SUKABUMIUPDATE.com – Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan kekhawatiran serius atas masifnya alih fungsi lahan di kaki gunung pangrango atau kawasan sekitar Pondok Halimun (PH) Salabintana, Kabupaten Sukabumi. Perubahan fungsi kawasan yang semula merupakan kebun teh itu dinilai semakin tidak terkendali, mulai dari pembukaan lahan untuk pertanian intensif hingga pembangunan tempat wisata.
Ketua DPC SPI Sukabumi, Rozak Daud, menegaskan bahwa alih fungsi lahan tersebut harus dilihat secara objektif dan tidak sekadar menyalahkan masyarakat kecil. Ia menyebut, ada anggapan keliru yang menyebutkan bahwa petani kecil menjadi pihak utama yang mengubah kebun teh menjadi lahan pertanian.
“Harus dipahami bahwa ada tipologi petani. Petani gurem menguasai lahan di bawah 5.000 meter dan menggarapnya secara turun-temurun. Namun tiga tahun terakhir justru muncul pengusaha tani yang menguasai lahan di atas satu hektare,” ujar Rozak kepada sukabumiupdate.com, Senin (8/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa kelompok pengusaha tani tersebut bukan hanya membuka lahan untuk tanaman hortikultura, tetapi juga mengembangkan kawasan wisata dan menggunakan teknik pertanian dengan mulsa plastik yang mengurangi daya resap air tanah. Kondisi ini dinilai berpotensi merusak ekosistem hutan dan mengganggu fungsi lingkungan kawasan Salabintana.
Rozak juga mengungkap bahwa praktik alih fungsi lahan dalam skala besar ini bisa terjadi karena adanya pola sewa lahan kepada PTPN, yang mempermudah pihak-pihak tertentu menguasai area luas dalam waktu singkat.
“Penjabarannya harus objektif. Mengapa ada orang yang tiba-tiba menguasai lahan lebih dari satu hektare? Ini perlu ditelusuri. Jangan sampai hutan yang seharusnya menjadi sistem pertahanan lingkungan justru terancam oleh aktivitas yang tidak terkontrol,” tegasnya.
SPI mendorong adanya penataan kembali, pengawasan ketat, serta evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan lahan di kawasan PH Salabintana. Menurut mereka, upaya tersebut penting dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memastikan keberlangsungan hidup petani kecil yang selama ini menggantungkan hidup pada kawasan tersebut.
Baca Juga: Kaleidoskop 2025: 13 Perceraian Selebritis yang Paling Menyita Perhatian Publik Sepanjang Tahun
Pernyataan tersebut, Rozak sampaikan menanggapi pernyataan anggota DPRD Jawa Barat Lina Ruslinawati yang menyoroti terkait potensi bencana lebih, jika alih fungsi lahan di kaki gunung gede pangrango tidak dihentikan, khususnya di kawasan Pondok Halimun (PH).
“Kita tahu ada alih fungsi lahan ya. pembukaan tempat-tempat wisata di PH itu. Saya sudah bicarakan masalah ini di provinsi,” ucap Lina kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (6/12/2025).
Menurut Lina keberadaan tempat wisata baru dan perkebunan hortikultura yang mulai menggerus tanaman teh di PH, dikhawatirkan menghilangkan kemampuan daya serap air di dataran tinggi tersebut. “Fungsi teh aja ditanam di sana untuk apa? Bukan hanya sekedar untuk pucuknya kemudian dijadikan teh diminum. Ada fungsi konservasi disana yang harus kita perhatikan. Harus ada evaluasi,” bebernya.
Perkebunan teh Sukabumi yang membentang di kaki gunung gede pangrango dari Goalpara hingga ke utara termasuk PH, pernah menjadi kebanggaan Sukabumi. Jika tanaman ini digerus atas nama ekonomi, dengan dalih masyarakat membutuhkan sumber penghidupan, menurutnya itu cerita lama dan tidak bisa bisa dijadikan alasan, mengubah alih fungsi hutan dan kebun teh menjadi tempat wisata dan lahan pertanian hortikultura.
“Nggak, bukan alasan itu. Kalau kemudian bencana yang datang, siapa yang mau disalahkan? Jangan sampai kejadian bencana besar karena kita membiarkan alih fungsi lahan di dataran tinggi yang selama ini menjaga dan menjadi resapan air alami,” tegasnya.
“Hujan kemarin, sungai-sungai dari dataran tinggi tersebut meluap. Debit airnya terus bertambah besar saat hujan,” sambung Lina.
Dia memang belum pegang data soal luasan alih fungsi lahan di kawasan PH dan sekitarnya, terutama di perkebunan teh. “Yang di Sukabumi belum ada data, kemarin bersama Dinas Perkebunan dan Tanaman Provinsi Jawa Barat, baru melakukan cek lapangan yang di Subang, itu kan juga banyak.”
Ia menegaskan stop alih fungsi lahan di PH dan sekitarnya, dan lebih memilih dikembalikan menjadi hutan. “Kalau kita bersahabat dengan alam, alam juga bersahabat dengan kita.” tambahnya.
Anggota Komisi II DPRD Jabar ini juga menekankan perlunya kesadaran bersama untuk menjaga alam dan lingkungan. Agar peristiwa banjir bandang gara-gara alih fungsi lahan bisa dicegah.
“Untuk banjir limpasan salabintana, menurut saya selain karena alih fungsi lahan hutan di dataran tinggi PH dan sekitarnya juga akibat perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Buang sampah, tutup drainase jalan. Itu kan jalan salabintana bisa banjir besar karena sudah tidak berfungsinya drainase,” ungkapnya.
“Siapa, kenapa, apa, sampai terjadi seperti ini? Saya lihat, mohon maaf nih, saluran air, drainase, itu mampat di mana-mana. Ada kepedulian dari siapapun untuk kemudian membereskan nya? Tidak ada. Udah lama itu. Ayo, kemana, mau diapakan ini? Masyarakat juga tidak lepas tanggung jawab. Ayo sama-sama, kalau kemudian drenas itu dibangun, diperbaiki oleh pemerintah, masyarakat tidak punya kepedulian, buang sampah di mana-mana, sedimentasi terjadi karena memang buang sampah disitu. Jadi mampet. Ayo, apa yang bisa kita lakukan? Sama-sama kita berbuat kebaikan,” pungkasnya.




