Mengenal Smiling Depression: Ketika Depresi Tidak Terlihat Karena Senyuman

Sukabumiupdate.com
Selasa 03 Jun 2025, 10:00 WIB
Mengenal Smiling Depression: Ketika Depresi Tidak Terlihat Karena Senyuman

Ilustrasi. Mengenal Smiling Depression: Ketika Depresi Tidak Terlihat Karena Senyuman (Sumber : pixabay.com/@Pexels)

SUKABUMIUPDATE.com - Depresi sering kali dikaitkan dengan ekspresi muram, air mata, atau isolasi sosial. Namun, tidak semua penderita depresi menunjukkan tanda-tanda tersebut secara kasat mata. Ada bentuk depresi yang lebih tersembunyi, dikenal dengan istilah smiling depression atau depresi tersenyum. Penderita terlihat bahagia di luar, tetapi sedang berjuang keras secara emosional di dalam.

Apa Itu Smiling Depression?

Smiling depression bukanlah diagnosis resmi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), melainkan istilah populer yang menggambarkan kondisi seseorang yang tampak "baik-baik saja", tetapi sebenarnya mengalami gejala depresi. Mereka tetap menjalani aktivitas sehari-hari, bersosialisasi, bahkan tertawa dan tersenyum namun menyimpan luka emosional yang dalam.

Orang dengan smiling depression sering kali berhasil menyembunyikan rasa sakit mereka karena takut dianggap lemah, tidak ingin membebani orang lain, atau bahkan belum menyadari bahwa mereka sedang mengalami depresi.

Baca Juga: Peregangan Salah Satunya! 6 Tips Gaya Hidup Sehat untuk Pekerja Kantoran

Ciri-Ciri Smiling Depression

Meskipun tidak selalu mudah dikenali, berikut beberapa tanda umum seseorang yang mungkin mengalami smiling depression:

  • Terlihat ceria dan produktif, namun sering merasa hampa atau sedih saat sendiri.
  • Sering mengatakan “aku baik-baik saja” meskipun sebenarnya tidak.
  • Merasa tidak ada harapan, tidak berguna, atau kelelahan emosional secara terus-menerus.
  • Kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai.
  • Gangguan tidur atau pola makan.
  • Menjadi sangat perfeksionis dan keras terhadap diri sendiri.
  • Menyembunyikan perasaan karena tidak ingin terlihat lemah atau merepotkan orang lain.

Mengapa Smiling Depression Berbahaya?

Karena gejalanya tersembunyi, smiling depression sering tidak terdeteksi oleh lingkungan sekitar bahkan oleh tenaga profesional. Akibatnya, penderita bisa tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Yang paling mengkhawatirkan, kondisi ini meningkatkan risiko tindakan bunuh diri karena penderita tampak “berfungsi” secara sosial, namun menyimpan penderitaan mendalam yang tidak terlihat.

Siapa yang Rentan Mengalami Smiling Depression?

Smiling depression bisa dialami oleh siapa saja, namun beberapa kelompok lebih rentan, seperti:

  • Orang yang memiliki tekanan sosial untuk selalu terlihat kuat dan bahagia (misalnya, pemimpin, publik figur, atau kepala keluarga).
  • Remaja dan dewasa muda yang aktif di media sosial, merasa perlu menampilkan “hidup sempurna”.
  • Mereka yang memiliki trauma masa lalu atau riwayat depresi.

Baca Juga: Digital Decluttering: Merapikan Dunia Digital untuk Hidup yang Lebih Sehat dan Fokus

Bagaimana Cara Menghadapinya?

Jika Anda atau orang terdekat menunjukkan tanda-tanda smiling depression, beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Sadari dan akui perasaan sendiri. Tidak apa-apa untuk tidak selalu terlihat kuat.
  2. Bicarakan dengan orang terpercaya. Dukungan dari teman atau keluarga bisa sangat berarti.
  3. Konsultasi dengan profesional. Psikolog atau psikiater dapat membantu melalui terapi atau pengobatan yang sesuai.
  4. Kurangi tekanan sosial. Hindari terlalu keras pada diri sendiri untuk selalu tampil sempurna.
  5. Jaga kesehatan fisik dan mental. Cukup tidur, makan seimbang, dan rutin berolahraga dapat membantu memperbaiki mood.

Smiling depression mengajarkan kita bahwa senyuman tidak selalu berarti seseorang sedang bahagia. Penting untuk lebih peka terhadap kondisi emosional diri sendiri maupun orang lain. Jangan ragu untuk mencari bantuan berani mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja adalah langkah pertama menuju pemulihan.

Baca Juga: Disdukcapil Sukabumi Hadirkan Layanan Adminduk dalam Program Isbat Nikah Terpadu

Sumber: Psychology Today

Berita Terkait
Berita Terkini