SUKABUMIUPDATE.com - Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November kali ini, perhatian publik tertuju pada daftar nama yang diusulkan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Tahun ini, daftar tersebut mencakup sekitar 40 nama sebuah mozaik kompleks dari sejarah Indonesia. Daftar ini bukan sekadar urutan administratif, melainkan cerminan dari pergulatan bangsa dalam mendefinisikan siapa yang layak dihormati. Ia melibatkan tokoh militer, ulama, diplomat, intelektual, hingga figur yang melambangkan korban kekerasan negara, menantang Tim Penilai untuk menghadapi kontradiksi sejarah secara jujur.
Daftar 40 nama ini menunjukkan pergeseran pandangan tentang kepahlawanan, yang kini melampaui medan perang. Di dalamnya tercantum nama-nama tokoh militer seperti Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf dan Marsekal TNI (Purn) R. Suryadi Suryadarma yang mewakili perjuangan fisik, disandingkan dengan H.B. Jassin, sang "Paus Sastra Indonesia," yang berjasa menjaga integritas budaya. Dari sisi pendidikan dan ilmu pengetahuan, ada nama Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Hajjah Rahmah El Yunusiyyah. Keragaman ini mencerminkan pengakuan bahwa pembangunan bangsa adalah hasil kerja kolektif dari berbagai sektor.
Daftar ini menghadirkan pertarungan narasi paling tajam yang berpusat pada tokoh-tokoh Orde Baru dan pasca-Reformasi. H.M. Soeharto diusulkan atas jasa pembangunan dan stabilitas, mewakili narasi otoritarianisme yang berhasil. Kontrasnya, nama K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diusulkan sebagai simbol demokrasi, pluralisme, dan perjuangan hak-hak minoritas. Memutuskan gelar untuk kedua tokoh ini secara bersamaan hampir mustahil, karena keduanya merepresentasikan visi negara yang bertolak belakang pasca-kemerdekaan. Keputusan ini akan menentukan nilai politik mana yang diunggulkan negara.
Baca Juga: 20 Contoh Babasan Sunda dan Artinya: Ungkapan Penuh Makna dari Kearifan Lokal
Tiga wajah sejarah Indonesia di persimpangan: Soeharto (Pembangunan), Gus Dur (Demokrasi), dan Marsinah (Keadilan). Ujian moral jelang 10 November (Ilustrasi: Gemini).
Kasus Marsinah adalah ujian moral yang paling menyentuh dalam daftar ini. Sebagai aktivis buruh yang dibunuh secara keji, namanya mewakili korban kekerasan negara di era Orde Baru. Mengangkat Marsinah sebagai Pahlawan Nasional berarti negara mengakui kegagalannya melindungi warganya dan mengambil langkah menuju keadilan transisional. Kehadiran Marsinah dalam daftar yang sama dengan Soeharto, yang rezimnya dituduh bertanggung jawab atas ketidakadilan itu, adalah tantangan bagi Dewan Gelar untuk mendefinisikan pahlawan sebagai figur yang berani menuntut kebenaran, bukan hanya penguasa.
Daftar 40 nama ini juga menonjolkan pentingnya pengakuan terhadap tokoh regional yang jasanya mungkin kurang terekspos secara nasional. Tokoh seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Sumatera Barat), Demmatande (Sulawesi Barat), dan Andi Makkasau Parenrengi Lawawo (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa kepahlawanan lahir dari perjuangan akar rumput di seluruh kepulauan. Pengakuan ini penting untuk memperkuat narasi persatuan dan menghargai kontribusi daerah dalam membentuk NKRI.
Secara hukum, usulan ini harus melewati filter UU No. 20 Tahun 2009, yang mensyaratkan "integritas moral dan keteladanan yang tinggi." Persyaratan ini menjadi batu sandungan bagi tokoh yang terbebani oleh catatan Pelanggaran HAM dan KKN. Kasus ini memaksa Dewan Gelar untuk menimbang bobot jasa pembangunan dengan bobot dosa sejarah. Apakah kontribusi pada negara harus sepenuhnya bersih dari cacat moral, ataukah jasa besar di satu dimensi dapat menutupi kegagalan di dimensi lain?
Baca Juga: DPRD Jabar Dorong Sinergi Anggaran Provinsi dan Desa untuk Percepatan Pembangunan
Melansir RRI.co.id, berikut adalah 40 nama yang diusulkan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional, diurutkan berdasarkan wilayah pengusulannya:
- H.M. Soeharto (Jawa Tengah)
- K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
- Marsinah (Jawa Timur)
- Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf (Sulawesi Selatan)
- Drs. Franciscus Xaverius Seda (Nusa Tenggara Timur)
- Andi Makkasau Parenrengi Lawawo (Sulawesi Selatan)
- Tuan Rondahaim Saragih (Sumatera Utara)
- Marsekal TNI (Purn) R. Suryadi Suryadarma (Jawa)
- K.H. Wasyid (Banten)
- Mayjen TNI (Purn) dr. Roebiono Kertopati (Jawa Tengah)
- KH. Muhammad Yusuf Hasyim (Jawa Timur)
- Demmatande (Sulawesi Barat)
- KH. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat)
- Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Sumatera Barat)
- Abdoel Moethalib Sangadji (Maluku)
- Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin (DKI Jakarta)
- Letnan Kolonel (Anumerta) Charles Choesj Taulu (Sulawesi Utara)
- Mr. Gele Harun (Lampung)
- Letkol Moch. Sroedji (Jawa Timur)
- Prof. Dr. Aloei Saboe (Gorontalo)
- Letjen TNI (Purn) Bambang Sugeng (Jawa Tengah)
- Mahmud Marzuki (Riau)
- Letkol TNI (Purn) Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
- K.H. Sholeh Iskandar (Jawa Barat)
- Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Sumatera Barat)
- Zainal Abidin Syah (Maluku Utara)
- Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy (Maluku)
- Chatib Sulaiman (Sumatera Barat)
- Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi)
- K.H. Bisri Syansuri (Jawa)
- Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat)
- H.B. Jassin (Gorontalo)
- Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat)
- M. Ali Sastroamidjojo (Jawa Timur)
- dr. Kariadi (Jawa Tengah)
- R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesoemo (Jawa Tengah)
- Basoeki Probowinoto (Jawa Tengah)
- Raden Soeprapto (Jawa Tengah)
- Mochamad Moeffreni Moe'min (DKI Jakarta)
- Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur)
Baca Juga: KDM: Pemprov dan Pemda se-Jabar Lindungi 1 Juta Pekerja Informal Lewat BPJS Ketenagakerjaan
Daftar 40 nama ini, dengan segala kontradiksi dan keragamannya, adalah momentum untuk melakukan rekonsiliasi sejarah yang jujur. Keputusan untuk menambah daftar Pahlawan Nasional bukan hanya tentang memberi gelar, tetapi tentang penetapan kompas moral bangsa. Di Hari Pahlawan 10 November ini, Indonesia harus memilih: apakah kita akan merayakan pahlawan yang membawa stabilitas dengan mengorbankan demokrasi, ataukah kita akan memuliakan mereka yang berjuang keras demi keadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Persyaratan krusial dalam UU No. 20 Tahun 2009 adalah calon harus memiliki "integritas moral dan keteladanan yang tinggi." Syarat ini menjadi sandungan serius bagi Soeharto karena catatan Pelanggaran HAM berat dan KKN yang luas. Sebaliknya, hal ini menjadi kekuatan besar bagi Gus Dur dan H.B. Jassin, yang dikenal karena konsistensi moral dan keberanian menghadapi tekanan. Keputusan akhir akan bergantung pada bagaimana Dewan Gelar menafsirkan integritas di tengah fakta sejarah yang saling bertentangan.
Memilih Marsinah sebagai pahlawan berarti mengambil langkah maju dalam keadilan transisional, sebuah pengakuan resmi negara terhadap penderitaan rakyat kecil akibat kebijakan represif di masa lalu. Keputusan di Hari Pahlawan ini bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang komitmen terhadap masa depan. Pilihan yang diambil akan menentukan apakah Indonesia menjunjung tinggi prinsip moral dan HAM di atas pencapaian material yang diperoleh melalui cara-cara otoriter.
Baca Juga: Piye Kabare, Enak Zamanku, Toh? Dilema Sejarah Kontroversi Pahlawan Nasional Soeharto
Perdebatan mengenai gelar Pahlawan Nasional bagi 40 nama ini adalah ujian bagi kedewasaan demokrasi Indonesia. Ini bukan hanya tentang memberi gelar, tetapi tentang prinsip mana yang diutamakan oleh negara: Apakah stabilitas dan pembangunan yang dicapai secara otoriter lebih berharga daripada hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi? Jawaban yang dipilih akan mendefinisikan standar moral bagi setiap pemimpin Indonesia di masa mendatang.
Daftar 40 nama ini menawarkan peluang besar untuk memperkaya definisi Pahlawan Nasional. Namun, kontroversi yang ditimbulkan oleh nama-nama yang bertentangan secara ideologis menuntut Dewan Gelar dan Presiden untuk bertindak dengan kebijaksanaan moral yang tinggi. Keputusan akhir harus mencerminkan komitmen bangsa terhadap kejujuran sejarah, agar gelar kehormatan itu tidak dinodai oleh keraguan publik dan air mata para korban.



