SUKABUMIUPDATE.com - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta para pemohon uji materi terhadap aturan pemberian uang pensiun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki materi gugatan mereka. Permintaan ini disampaikan MK dalam sidang pendahuluan perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025 yang digelar, Jumat (10/10/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Diketahui, dua orang warga yaitu Lita Linggayani Gading, seorang psikolog, dan Syamsul Jahidin, mahasiswa sekaligus advokat melakukan gugatan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan saran perbaikan. Ketua MK Suhartoyo menyampaikan Pemohon harus mengelaborasi alasan permohonan.
“Apakah hanya karena alasan banyak artis, konstribusinya kurang, atau yang menjabat satu periode haknya sama dengan yang senior mungkin yang kemudian sudah menjabat beberapa episode dan konstribusinya banyak, kemudian disamaratakan dan ini yang harus diberikan argumentasikan,” sarannya pada Jumat (10/10/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Baca Juga: Lutung Jawa Datangi Pemukiman Warga di Kadudampit Sukabumi, Warga: Mungkin Lapar
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta agar para Pemohon memperkuat kedudukan hukum (legal standing). “Ini Ibu Lita sebagai psikolog yang kemudian ini ikut berbicara soal pensiun Anggota DPR. Nanti ditampung dulu, nanti dicatat, ada risalah, nanti diperbaiki,” saran Guntur.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebut UU 12/1980 masih mengatur mengenai Dewan Pertimbangan Agung karena UU a quo dibuat sebelum perubahan UUD 1945. “Padahal sekarang existing-nya sudah nggak ada. Saya kira ini jadi perhatian DPR nanti,” ujarnya.
Terkait pokok permohonan, Daniel menyarankan untuk memperbaiki permohonan untuk mencermati Putusan MK Nomor 41/PUU-XI/ 2013. “Harusnya bisa searching di putusan-putusan MK apakah norma ini pernah diajukan. Karena norma ini pernah diajukan maka harus dipastikan supaya memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 72 PMK 7 Tahun 2025 supaya tidak nebis in idem,” ujar Daniel.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Kamis, 23 Oktober 2025.
Baca Juga: RSUD Welas Asih Raih Peringkat Kedua Faskes Berkomitmen Terbaik
Gugatan Lita Gading dan Syamsul
Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, dalam permohonannya, mendalilkan bahwa frasa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” dalam batang tubuh Pasal 1 huruf a UU 12/1980 menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan hukum karena memungkinkan anggota DPR RI yang hanya menjabat lima tahun untuk memperoleh pensiun seumur hidup dan bahkan dapat diwariskan.
“Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan asas negara hukum yang berorientasi pada keselamatan serta kemakmuran rakyat,” ujar Syamsul yang hadir tanpa diwakili kuasa hukum.
Para Pemohon berpendapat bahwa keberlakuan pasal tersebut telah menimbulkan beban keuangan negara yang signifikan. Berdasarkan data yang disampaikan, total manfaat pensiun yang diterima oleh anggota DPR RI mencapai Rp226,015 miliar, yang seluruhnya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kerugian yang kami alami bersifat nyata dan potensial. Sebagai pembayar pajak, kami merasa penggunaan dana pajak untuk pensiun DPR yang hanya menjabat lima tahun adalah bentuk ketidakadilan fiskal,” lanjut Syamsul.
Baca Juga: Alasan Polisi Tangkap 5 Pemburu Liar di Sukabumi: Pakai Senpi Rakitan untuk Buru Babi
Dalam pemaparannya kepada Panel Hakim, Syamsul juga menilai dan beranggapan karena pemberlakuan norma di dalam pasal a quo Pasal 1 Huruf A, Pasal 1 Huruf F, Pasal 12 Ayat 1 UU 12/1980 menciptakan fenomena banyaknya artis menjadi Anggota DPR. Padahal aktualnya tidak dapat bekerja secara maksimal karena tidak memiliki kemampuan, pengetahuan, dan kompetensi, semisal Ahmad Dhani, Mulan Jameela, dan lainnya.
“Raden Wulansari (Mulan Jameela) tidak memiliki skill, knowledge, dan kompetensi sebagai Anggota DPR RI komisi VII yang membidangi Komisi VII yang membidangi energi, riset, mineral, teknologi dan lingkungan hidup. Karena tidak memiliki pengalaman dan pendidikan yang memadai dan/atau minim, karena PEMOHON I mengetahui Raden Wulansari (Mulan Jameela) hanya memiliki pengalaman sebagai ‘Penyanyi’ dan tidak memiliki pengalaman serta sangkut paut dengan mineral, teknologi dan lingkungan hidup, hal tersebut bertentangan dengan tugas sebagai wakil rakyat dan atau Anggota DPR,” urai Syamsul.
Selain itu, Pemohon juga menyoroti adanya perbedaan mencolok antara sistem pensiun anggota DPR RI dengan lembaga negara lain. Sebagai perbandingan, masa kerja yang menjadi dasar pensiun untuk Hakim Mahkamah Agung, Anggota BPK, ASN, TNI, dan Polri umumnya berkisar 10 – 35 tahun, sementara anggota DPR hanya 1 – 5 tahun.
Baca Juga: Patrick Kluivert: Meskipun Gagal, Kita Perlu Memberikan Apresiasi pada Timnas Indonesia
Dalam permohonannya, Pemohon turut menyinggung praktik serupa di berbagai negara. Di Amerika Serikat dan Inggris, hak pensiun anggota parlemen bergantung pada masa jabatan, usia, dan kontribusi, bukan otomatis diberikan seumur hidup. Sementara di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi diberlakukan bagi anggota parlemen yang terpilih setelah 2004. Namun di India, sistem pensiun seumur hidup bagi anggota parlemen tetap berlaku dan telah lama dikritik publik karena membebani keuangan negara—situasi yang menurut Pemohon mirip dengan Indonesia.
Selain persoalan hukum dan keuangan, Pemohon juga menyinggung aspek moralitas dan kinerja DPR yang dianggap belum sepadan dengan fasilitas dan tunjangan besar yang diterima. Dalam dalilnya, Pemohon mengutip kritik publik terhadap anggota DPR yang dinilai kerap absen dalam sidang paripurna, bermain gawai, atau tidur saat rapat berlangsung.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, anggota DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894,- hingga Rp3.639.540,- tergantung masa jabatan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Namun, menurut Pemohon, ketentuan ini tetap tidak adil mengingat pemberian pensiun seumur hidup bagi jabatan politik berjangka pendek tidak selaras dengan prinsip keuangan negara yang efisien.
Melalui permohonan ini, para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan dalam UU 12/1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sumber : Humas MK