SUKABUMIUPDATE.com - Di antara deretan nama tokoh bangsa yang mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah pada 2022, nama KH Ahmad Sanusi terasa istimewa bagi masyarakat Sukabumi. Ulama kharismatik yang dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum Gunungpuyuh ini bukan hanya guru spiritual, tapi juga pejuang intelektual yang ikut mengawal lahirnya dasar negara Indonesia.
Melalui Keputusan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang dibacakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh. Di antara nama besar seperti DR. dr. H. R. Soeharto dari Jawa Tengah dan KGPAA Paku Alam VIII dari DIY, terselip nama KH Ahmad Sanusi dari Jawa Barat sebuah pengakuan negara atas peran ulama asal Sukabumi itu dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.
Bagi keluarga dan masyarakat Sukabumi, kabar itu datang penuh haru. “Penganugerahan ini tidak terduga. Belum lama ini saya sedang pengajian, kemudian ada yang menelepon memberi kabar bahwa kakek, KH Ahmad Sanusi, telah resmi bergelar Pahlawan Nasional. Kami asalnya tidak percaya, tapi setelah ada konfirmasi dari pihak Pemprov Jabar baru percaya bahwa ini benar. Ini betul-betul bukti kuasa Allah SWT,” tutur Neni Fauziyah, cucu generasi ke-tuga KH Ahmad Sanusi sekaligus Ketua Umum Yaspi Syamsul Ulum.
Baca Juga: Karamnya Kapal Minajaya, Sisa Mesin Jadi Sejarah Wisata Ikonik di Selatan Sukabumi
Di balik gelar kehormatan itu, tersimpan kisah panjang perjuangan dan keteguhan seorang santri yang menjadikan ilmu dan agama sebagai suluh hidup. Lahir pada 18 September 1888 di Kampung Cantayan, Sukabumi, Ahmad Sanusi tumbuh di lingkungan keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdurrohim, dikenal sebagai Ajengan Cantayan, pemimpin pesantren yang menjadi tempat pertama Sanusi menimba ilmu. Sejak usia 12 tahun, ia sudah hafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai disiplin ilmu pesantren seperti Nahwu, Sharaf, Tauhid, Fiqih, dan Tafsir.
Neni menuturkan, sejak remaja sang kakek gemar “melanglang buana” menuntut ilmu. Dalam usia 17 tahun, ia berkelana ke berbagai pesantren di Sukabumi, Cianjur, Garut, hingga Tasikmalaya. “Kakek belajar ke banyak ajengan besar. Ia ingin menambah pengetahuan sekaligus mencari tabarukan dari para ulama,” kata Neni.
Pencarian ilmu itu membawanya ke Mekkah pada tahun 1910. Bersama sang istri, Siti Djuwariyah, Ahmad Sanusi bukan hanya menunaikan ibadah haji, tapi juga menetap di tanah suci selama lima tahun. Di sana, ia memperdalam ilmu agama dan berdialog dengan para ulama dunia serta tokoh pergerakan nasional yang kala itu bermukim di Mekkah. “Selama di Mekkah, beliau bahkan dipercaya menjadi imam di Masjidil Haram. Itu bentuk penghargaan atas kedalaman ilmunya,” ungkap Neni.
Baca Juga: 8 Terdakwa Perusakan Rumah Retret di Cidahu Sukabumi Divonis 5 Bulan Penjara
Sekembalinya ke tanah air pada 1915, Ahmad Sanusi mengabdikan diri di Pesantren Cantayan, lalu mendirikan Pesantren Genteng. Namun perjuangan dakwahnya membuat ia kerap bersinggungan dengan kolonial Belanda. Ia sempat ditahan di Cianjur dan Sukabumi selama 15 bulan, lalu diasingkan ke Batavia selama enam tahun. “Kakek pernah menjadi ajengan tanpa pesantren di Batavia Centrum. Tapi kegiatan dakwahnya tak pernah berhenti, hingga dikenal sebagai Ajengan Batawi,” ujar Neni.
Tahun 1934 menjadi titik balik perjalanan Sanusi. Setelah masa internir berakhir, ia mendirikan Pesantren Syamsul Ulum Gunungpuyuh Sukabumi. Dari tempat inilah matahari ilmu itu bersinar terang, melahirkan banyak ulama besar lintas generasi. “Ketika mengajar di Pesantren Cantayan, Genteng, hingga Syamsul Ulum, kakek mencetak banyak santri yang kelak menjadi tokoh ulama berpengaruh, bahkan sampai tingkat nasional,” tambah Neni.
Di masa tahanan kota maupun setelah bebas, KH Ahmad Sanusi tetap produktif menulis. “Tidak kurang dari 126 judul kitab ditulis dari berbagai bidang keilmuan seperti Tafsir, Tauhid, dan Fiqih,” ujar Neni. Karya-karya itu menjadi bukti bahwa semangatnya untuk mencerdaskan umat tak pernah padam, meski hidup dalam tekanan penjajahan.
Selain berdakwah, KH Ahmad Sanusi juga aktif di berbagai lembaga perjuangan. Ia tercatat sebagai anggota BPUPKI, anggota KNIP, pengurus Masyumi, serta pernah menjabat Wakil Residen Bogor pada masa pemerintahan Jepang. Dari ruang-ruang itu, gagasan Islam dan kebangsaan yang moderat ia suarakan, hingga berkontribusi dalam lahirnya dasar negara Pancasila.
Pada 31 Juli 1950, dalam usia 63 tahun, sang ulama besar mengembuskan napas terakhir di Pesantren Gunungpuyuh. Ia dimakamkan di kompleks keluarga, tak jauh dari tempatnya mengajar dan menulis.
Kini, namanya diabadikan dalam berbagai ruang publik Sukabumi, mulai dari Jalan KH A. Sanusi hingga Terminal Tipe A KH Ahmad Sanusi di Jalur Lingkar Selatan. Warisannya tak hanya berupa bangunan pesantren atau karya tulis, tetapi juga nilai perjuangan, keteguhan, dan ilmu yang terus menyinari generasi penerusnya.
Baca Juga: Hari Pahlawan: Mengenang Perlawanan di Museum Bojongkokosan, Jejak Heroik di Tanah Sukabumi
“Pemerintah sudah menetapkan almarhum menjadi Pahlawan Nasional. Kami sangat bersyukur. Semoga sinar Syamsul Ulum yang berarti ‘matahari ilmu’ itu terus menerangi langkah umat dan bangsa,” tutup Neni penuh haru.





