7 November 2022, Ulama Sukabumi KH Ahmad Sanusi Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional

Sukabumiupdate.com
Jumat 07 Nov 2025, 08:10 WIB
7 November 2022, Ulama Sukabumi KH Ahmad Sanusi Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional

KH Ahmad Sanusi, salah satu anggota BPUPKI | Foto : Ist

SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah Republik Indonesia resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh ulama besar asal Sukabumi, Jawa Barat, ialah KH Ahmad Sanusi. Penganugerahan gelar kehormatan ini diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upacara yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (7/11/2022).

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96/TK/2022. Gelar tersebut diberikan setelah Presiden Jokowi menyetujui usulan dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.

KH Ahmad Sanusi dinilai banyak berkontribusi dalam upaya-upaya perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, antara lain pernah menjadi salah satu anggota BPUPKI. Kelahiran dan Silsilah Keturunan Ahmad Sanusi, lahir di Cantayan, Sukabumi. Dahulu daerah tersebut bernama Kampung Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi, Jawa Barat.

K.H. Ahmad Sanusi merupakan putera K.H. Abdurrahim bin H. Yasin (1833-1949 M) bin Nurzan bin Nursalam bin Nyi Raden Candra binti Syekh Haji Abdul Muhyi Pamijahan bin Raden Ageng Tanganziah bin Kentol Sumbirana bin Wira Candera bin Syekh ‘Ainul Yaqīn (Sunan Giri) bin Isḥāq Ma’ṣūm bin Ibrāhīm al-Ghazalī bin Jamāl al-Dīn Ḥusein bin Aḥmad bin ‘Abd Allāh bin ‘Abd al-Malik bin ‘Alawī bin Muḥammad bin Ṣāḥib al-Mirbaṭ bin ‘Alī Khalīl Qasam bin ‘Alawī bin Muḥammad bin ‘Alawī bin ‘Abd Allāh bin Aḥmad al-Muhājir bin ‘Īsā al-Bisarī bin Muḥammad al-Faqīh bin ‘Alī al- ‘Urayḍī bin Ja’far Ṣādiq bin Muḥammad al-Bāqir bin ‘Alī Zayn al-‘Ābidīn bin Ḥusayn bin Sitī Fāṭimah binti Muḥammad Saw.

Baca Juga: Puskesmas Bojonggenteng Jadi Tuan Rumah Gebyar Cek Kesehatan Gratis HKN ke-62 di Sukabumi

Masa Pendidikan Sebagai seorang anak ajengan, sejak kecil Ahmad Sanusi beserta dengan seluruh saudaranya dididik dalam lingkungan religius. Proses pendidikan agama yang diterima Ahmad Sanusi dilakukan secara langsung oleh orang tuanya yang pada waktu itu telah mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan. Di pesantren ini, secara rutin digelar majelis taklim yang selalu dihadiri oleh para jamaah dari berbagai daerah. Sementara itu, santri yang masantren di Cantayan tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan ada juga yang berasal dari Bogor dan Cianjur.

Pada tahun 1905 M, di saat usianya menginjak 17 tahun, Ahmad Sanusi mulai mondok di beberapa pesantren di wilayah Jawa Barat, seperti Cisaat, Sukaraja Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya, yang diselesaikan dalam tempo singkat selama empat setengah tahun, sebelum menikah dan menunaikan Ibadah Haji pada tahun 1910. Seusai menunaikan ibadah haji, Ahmad Sanusi beserta istrinya memutuskan untuk menetap di Makkah selama lima tahun, untuk memperdalam ilmu agama dari para syaikh. Selain itu, ia pun membiasakan diri berkunjung kepada beberapa ulama Nusantara maupun tokoh pergerakan yang juga berada di Makkah, untuk bertukar pikiran dan menggali ilmunya.

Adapun Pesantren yang pernah beliau kunjungi di antaranya: Pesatren Selajambe (Cisaat Sukabumi), Pesantren Sukamantri (Cisaat Sukabumi), Pesantren Sukaraja (Sukaraja Sukabumi), Pesantren Cilaku (Cianjur), Pesantren Ciajag (Cinajur), Pesantren Gentur Warung Kondang (Cianjur), Pesantren Keresek (Garut), Pesantren Bunikasih (Garut), dan Pesantren Gudang (Tasikmalaya). Kiprah dan Perjuangannya Kiai Ahmad Sanusi dikenal sebagai seorang mufassir atau ahli tafsir Al Qur’an. Sebagai seorang mufassir,

Beliau begitu memahami kandungan makna dari ayat-ayat Al Qur’an dan banyak mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan persamaan hak, harga diri, dan kemerdekaan. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika ia dipandang sebagai sosok religius-nasionalis yang sangat berpengaruh pada masanya. Dengan karakter dan kedalaman ilmunya, pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir terhadap aktivitasnya. Oleh karena itu, sejak tahun 1927,

Baca Juga: Pemprov Jawa Barat Mulai Berlakukan WFH ASN Setiap Kamis

K. H. Ahmad Sanusi diasingkan ke Batavia Centrum. Selama di pengasingan, ia mengganti nama Hindia Nederland menjadi Indonesia dalam majalah yang dikelolanya: Al Hidajatoel Islamijjah. Selain itu, ia juga mendirikan Al Ittihadijatoel Islamijjah (AII) sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial-keagamaan. Pada zaman pendudukan Militer Jepang, organisasi ini dibekukan, tetapi sejak 1 Februari 1944 diizinkan untuk diaktifkan lagi dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII). Tahun 1952, dua tahun setelah ia wafat, organisasi ini melakukan fusi dengan Persatoean Oemat Islam (POI) yang didirikan oleh K H. Abdul Halim dari Majalengka.

Ajengan yang disebutkan terakhir merupakan teman seperjuangannya dalam memajukan pendidikan umat Islam. Fusi kedua organisasi itu sekarang bernama Persatuan Umat Islam (PUI). Beliau pun ikut berusaha merumuskan konstitusi dasar bagi negara Indonesia merdeka karena duduk sebagai anggota BPUPKI.

Sebagai anggota BPUPKI Nomor urut 2 (dua) dengan posisi duduk pada kursi nomor urut 36 bersama-sama Mr. Syamsuddin (sama-sama asli orang Sukabumi), pengurus Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa), mewakili Masyumi bersama-sama K.H. Wahid Hasyim, Pengurus Masyumi (Majelis Syuro’ Muslimin Indonesia) bersama-sama K.H. Abdul Halim, anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai), Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan).

Di wilayah Keresidenan Bogor (Bogor Syu) ia yang ikut membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air), BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sukabumi, dan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Kotapraja Sukabumi. Pada masa Perang Kemerdekaan, ia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dan melahirkan kader-kader pejuang yang tangguh. Sebagai wujud cintanya kepada NKRI, dengan tegas menolak eksistensi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII). Penolakannya itu diikuti oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Barat.

Sumber : berbagai sumber

Berita Terkait
Berita Terkini