Wacana Direktorat Jenderal Pesantren Jadi Kado Emas di Hari Santri 2025

Sukabumiupdate.com
Rabu 22 Okt 2025, 09:21 WIB
Wacana Direktorat Jenderal Pesantren Jadi Kado Emas di Hari Santri 2025

Ilustrasi para santri di hari santri nasional. (Sumber: Istimewa)

Oleh: Cak AT (Ahmadie Thaha) dari Ma’had Tadabbur al-Qur’an

SUKABUMIUPDATE.com - Sungguh ini kabar yang pantas disyukuri sambil meneguk kopi pahit penuh perenungan. Di tengah hiruk-pikuk isu relasi kuasa antara santri dan kiai, antara masyarakat dan ulama, serta derasnya sorotan terhadap pola patronase di dunia pesantren, justru muncul kabar emas dari langit birokrasi. Apa itu?

Pemerintah menegaskan telah menyiapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren. Ya, ini Ditjen yang khusus mengurusi pesantren, membuatnya bukan sekadar lampiran administratif dari Direktorat Pendidikan Islam, tapi sebagai entitas yang berdiri gagah di tubuh republik, bukan di bawah ketiak siapa pun.

Dan di balik kabar ini berdirilah satu nama yang barangkali agak asing di telinga sebagian kalangan santri: Romo Muhammad Syafi’i, Wakil Menteri Agama. Bukan kyai, bukan jebolan pesantren, bukan pula alumni langgar kampung yang biasa tidur di serambi mushola.

Ia datang dari dunia birokrasi, akademik, dan politik yang rasional —tapi justru di situlah letak romantismenya. Romo Syafi’i ini seperti orang kota yang jatuh cinta pada istri yang baru saja dinikahinya (kita ucapkan: mabruk, alfa mabruk), juga pada aroma tanah basah di halaman pesantren. Ia bukan lahir dari rahim pesantren, tapi perhatiannya pada dunia itu besar.

Baca Juga: Hansi Flick Puji Performa Fermin Lopez Setelah Barcelona Kalahkan Olympiakos 6-1

Bahkan, konon, ia pernah mencoba menjalin komunikasi intens dengan Majelis Masyayikh, forum tertinggi para ulama pesantren, untuk membahas arah pengembangan dan penataan mutu. Sayang, komunikasi itu sempat macet, seperti jaringan Wi-Fi pondok di tengah hujan deras: penuh niat baik, tapi sinyalnya ngadat.

Namun siapa sangka, niat baik itu tak padam. Justru ia bersama Menag Nasarudin Umar terus mengetuk pintu-pintu birokrasi, memetakan ulang hubungan negara dengan dunia pesantren. Pada Jumat 17 Oktober 2025, pihaknya menandatangani surat izin prakarsa pembentukan Ditjen Pesantren.

Itu segera dikirim ke Presiden Prabowo Subianto, sebuah langkah yang tidak sekadar administratif, tapi historis. Kalau semua berjalan mulus, maka Hari Santri 22 Oktober tahun ini bisa jadi bukan sekadar seremoni baca shalawat massal, tapi juga momen kelahiran “rumah besar” bagi 42 ribu pesantren dan 11 juta santri di negeri ini.

Kelahiran Ditjen Pesantren ini sesungguhnya anak kandung dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, sebuah produk hukum yang menabalkan pengakuan resmi negara terhadap eksistensi pesantren. Undang-undang ini menjadi tonggak peradaban baru di bidang pendidikan.

UU itu mengesahkan pesantren bukan lagi sebagai anak tiri dalam sistem pendidikan nasional, melainkan pilar yang diakui setara, dengan kemandirian dan kekhasannya sendiri. Negara tak mengintervensi, apalagi mendominasi. Ia sekadar memberi rekognisi, penghormatan atas otonomi pendidikan yang sudah berakar ratusan tahun.

Baca Juga: Muhammad Jaenudin Beri Pendidikan Demokrasi kepada Pelajar SMK di Sukabumi

Pesantren, yang dulu dianggap ‘aneh’ karena tak seirama dengan irama pendidikan yang kebarat-baratan, penuh nilai spiritual, kedisiplinan batin, dan aroma wangi kitab kuning, kini justru menjadi oase keaslian di tengah tandusnya sistem pendidikan yang sering kehilangan ruh.

Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi dunia peradaban. Namun, meski benderanya kini berkibar tinggi, harus diakui, banyak orang luar masih belum sepenuhnya paham warna di kain itu. Akibatnya, masih muncul pandangan buruk terhadap pesantren, seperti muncul barusan terkait Pesantren Lirboyo.

Selama ini, urusan pesantren memang sudah memiliki ruang di tubuh Kementerian Agama, tetapi posisinya hanya sebatas Sub Direktorat di bawah Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren). Ini berada dalam lingkup Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Artinya, pesantren selama ini masih dianggap bagian kecil dari sistem pendidikan formal yang diatur logika kurikulum dan standar administratif modern. Padahal, dunia pesantren memiliki dinamika sendiri, dengan tradisi keilmuan, model pendidikan, dan sistem nilai yang tidak bisa dipaksakan tunduk pada paradigma sekolah umum.

Maka, pembentukan Ditjen Pesantren merupakan langkah naik kelas secara kelembagaan: dari sub-unit administratif menjadi entitas yang berdiri sendiri, agar pesantren dapat dikelola dengan pendekatan khasnya, tanpa kehilangan ruh, tanpa terjerat formalisme birokrasi yang sering membuatnya kaku dan kehilangan nafas spiritual.

Makna pembentukan Ditjen Pesantren ini bukan semata soal struktur baru di Kemenag, melainkan simbol pengakuan negara terhadap kedaulatan ilmu dan tradisi yang lahir dari pesantren. Ia menandai perubahan paradigma: dari pendekatan yang serba administratif menjadi pengakuan yang substantif atas peran pesantren sebagai lokomotif moral, sosial, dan intelektual bangsa.

Baca Juga: Banjir dan Longsor Landa Purabaya, Jalan Provinsi Sukabumi-Sagaranten Lumpuh Total

Direktorat ini bukan malah untuk “mengatur” pesantren lebih ribet, melainkan menjembatani dunia pesantren dengan ruang kebijakan publik. Tujuannya, agar suara kiai, denyut santri, dan kearifan tradisi tidak lagi berdiri di pinggir panggung pembangunan nasional, tetapi turut menulis bab penting dalam sejarah kebangsaan.

Mari kita bayangkan: pesantren selama ini adalah lautan besar yang menampung berjuta kehidupan. Di dalamnya ada pendidikan, dakwah, hingga pemberdayaan ekonomi. Tapi lautan itu belum punya pelabuhan yang kokoh di tubuh birokrasi negara.

Maka Romo Syafi’i dan pihak terkait datang dengan sekop kecil serta niat besar, membangun dermaga bagi kapal-kapal ilmu dan akhlak itu agar bisa berlayar lebih jauh, tak hanya di kolam domestik tapi juga di samudra global.

Ada yang sinis, tentu saja. Katanya, “Ah, paling cuma proyek struktural!” Tapi bukankah segala cita-cita besar memang harus dimulai dari struktur yang sehat? Pesantren sudah membuktikan dirinya sebagai benteng moral bangsa jauh sebelum republik ini punya akta lahir.

Tapi kini giliran negara membuktikan balas budi itu: menghadirkan Ditjen tersendiri yang mampu mengelola fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat secara terintegrasi. Dalam APBN juga dapat dialokasikan anggaran dengan lebih adil untuk kalangan pesantren.

Menariknya, langkah monumental ini dikomandani sosok yang bukan “orang pesantren”. Mungkin di sinilah takdir mempermainkan logika manusia: bahwa kadang yang paling peduli justru bukan yang paling merasa memiliki.

Baca Juga: Viral Siswa Belajar Beralas Terpal, Disdik Sukabumi Siapkan Perbaikan SDN Margawati

Romo Syafi’i mengingatkan kita bahwa kecintaan pada pesantren tak harus lahir dari sarung dan sorban; ia bisa tumbuh dari empati, dari rasa tanggung jawab, dari visi besar tentang masa depan Islam Indonesia yang moderat dan mandiri.

Dan ketika nanti izin dari Presiden Prabowo turun tepat pada Hari Santri, itu bukan sekadar kado emas birokrasi, tapi juga simbol rekonsiliasi lebih dalam antara negara dan pesantren antara kekuasaan dan keikhlasan, antara regulasi dan doa.

Ini sebuah langkah kecil tapi bersejarah, yang barangkali kelak dikenang seperti pertemuan dua dunia: dunia kitab kuning dan dunia tinta hitam birokrasi, yang akhirnya sepakat bahwa masa depan Indonesia tak bisa dibangun tanpa doa para santri.

Berita Terkait
Berita Terkini