SUKABUMIUPDATE.com – Di sebuah ruangan sederhana di Kampung Selajambu, Desa Sasagaran, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, aroma kopi pekat bercampur dengan bau jelaga. Dari perpaduan inilah lahir karya seni yang tak lazim. Di balik meja kayu dan cahaya lampu minyak tanah, Nay Sunarya (43 tahun) bekerja dalam hening, seolah setiap helai asap adalah garis yang tak boleh salah arah.
Tangan Nay tampak menari lembut ketika nyala api mungil diarahkan ke atas media kertas. Gurat demi guratan muncul bukan dari pensil atau kuas, melainkan dari asap yang menempel. Sedikit saja tersenggol tangan atau hembusan angin, seluruhnya bisa rusak dalam sekejap.
“Karakter asap itu paling sulit. Kena gores tangan sedikit aja langsung hilang,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com sambil tersenyum kecil, tanpa mengalihkan pandangan dari kertas yang dijepit kokoh oleh penjepit besi, Jumat (28/11/2025).
Dari Hobi di Masa Sekolah Hingga Menemukan Identitas
Nay tidak datang dari lingkungan seni formal. Ia mulai jatuh cinta pada dunia gambar saat masih duduk di bangku sekolah dasar, lalu meneruskannya setelah lulus SMP dengan mencoba beragam teknik airbrush, sketsa pensil hingga lukisan realis.
“Dulu belajar dari teman komunitas, ikut pameran, exploring terus. Alhamdulillah akhirnya ketemu teknik kopi dan asap ini,” kenangnya.
Lukisan berbahan kopi sudah ia tekuni lebih dulu. Sedangkan teknik asap mulai ia eksplorasi sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020. Kedua medium itu dipilih bukan sekadar unik, tapi juga punya kedekatan emosional.
“Karena saya pecinta kopi juga, akhirnya saya mengalihkan minat ke kopi di kanvas. Jadi bukan cuma diminum aja,” katanya sambil terkekeh.
Baca Juga: Pamerkan 33 Lukisan, Seniman Sukabumi Igo Rizqullah Iskandar Berpesan Lewat Karya
Ia mengaku acap kali mendapatkan tantangan ketika menggambar wajah seorang tokoh dengan detail wajah yang amat rumit.
"Yang paling sulit itu saya melukis wajahnya pak Gubernur, KDM (Kang Dedi Mulyadi), itu detail wajahnya hingga aspek-aspek kecilnya sangat-sangat rumit, baik dilukis menggunakan kopi maupun asap, namun di situlah tantangan untuk terus belajar muncul," ucap Nay.
Nay berpose dengan salah satu karyanya berupa lukisan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ia buat menggunakan teknik medium kopi.
Menembus Brasil Lewat Seni
Nama Nay kini tak hanya dikenal di lingkungannya. Dari kebiasaan menggambar tokoh publik, akademisi hingga pejabat, ia mulai menerima pesanan dari berbagai daerah. Harga karyanya berkisar Rp 1 juta sampai Rp 3 juta, tergantung ukuran dan detail.
Salah satu pencapaiannya adalah ketika dua karyanya terpajang di Brasil pertama kali di akhir 2024 dan kembali terpilih pada Oktober 2025. Ia ikut serta melalui program kolaborasi seni internasional yang diikuti 30 negara. Namun semua perjalanan itu ia lakoni tanpa dukungan pendanaan.
“Biaya kirim karya aja lumayan. Dari pemerintah belum ada dukungan materi. Yang penting karya terus jalan,” ucapnya.
Baca Juga: Kerajinan Bambu Sukabumi Karya Suhendi Tembus Pasar Australia hingga Korea
Untuk menghasilkan satu karya asap berukuran standar, Nay membutuhkan waktu tiga hari. Sementara lukisan kopi ukuran 60x80 cm biasanya selesai dalam sepekan. Peralatannya jauh dari kata mewah: pisau cutter, akrilik medium, lampu minyak tanah, dan ampas kopi Bintoha dari Ciwidey Bandung.
Ia menyebut dua nama seniman Kanada sebagai inspirasinya: Steven Spazuk dan John Williams. Namun, Nay harus beradaptasi karena material yang mereka gunakan sudah tidak tersedia di Indonesia.
Nay bisa menghabiskan waktu seharian bahkan sampai 3 hari untuk menyelesaikan lukisannya.
"Bisa seharian selesai, bisa juga sampai 3 hari, tergantung kesulitan" tutur Nay, sembari tersenyum.
Mimpi Tentang Galeri Desa
Kini pemesanan karyanya banyak datang melalui media sosial dan WhatsApp. Namun di balik popularitasnya, Nay menyimpan harapan besar: seni harus menjadi ruang publik yang hidup.
“Supaya ada wisatawan datang, anak-anak sekolah juga bisa ikut workshop seni. Seni harus dekat dengan masyarakat,” ungkapnya dengan nada penuh keyakinan.
Ia bermimpi suatu hari nanti setiap desa di Kecamatan Kebonpedas memiliki galeri mini, tempat pameran rutin, tempat anak muda belajar, dan tempat warga merayakan kreativitas.
Di ruangan kecil itu, asap masih menari perlahan. Di tangan Nay, yang tampak sederhana berubah menjadi sesuatu yang sangat bernilai. Dari setetes kopi dan seulas jelaga, ia menunjukkan bahwa seni tidak selalu lahir dari studio mewah terkadang ia tumbuh dari lampu minyak, kesabaran, dan mimpi yang tidak pernah padam.





