (JHU CSSE Covid 19).
Darurat global ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, namun juga memunculkan revolusi dan disrupsi pada sektor budaya, baik cara hidup, maupun life style, dengan berpedoman pada protokol kesehatan. Bahkan, disrupsi itu terjadi juga di sektor strategis seperti pendidikan.
Di sektor pendidikan, kebijakan yang diambil banyak negara termasuk Indonesia diimplementasikan melalui sistem pendidikan jarak jauh (PJJ)/e-learning. Sistem ini memunculkan paradigma baru, yakni dari tatap muka menjadi virtual, dari guru/ dosen sebagai narasumber menjadi fasilitator dan siswa/ mahasiswa menjadi peserta aktif.
Hal ini didukung oleh Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). Prinsip yang diterapkan dalam kebijakan masa pandemi COVID-19 adalah “kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran”. Karenanya, terdapat perombakan besar besaran dalam cara mengajar dan proses belajar, termasuk media dan kerangka paradigmatik yang digunakan.
Selama satu tahun terakhir, siswa, tenaga pengajar, orang tua, dan stakeholder terkait dipaksa untuk keluar dari pola konvesional menjadi pola digital, sejalan dengan konsep revolusi industri 4.0 yang lebih mengedepankan internet of thing dan teknologi digital. Sebagai sebuah program, berbagai riset di lapangan menyatakan bahwa PJJ/ e learning bisa diterapkan.
Dengan adanya fasilitas internet, keterlibatan orang tua (untuk siswa sekolah), PJJ cukup bisa melakukan adaptasi sistem pendidikan yang lebih mengedepankan partisipatoris, misalnya tugas mandiri, mengedepankan aspek psikomotorik siswa, dan membuat pendidikan lebih praktis, fleksibel, dan santai.
Namun, jika ditarik secara makro dalam kerangka pendidikan yang lebih strategis, tentu memerlukan ruang kritis, apakah hasilnya sistem PJJ yang dilaksanakan sudah efektif dan efisien dengan sistem tatap muka, lebih baik, atau lebih buruk. Perlunya ruang evaluasi dan sikap kritis masyarakat sangat diperlukan, mengingat pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab stakeholder terkait, melainkan tanggungjawab seluruh elemen dalam mengantarkan generasi berikutnya menjadi generasi yang cerdas, unggul, dan berkepribadian sebagai mana falsafah Pancasila dan tujuan konsitusi. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka sistem pendidikan kita hanya mampu bertahan pada level normatif, namun tidak cukup strategis dalam menghadapi berbagai goncangan.
Meskipun pemerintah telah memberikan fleksibilitas dana BOS untuk subsidi kuota bagi guru dan siswa kurang mampu, provider seluler menyediakan akses murah/ gratis untuk pendidikan, dan optimalisasi RRI dan TVRI dalam menyebarluaskan konten pembelajaran, namun masih terdapat permasahan mendasar sistem PJJ, yakni belum mampu menjawab kondisi pembelajaran di kalangan ekonomi bawah (tingginya biaya kuota, perangkat HP tidak cukup memadai), daerah 3T (akses internet yang blank spot, minimnya sinyal), gagap terhadap teknologi (siswa dan pengajar mengalami kesulitan, terutama yang berusia lajut dan tidak faham menggunakan teknologi, kesulitan orang tua mendampingi anaknya melakukan kegiatan belajar mengajar), serta kesulitan evaluasi belajar karena tidak bisa terpantau secara langsung sehingga nilai hasil belajar juga jauh dari ekspektasi.
Hal ini senafas dengan hasil evaluasi komisi X DPR RI atas sistem PJJ yang berjalan. Simpulannya, teknis PJJ sangat dilematis, secara metode dan capaian tidak efektif, namun secara kebijakan tidak bisa melaksanakan pelaksanaan belajar tatap muka karena prasyarat yang ditentukan oleh Kemenkes sangat ketat.