Hutan Lindung di Sukabumi Tersisah 12,72 Persen: Ancaman Bencana Di Titik Paling Rapuh

Sukabumiupdate.com
Selasa 09 Des 2025, 16:34 WIB
Hutan Lindung di Sukabumi Tersisah 12,72 Persen: Ancaman Bencana Di Titik Paling Rapuh

Ilustrasi banjir ngeri di jalan raya salabintana Kabupaten Sukabumi (Sumber: edit by copilot)

SUKABUMIUPDATE.com - Ketua DPC Serikat Petani Indonesia atau SPI Kabupaten Sukabumi, Rozak Daud, menegaskan penyebab utama bencana khususnya banjir adalah menyusutnya kawasan hutan lindung. Ia menyebut luasan hutan lindung di Sukabumi kini hanya tersisa sekitar 12,72 persen, mayoritas dikelola negara melalui PTPN (PT Perkebunan Nusantara) dan TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango).

Menurut Rozak, fungsi ekologis sebagai penahan debit air kini hilang karena maraknya alih fungsi lahan menjadi agrowisata dan perkebunan non-kayu.

“Kawasan hutan lindung yang seharusnya menjadi penahan air, kini tidak lagi mampu menjalankan peran ekologisnya. Maka tidak heran Salabintana yang berada di dataran tinggi pun bisa banjir, bagaimana Kota Sukabumi yang berada di bawahnya?” kata Rozak, Selasa (9/12/2025).

Baca Juga: Telur Rp 35 Ribu per Kg, Emak-emak dan Pedagang Kue di Pajampangan Sukabumi Menjerit

Rozak menilai praktik alih fungsi lahan tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada petani. Ia menyebut ada dua kelompok yang mengolah lahan Eks HGU PTPN, yaitu petani kecil dengan lahan maksimal 5.000 meter persegi yang turun-temurun bertani dengan pola tanam tumpangsari, serta pengusaha tani atau petani musiman yang dalam lima tahun terakhir mengubah kebun teh menjadi perkebunan sayur atau destinasi wisata.

Menurut dia, perubahan besar pada lanskap ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan karena adanya izin penyewaan lahan oleh perusahaan negara.

“Bukan mereka yang memulai. Mereka berani membuka kebun teh dan menggantinya dengan tanaman lain karena ada izin sewa lahan dari PTPN. Jadi akar persoalan harus dilihat dari situ,” tegasnya.

Baca Juga: Wali Kota Sukabumi Sebut Kasus Korupsi Yang Seret Mantan Kadisporapar Terjadi di Masa Lalu

SPI mendorong audit terhadap pengelolaan lahan eks HGU (Hak Guna Usaha) yang masa kontraknya sudah berakhir. Rozak menyebut ada indikasi pelanggaran dalam praktik penyewaan tersebut.

“HGU-nya sudah berakhir tetapi lahannya disewakan. Ini harus diaudit dan didalami. Aspek hukumnya seperti apa? Dan biaya sewa itu mengalir ke mana? Apakah masuk ke kas BUMN melalui Direksi PTPN atau hanya permainan administratur lapangan?” ujarnya mempertanyakan.

Ia bahkan menyinggung keberadaan belasan kafe dan destinasi wisata yang kini berdiri di atas lahan bekas perkebunan teh sebagai bukti adanya perubahan tata ruang yang masif.

Baca Juga: Gempa M7,5 Mengguncang Jepang Utara, Warga Diimbau Waspada Gempa Susulan

Bagi Rozak, banjir Salabintana bukan kejadian tunggal, tetapi peringatan keras bagi pemerintah daerah agar segera menghentikan penyewaan lahan eks HGU, menata ulang fungsi hutan lindung, dan melindungi petani gurem.

“Jika kawasan hulu saja sudah tidak mampu menahan air, banjir dengan skala besar di Kota Sukabumi tinggal menunggu waktu,” tandasnya.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat melihat Sukabumi berada di jalur ancaman itu. Bencana beruntun sejak akhir 2024 hingga April 2025 menunjukkan pola yang kini merusak Sumatera: tutupan hutan hilang, pegunungan dilubangi tambang, zona konservasi menjadi lahan komersial, dan air kehilangan ruang untuk meresap.

Baca Juga: Pembangunan Baru 30%: Cerita Galang Dana untuk Abah Dudung, Penghuni Rumah Reyot di Cibarehong Surade

Sukabumi Berada di Titik Paling Rapuh

Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, mengatakan pihaknya telah turun ke lapangan dan menemukan masalah yang jauh lebih dalam daripada sekadar cuaca ekstrem. Ia tidak ragu menyebut penyebab utama bencana di Sukabumi adalah degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia, bukan hujan deras.

Pegunungan Guha di Kecamatan Jampangtengah, salah satu contoh hulu dengan ekosistem penting, menurutnya telah kehilangan tutupan hutan. Banyak juga kawasan yang sejatinya berfungsi sebagai resapan air dan konservasi, justru berubah menjadi ladang eksploitasi. Hannah pun menjelaskan beberapa kasus yang terjadi di banyak lokasi.

"Sejumlah daerah (di Kabupaten Sukabumi) sudah ditodong untuk kegiatan ekstraktif dan komersial. Ada pertambangan emas, kuarsa, tambang ilegal, proyek hutan tanaman energi, dan alih fungsi untuk pembangunan properti atau wisata dan permukiman," kata dia dalam keterangannya kepada sukabumiupdate.com, Selasa (9/12/2025).

Baca Juga: Ketegangan Pecah Saat Glamping 'Korea' Dibongkar di Pantai Citepus Sukabumi

Kerusakan itu bekerja senyap tetapi pasti. Dalam kondisi ekologis yang cacat, tanah tidak lagi mampu menyerap air, menahan erosi, atau mengatur limpasan. Maka setiap hujan besar, baik normal maupun ekstrem, menjadi pemicu bencana. Longsor, banjir bandang, dan pergerakan tanah lahir dari wilayah yang kehilangan daya tampung dan daya dukung lingkungannya. Dan Sukabumi, dari kacamata Walhi, sekarang berada di titik paling rapuh.

“Seluruh kota/kabupaten di Jawa Barat sedang di ambang krisis lingkungan dan bencana ekologis besar jika kerusakan terus dibiarkan, karena kerapuhannya berjalan paralel,” katanya yang menilai pola yang terjadi di Sumatera dan Aceh akan dengan mudah terulang di Jawa Barat jika pemerintah hanya berkutat pada respons darurat. Langkah preventif, seperti penataan ulang ruang dan evaluasi perizinan, menjadi kebutuhan mendesak.

Ia menunjuk contoh yang tak jauh dari Sukabumi: banjir di Jabodetabek beberapa waktu lalu. Di sana, pola perubahan lahan terlihat terang-benderang, di mana wilayah resapan dan hutan di pegunungan dan hilir daerah aliran sungai diubah menjadi area komersial. Kerusakan tidak pernah dipulihkan dan mitigasi tak kunjung dilakukan.

Baca Juga: Akal Bulus 2 Tersangka Dalam Dugaan Korupsi Retribusi Wisata di Kota Sukabumi

Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 menegaskan skala kerusakan itu. Kabupaten Sukabumi memiliki lebih dari 235 ribu hektare lahan kritis dan sangat kritis.

Di areal penggunaan lain saja terdapat 55.923,20 hektare lahan kritis dan 144.607,15 hektare sangat kritis. Hutan konservasi mencatat 3.872,75 hektare kritis dan 5.240,62 hektare sangat kritis. Lalu hutan lindung punya 24,88 hektare lahan kritis dan 1.363,22 hektare sangat kritis. Hutan produksi bahkan lebih memprihatinkan: 3.225,16 hektare kritis dan 21.380,06 hektare sangat kritis. Angka-angka ini, bagi Walhi, bukan sekadar tabel statistik, melainkan peta retakan ekologis yang membentang dari pesisir hingga lereng pegunungan.

Pada awal Desember 2024 saat bencana terjadi di banyak tempat, Walhi Jawa Barat mengirim tim investigasi ke Sukabumi. Mereka menemukan kerusakan yang jauh lebih luas dari dugaan awal. Degradasi bukan hanya terjadi di Guha, tetapi juga di kawasan tambang emas dan galian kuarsa—sumber bahan baku semen. Industri tersebut menghancurkan kawasan karst, salah satu ekosistem paling rentan. Di Desa Waluran, pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) demi memasok serbuk kayu ke PLTU Palabuhanratu memperburuk kerusakan.

Baca Juga: DPRD Jawa Barat Lestarikan Budaya Sunda Lewat Sapa Warga Sukabumi

Keadaan ini semakin kentara di Salabintana dan Pondok Halimun (PH), Kecamatan/Kabupaten Sukabumi. Kawasan yang secara kasatmata tidak mungkin tergenang karena berada di dataran tinggi justru dilanda banjir. Fenomena itu memperlihatkan kerusakan ekologis tidak lagi tersembunyi pada data, namun menjelma menjadi peristiwa nyata.

Dalam dokumen kajian bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2022–2026, lanjut Hannah, Jawa Barat disebut memiliki potensi gerakan tanah tinggi, terutama di daerah pegunungan. Laporan 2025 bahkan mencatat 27 kabupaten/kota, termasuk Sukabumi, Bandung, Bogor, dan Garut, berada di kategori kerawanan menengah hingga tinggi.

Di tengah indikator yang saling menguatkan itu, Walhi mendesak tindakan tegas. Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta melakukan audit izin, meninjau ulang tata ruang, menertibkan tambang legal dan ilegal, dan memaksa rehabilitasi lingkungan. Tanpa itu semua, kata Jawa Barat tidak hanya akan terus dihantui banjir dan longsor lokal, tetapi juga bencana ekologis besar seperti yang kini terjadi di Sumatera.

Baca Juga: Udin dan Sukabumi Disebut Raffi, Sindikat 200 Ribu Pil Ekstasi di Jalan Tol

Kombinasi perubahan lahan dan topografi yang rentan membuat provinsi ini berada dalam risiko yang tak boleh diremehkan. “Jawa Barat perlu waspada dengan sangat serius,” ujar Hannah.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini