SUKABUMIUPDATE.com - Mantan direktur utama PT ASDP Ferry Indonesia (Persero) Ira Puspadewi dituntut hukuman 8 tahun 6 bulan dan denda Rp 500 juta dan hukuman pengganti selama 4 bulan oleh jaksa penuntut umum KPK dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh ASDP.
Adapun dua direksi lainnya, yakni M Yusuf Hadi dan Harry M.A.C dituntut 8 tahun dan denda masing-masing Rp 500 juta atau pengganti kurungan selama 4 bulan.
Namun dalam dakwaan jaksa tidak disebutkan aliran uang sama sekali. Badan yang resmi menghitung kerugian negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) tidak menyatakan ada kerugian negara dalam aksi korporasi itu.
“Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa sopan dalam persidangan serta belum pernah dihukum. Adapun hal hal yang memberatkan adalah terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan dianggap berbelit-belit dalam memberikan keterangan,” kata jaksa penuntut umum.
Jaksa menganggap terdakwa terbukti melakukan korupsi sesuai pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 soal Pemberantasan Korupsi dalam proses akuisisi itu.
Dalam persidangan yang berlangsung lebih dari 3 jam pada Kamis (30/10/2025), jaksa mendakwa Ira, Yusuf, dan Harry telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan argumen yang sama dengan yang ada di Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Contohnya, menuduh valuasi pembelian PT J JN terlalu mahal, komisaris disebut tak setuju, kerjasama usaha dan akuisisi itu merugikan ASDP dan negara. Mereka dituduh merugikan negara Rp 1,253 triliun.
Pengacara hukum mantan direksi ASDP Soesilo Ariwibowo kecewa dengan tuntutan jaksa yang dia nilai tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan.
“Tuntutan yang dibaca oleh jaksa sama persis dengan BAP sebelum persidangan dimulai. Itu artinya fakta-fakta di persidangan yang telah membantah data-data jaksa diabaikan begitu saja,” kata Susilo Ariwibowo.
Dia menambahkan, “Jaksa bilang bahwa terdakwa berbelit-belit, menurut kami tidak dan itu membuktikan jaksa tak bisa membantah fakta persidangan,” ujar Soesilo.
Selain itu yang disoroti Soesilo jaksa melakukan “framing” seolah-olah terjadi kerugian negara sebesar Rp 1,253 triliun sementara nilai akuisisinya adalah Rp 1,27 triliun. Faktanya lembaga berwenang BPK dan BPKP tidak pernah menyatakan ada kerugian negara dalam kasus akuisisi PT ASDP ini.
“BPK tidak pernah diminta oleh jaksa untuk menghitung kerugian negara PT Jembatan Nusantara oleh ASDP,” kata Teguh S, saksi ahli dari BPK, pada sidang 21 Oktober 2025
Soesilo menambah kan, ada yang janggal dari penghitungan kerugian negara. Bila angka itu dianggap benar, lalu nilai akuisisi dikurangi nilai kerugian negara (Rp 1,27-Rp 1,253= Rp 19 m), maka nilai perusahaan PT JN oleh jaksa hanya dihargai Rp 19 miliar “Masak perusahaan sebesar itu nilainya hanya Rp 19 miliar?” kata Soesilo.
Dia menambahkan bahwa akuisisi ini telah disetujui oleh komisaris dan Menteri BUMN pada 2 Februari 2022. “Ini membuat PT ASDP menjadi operator feri terbesar di dunia dengan 220 kapal dan 317 lintasan. ASDP juga menjadi market leader di Indonesia dengan menguasai 33,5 persen pasar,” kata Ira Puspadewi mantan dirut ASDP.
Pendapatan ASDP sendiri sebelum dan sesudah akuisisi melonjak. Pendapatan PT ASDP 2021 (sebelum akuisisi) - Rp 2,219 triliun dan menjadi Rp 3,298 triliun pada 2023 (setelah akuisisi). Pendapatan PT Jembatan Nusantara juga naik dari Rp 436 miliar pada 2021 (sebelum akuisisi) menjadi Rp 680 miliar pada 2023 (setelah akuisisi).
Soesilo menambahkan, fakta fakta lain di persidangan yang tak dipakai oleh jaksa.Misalnya soal kerjasama usaha (KSU) yang dituduhkan melanggar aturan tidak disetujui oleh komisaris dan. Faktanya, berdasarkan saksi Wing Antariksa, mantan direktur SDM dan Layanan Korporasi ASDP, komisari ikut hadir di acara penandatanganan KSU pada tanggal 30 Oktober 2019.
“Komisaris setuju dan hadir saat penandatanganan kerjasama tanggal 30 Oktober 2019,,” kata Wing pada sidang 24 Juli 2019.
Saksi lain, Christine Hutabarat menambahkan,” “KSU menguntungkan bagi ASDP,” kata mantan direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP, pada sidang 7 Agustus 2025.
Sidang kasus ini akan dilanjutkan dengan pembacaan pledoi (pembelaan) dari tim pembela hukum maupun dari terdakwa pada 6 November 2025. Setelah itu akan dilanjutkan dengan pembacaan replik atau tanggapan dari jaksa dan duplik atau tanggapan dari pembela.





