Hari Santri Nasional: Konservasi dan Adaptasi Pesantren Tradisional dalam Menjamin Otentisitas Keilmuan

Sukabumiupdate.com
Rabu 22 Okt 2025, 12:31 WIB
Hari Santri Nasional: Konservasi dan Adaptasi Pesantren Tradisional dalam Menjamin Otentisitas Keilmuan

Hari Santri Nasional 2025 menegaskan peran santri sebagai penjaga moral dan NKRI sekaligus pelopor ilmu di kancah global (ilustrasi: Canva)

SUKABUMIUPDATE.com - Upaya konservasi pesantren tradisional dalam mengamankan warisan keilmuan Islam menunjukkan bahwa para kyai dan pengasuh pesantren memiliki komitmen kuat dalam menjaga warisan intelektual masa lalu sebagai aset berharga yang tak ternilai.

Konservatisme ini ditandai dengan kehati-hatian dalam mengadopsi pembaruan yang dianggap berlebihan, didasari kekhawatiran akan terkikisnya nilai-nilai luhur keilmuan klasik, tergerusnya akidah, atau terjadinya penyusupan paham asing yang kontradiktif dengan Ahlussunnah wal Jama'ah.

Strategi Adaptasi dan Peran Integral Pesantren

Meskipun demikian, sebagai respon terhadap tuntutan zaman, sebagian pesantren secara strategis mulai membuka diri dengan mengintegrasikan kurikulum tradisional dan pendidikan umum. Adaptasi ini bertujuan untuk menjaga relevansi tanpa mengorbankan tradisi pengajaran kitab klasik, yang merupakan sanad keilmuan otentik yang bersambung hingga baginda Rasulullah SAW.

Baca Juga: Pertandingan Persib Bandung Menghadapi Malut United Resmi Ditunda!

Sejak awal, pesantren berperan sebagai lembaga yang tidak hanya berfokus pada transfer ilmu agama (tafaqquh fiddin), tetapi juga pada pembinaan kepribadian Islami yang inklusif, moderat, dan toleran.

Sistem pendidikan pesantren yang menekankan penjagaan sanad keilmuan secara ketat dari generasi ke generasi menjadi fondasi utama dalam menjamin kualitas dan otentisitas ilmu yang diajarkan. Kurikulum yang memadukan kedalaman pemahaman agama dengan penguatan bahasa asing serta ilmu-ilmu umum merupakan pendekatan strategis untuk menyiapkan santri yang mampu menghadapi tantangan global, namun tetap berakar kuat pada tradisi keilmuan Islam.

Lebih jauh, pesantren juga berfungsi sebagai laboratorium sosial dan ekoteologi Islam. Institusi ini mampu mengintegrasikan nilai-nilai keilmuan dengan kesadaran sosial dan lingkungan, sehingga melahirkan generasi santri yang tidak hanya berilmu, tetapi juga memiliki sensitivitas kemanusiaan dan kepedulian lingkungan yang tinggi.

Baca Juga: Hari Santri 2025: Refleksi Merayakan Tradisi, Menjawab Tantangan Zaman

Praktik Konkret dalam Mempertahankan Sanad Keilmuan

Mempertahankan pesantren tradisional, secara ringkas, berarti menjaga kesinambungan keilmuan klasik dan nilai-nilai spiritual, sekaligus melakukan penyesuaian yang proporsional dengan perkembangan zaman melalui integrasi kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang seimbang.

Praktik konkret pesantren tradisional dalam menjaga otentisitas dan kesinambungan sanad keilmuan diwujudkan melalui beberapa metode pembelajaran kitab klasik yang diwariskan secara turun-temurun, meliputi:

  1. Metode Sorogan: Santri membacakan kitab di hadapan ustadz/kyai, yang kemudian langsung mengoreksi bacaan, meluruskan pemahaman, serta penulisan harokatnya. Metode ini menjamin bahwa ilmu yang diterima santri bersifat autentik dan sesuai dengan transmisi sanad keilmuan yang benar.
  2. Metode Bandongan (Weton): Guru membacakan dan menjelaskan kitab secara klasikal kepada seluruh santri. Metode ini mendukung pemahaman kolektif dan memastikan penyebaran ilmu memiliki sumber yang jelas (marji') serta orisinalitas yang terjaga.
  3. Tradisi Ijazah Sanad: Merupakan sertifikat keilmuan yang diberikan oleh kyai setelah santri benar-benar menguasai kitab atau disiplin ilmu tertentu. Pemberian ijazah ini menegaskan silsilah guru-murid yang bersambung hingga Rasulullah SAW, menjamin otentisitas ilmu dan legalitas penyebaran ajaran.
  4. Kegiatan Sanadan: Ritual atau majelis keilmuan yang diadakan secara berkala (misalnya tahunan) untuk mengukuhkan sanad keilmuan, menegaskan kesinambungan ilmu dari generasi ke generasi, dan menjadi pengingat akan pentingnya akar tradisi dalam proses pembelajaran.

Baca Juga: Tunggu Keputusan Prabowo, Ditjen Pesantren Akan Jadi Kado Istimewa di HSN 2025

Pesantren tradisional secara konkret menjaga otentisitas dan kesinambungan sanad keilmuan Islam melalui dua metode pembelajaran kitab klasik yang fundamental: Sistem Bandongan dan Sistem Sorogan. Sistem Bandongan (atau Wetonan) adalah praktik di mana seorang kiai atau guru membacakan, menerjemahkan, dan menjelaskan isi suatu kitab kuning di hadapan banyak santri, sementara para santri menyimak dan membuat catatan (sering disebut makna gandul atau pegon) di antara baris-baris kitab.

Metode ini memastikan bahwa interpretasi dan pemahaman kitab diwariskan secara kolektif dan seragam dari guru yang memiliki sanad yang jelas kepada generasi santri berikutnya. Dengan demikian, matan (teks asli) dan syarah (penjelasan) kitab tetap terjaga kemurniannya sesuai dengan tradisi keilmuan para ulama salaf, menghindari penafsiran yang menyimpang dari jalur ulama terdahulu.

Sementara itu, Sistem Sorogan merupakan metode yang lebih individual dan intensif, di mana setiap santri secara bergantian "menyodorkan" atau membacakan teks kitab di hadapan kiai atau guru secara langsung. Melalui Sorogan, kiai dapat mengoreksi bacaan, pelafalan, pemahaman i'rab (perubahan harakat akhir kata dalam Bahasa Arab), dan kedalaman pemahaman santri secara personal dan mendalam.

Baca Juga: Tak Kunjung Dapat Menit Bermain, Endrick Dikabarkan akan Meninggalkan Real Madrid

Praktik ini berperan krusial dalam mencetak ulama atau kyai yang tidak hanya hafal, tetapi juga benar-benar menguasai tata bahasa dan substansi kitab, sehingga mereka layak menjadi mata rantai berikutnya dalam sanad keilmuan yang tidak terputus. Kedua sistem ini Bandongan/Ngabandungan untuk transmisi massal dan Sorogan untuk penguasaan personal   bekerja sinergis untuk menggaransi bahwa ilmu yang diajarkan bersifat otentik (bersanad) dan terus berkesinambungan lintas generasi.

Melalui metode-metode tersebut, pesantren tradisional menegaskan bahwa kesinambungan keilmuan bukan hanya tentang penguasaan materi, melainkan juga tentang warisan spiritual dan intelektual yang dijaga secara ketat melalui sistem sanad. Pendekatan inilah yang membedakan pesantren dari sistem pendidikan lain dan menjaga keabsahan serta kualitas ilmu agama yang diajarkan.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini