Kisah Pahlawan Sukabumi, 3 Pilar Penegak Sang Saka di Bumi Priangan

Sukabumiupdate.com
Senin 10 Nov 2025, 15:08 WIB
Kisah Pahlawan Sukabumi, 3 Pilar Penegak Sang Saka di Bumi Priangan

Hari ini, Sukabumi mengenang ketiga tokoh Pahlawan Sukabumi sebagai cerminan pahlawan sejati. Mereka adalah Letkol Eddy Sukardi, Raden Tjetje Koesoemadiningrat, dan Lay Ting Yung (Gambar Ilustrasi: gemini)

SUKABUMIUPDATE.com Hari ini, 10 November, ketika seluruh Indonesia mengenang pengorbanan para pendahulu bangsa, Kota Sukabumi menampilkan sebuah mozaik perjuangan yang kaya dan utuh. Kepahlawanan di kota ini tidak hanya diukur dari heroik di medan tempur, tetapi juga dari ketegasan pena birokrasi dan kesetiaan di balik meja toko. Tiga sosok utama merepresentasikan pilar-pilar penting ini: Letkol Eddy Sukardi, yang memimpin perlawanan bersenjata; Raden Tjetje Koesoemadiningrat, yang mendirikan fondasi pemerintahan sipil; dan Lay Ting Yung atau "Si Godeng," yang menjalankan jaringan logistik senyap bagi pejuang kemerdekaan.

Letkol Eddy Sukardi mengukir namanya dengan tinta darah di palagan Pertempuran Bojongkokosan, sebuah area vital yang menjadi saksi bisu perlawanan sengit TKR melawan Sekutu. Di bawah komandonya, pejuang Sukabumi berhasil mengubah jalur Bogor-Bandung menjadi medan penyergapan mematikan, menegaskan harga diri bangsa yang tidak akan menyerahkan kedaulatan kembali. Sementara di ranah sipil, Raden Tjetje Koesoemadiningrat memanggul tugas sebagai Bupati Sukabumi yang pertama, sebuah peran krusial dalam menata administrasi dan legitimasi negara di tengah kekacauan revolusi. Keberaniannya adalah keberanian untuk menciptakan ketertiban di saat chaos militer mendominasi.

Melengkapi perjuangan militer dan sipil, terdapat kisah Lay Ting Yung ("Si Godeng"), pahlawan dari kalangan Tionghoa yang menunjukkan solidaritas tanpa batas. Tokonya menjadi markas rahasia dan gudang senjata bagi para pejuang, sebuah risiko besar yang diambil demi cita-cita bersama. Kisah beliau menjadi simbol persatuan lintas etnis dalam revolusi. Ketiga pilar ini militer, birokrasi, dan dukungan rakyat sipil lintas etnis menjadikan Sukabumi sebuah teladan utuh tentang bagaimana sebuah bangsa bersatu, berjuang, dan meraih kemerdekaan sejati.

Baca Juga: Piye Kabare, Enak Zamanku, Toh? Dilema Sejarah Kontroversi Pahlawan Nasional Soeharto

Liustrasi Letkol Eddy Sukardi  Bara Api di BojongkokosanIlustrasi Letkol Eddy Sukardi  Bara Api di Bojongkokosan (Digital Image: Gemini)

Darah panas revolusi tidak hanya mengalir di Surabaya. Setelah Proklamasi, ancaman Sekutu menjadi nyata di Jawa Barat, memaksa para pejuang untuk segera mengambil sikap. Di sinilah Letnan Kolonel Eddy Sukardi muncul sebagai komandan yang gagah berani, memikul tanggung jawab besar atas pertahanan wilayah Sukabumi. Beliau bukan sekadar perwira, melainkan representasi dari harga diri bangsa yang baru merdeka.

Palagan yang paling masyhur dari keberanian Sukardi adalah Pertempuran Bojongkokosan. Medan ini adalah gerbang vital Bogor menuju Bandung, yang harus dikuasai Sekutu. Namun, di antara jurang dan liku tajam jalan, Sukardi dan pasukannya mengubah jalur itu menjadi neraka bagi konvoi asing. Pertempuran sengit ini, yang berlangsung berbulan-bulan, menjadi penanda bahwa kemerdekaan tidak akan diserahkan kembali tanpa pertumpahan darah.

Di bawah komandonya, TKR menerapkan taktik penyergapan gerilya yang brutal dan sangat efektif. Mereka bukan hanya menyerang, melainkan menghancurkan mental musuh, mematahkan rantai suplai, dan menciptakan horor di setiap tikungan. Eddy Sukardi mengomandoi barisan pejuang yang rela mati demi menjaga kedaulatan, menjadikan Bojongkokosan monumen kebanggaan perlawanan rakyat Priangan.

Kini, setiap kali warga Sukabumi melintasi Jalan Letkol Eddy Sukardi, mereka diingatkan akan keberanian tak tertandingi itu, sebuah nama yang diukir bukan hanya di plang jalan, tetapi juga dalam catatan emas sejarah perjuangan militer Indonesia. Beliau adalah pahlawan yang memastikan Sukabumi membayar harga kemerdekaan dengan keberanian dan martabat.

Baca Juga: Sekda Jabar: Sikap Pahlawan yang Tidak Berebut Jabatan Patut Diteladani

Ilustrasi Raden Tjetje Koesoemadiningrat Mengukir Negara di Tengah BadaiIlustrasi Raden Tjetje Koesoemadiningrat Mengukir Negara di Tengah Badai (Digital Image: Gemini)

Namun, api revolusi tidak cukup hanya dengan senjata. Dibutuhkan ketenangan seorang negarawan untuk membangun fondasi. Di sinilah peran Raden Tjetje Koesoemadiningrat menjadi krusial. Saat dentuman di Bojongkokosan masih terdengar, beliau memanggul tugas berat: mengubah puing-puing kekuasaan kolonial menjadi struktur pemerintahan Republik Indonesia yang baru.

Sebagai Bupati Sukabumi yang pertama, Raden Tjetje tidak hanya menjabat. Beliau menciptakan sebuah legitimasi di tengah kekacauan. Di masa genting itu, beliau harus memastikan administrasi sipil berjalan, pangan tersedia, dan yang terpenting, dukungan rakyat terhadap Republik tetap kokoh.

Kepahlawanan Raden Tjetje adalah kepahlawanan birokrasi keberanian untuk memimpin dengan pena dan kebijakan di saat ancaman militer mengintai. Beliau adalah simbol transisi dari perjuangan bersenjata menuju penataan negara, membuktikan bahwa fondasi sipil yang kuat adalah pertahanan terbaik dari sebuah kedaulatan.

Baca Juga: Inilah Hak dan Kewajiban Penerima Gelar Pahlawan: Ada Tunjangan bagi Ahli Waris

Lay Ting Yung (kesetiaan logistik). Ketiganya membentuk narasi utuh tentang bagaimana sebuah kota kecil memberikan kontribusi monumental pada kemerdekaanLay Ting Yung dengan kesetiaan logistik-nya pada perjuangan & pejuang Kemerdekaan.(Digital Image:Gemini)

"Si Godeng" Lay Ting Yung Kesetiaan di Balik Meja Toko

Di sudut kota, ada jenis kepahlawanan lain, yang bekerja di balik layar, jauh dari sorotan. Dialah Lay Ting Yung, seorang tokoh Tionghoa yang akrab disapa "Si Godeng." Kisahnya adalah testimoni bisu tentang persatuan yang melintasi batas etnis dalam cita-cita kemerdekaan.

Toko Lay Ting Yung, yang seharusnya hanya menjual kebutuhan harian, berubah menjadi markas rahasia dan gudang senjata para pejuang. Ini adalah tindakan berisiko tinggi jika terungkap, nyawa dan harta keluarganya menjadi taruhan. Namun, kesetiaan Lay Ting Yung terhadap tanah air jauh lebih besar daripada rasa takutnya. Beliau bukan hanya menyimpan senjata, tetapi juga menyediakan kain merah dan putih untuk dijahit menjadi bendera.

Perannya membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah milik satu golongan. Di tengah gempuran rasial dan ancaman kolonial, Lay Ting Yung memilih berada di barisan terdepan dukungan. Sumbangsihnya yang tanpa pamrih itu kini dikenang abadi, dengan nama julukannya tersemat pada Perempatan Si Godeng yang sibuk sebuah pengingat akan keragaman dan pengorbanan sipil di Hari Pahlawan.

Baca Juga: Bupati Sukabumi Ajak Warga Teladani Perjuangan Para Pahlawan

Hari ini, Sukabumi mengenang ketiga tokoh ini sebagai cerminan pahlawan sejati. Ketiganya membentuk narasi utuh tentang bagaimana sebuah kota kecil memberikan kontribusi monumental pada kemerdekaan, mengajarkan kita bahwa kepahlawanan adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Kombinasi unik dari keberanian di palagan, kepemimpinan yang mendirikan fondasi negara di tengah badai, dan jaringan dukungan lintas etnis yang rela berkorban, adalah kunci kemenangan rakyat Sukabumi. Tidak ada satu peran pun yang lebih penting dari yang lain; ketiganya saling melengkapi dalam simfoni revolusi.

Nama Eddy Sukardi kini menjadi penanda jalan utama, selalu mengingatkan warga akan darah yang tumpah di Bojongkokosan. Raden Tjetje meninggalkan warisan administrasi yang memastikan bahwa Sukabumi berdiri sebagai bagian integral Republik Indonesia yang berdaulat. Sementara itu, Perempatan Si Godeng berfungsi sebagai monumen hidup, pengingat abadi bahwa persatuan yang tulus melampaui batas suku, ras, atau status sosial. Kehadiran nama-nama ini di ruang publik memastikan bahwa pengorbanan mereka, baik yang disorot oleh tembakan senapan maupun yang tersembunyi di balik etalase toko, akan terus dikenang oleh generasi penerus.

Maka, Hari Pahlawan 10 November 2025 ini, kisah pahlawan Sukabumi menjadi panggilan bagi kita semua, menegaskan bahwa tugas mempertahankan kemerdekaan memerlukan semangat yang sama, yakni persatuan, ketegasan, dan kesediaan untuk berkorban dari posisi mana pun kita berada. Dengan mengenang Eddy Sukardi, Raden Tjetje, dan Lay Ting Yung, kita tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga memperbarui janji kita pada masa depan untuk menjaga keutuhan dan keberagaman bangsa yang telah mereka perjuangkan dengan darah, pena, dan kesetiaan di hati.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini