SUKABUMIUPDATE.com - Gelombang banjir bandang dan tanah longsor yang menghantam kawasan Sumatera dan Aceh beberapa waktu ini seakan menjadi bayangan masa depan Jawa Barat, termasuk Kabupaten Sukabumi. Hilang dan rusaknya bentang alam sebagai penyangga ekologis menjadi peringatan dini yang harus diwaspadai segera.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat melihat Sukabumi berada di jalur ancaman itu. Bencana beruntun sejak akhir 2024 hingga April 2025 menunjukkan pola yang kini merusak Sumatera: tutupan hutan hilang, pegunungan dilubangi tambang, zona konservasi menjadi lahan komersial, dan air kehilangan ruang untuk meresap.
Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, mengatakan pihaknya telah turun ke lapangan dan menemukan masalah yang jauh lebih dalam daripada sekadar cuaca ekstrem. Ia tidak ragu menyebut penyebab utama bencana di Sukabumi adalah degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia, bukan hujan deras.
Pegunungan Guha di Kecamatan Jampangtengah, salah satu contoh hulu dengan ekosistem penting, menurutnya telah kehilangan tutupan hutan. Banyak juga kawasan yang sejatinya berfungsi sebagai resapan air dan konservasi, justru berubah menjadi ladang eksploitasi. Hannah pun menjelaskan beberapa kasus yang terjadi di banyak lokasi.
"Sejumlah daerah (di Kabupaten Sukabumi) sudah ditodong untuk kegiatan ekstraktif dan komersial. Ada pertambangan emas, kuarsa, tambang ilegal, proyek hutan tanaman energi, dan alih fungsi untuk pembangunan properti atau wisata dan permukiman," kata dia dalam keterangannya kepada sukabumiupdate.com, Selasa (9/12/2025).
Baca Juga: Sukabumi Sudah Hadapi Banjir Sejak 1894, Membaca Jejak Bencana yang Terus Berulang
Kerusakan itu bekerja senyap tetapi pasti. Dalam kondisi ekologis yang cacat, tanah tidak lagi mampu menyerap air, menahan erosi, atau mengatur limpasan. Maka setiap hujan besar, baik normal maupun ekstrem, menjadi pemicu bencana. Longsor, banjir bandang, dan pergerakan tanah lahir dari wilayah yang kehilangan daya tampung dan daya dukung lingkungannya. Dan Sukabumi, dari kacamata Walhi, sekarang berada di titik paling rapuh.
Namun Hannah tidak berhenti di situ. Menurutnya, kerentanan ini bukan fenomena tunggal.
“Seluruh kota/kabupaten di Jawa Barat sedang di ambang krisis lingkungan dan bencana ekologis besar jika kerusakan terus dibiarkan, karena kerapuhannya berjalan paralel,” katanya yang menilai pola yang terjadi di Sumatera dan Aceh akan dengan mudah terulang di Jawa Barat jika pemerintah hanya berkutat pada respons darurat. Langkah preventif, seperti penataan ulang ruang dan evaluasi perizinan, menjadi kebutuhan mendesak.
Ia menunjuk contoh yang tak jauh dari Sukabumi: banjir di Jabodetabek beberapa waktu lalu. Di sana, pola perubahan lahan terlihat terang-benderang, di mana wilayah resapan dan hutan di pegunungan dan hilir daerah aliran sungai diubah menjadi area komersial. Kerusakan tidak pernah dipulihkan dan mitigasi tak kunjung dilakukan.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 menegaskan skala kerusakan itu. Kabupaten Sukabumi memiliki lebih dari 235 ribu hektare lahan kritis dan sangat kritis.
Di areal penggunaan lain saja terdapat 55.923,20 hektare lahan kritis dan 144.607,15 hektare sangat kritis. Hutan konservasi mencatat 3.872,75 hektare kritis dan 5.240,62 hektare sangat kritis. Lalu hutan lindung punya 24,88 hektare lahan kritis dan 1.363,22 hektare sangat kritis. Hutan produksi bahkan lebih memprihatinkan: 3.225,16 hektare kritis dan 21.380,06 hektare sangat kritis. Angka-angka ini, bagi Walhi, bukan sekadar tabel statistik, melainkan peta retakan ekologis yang membentang dari pesisir hingga lereng pegunungan.
Data lahan kritis Kabupaten Sukabumi tahun 2023. | Foto: Dokumen Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Pada awal Desember 2024 saat bencana terjadi di banyak tempat, Walhi Jawa Barat mengirim tim investigasi ke Sukabumi. Mereka menemukan kerusakan yang jauh lebih luas dari dugaan awal. Degradasi bukan hanya terjadi di Guha, tetapi juga di kawasan tambang emas dan galian kuarsa—sumber bahan baku semen. Industri tersebut menghancurkan kawasan karst, salah satu ekosistem paling rentan. Di Desa Waluran, pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) demi memasok serbuk kayu ke PLTU Palabuhanratu memperburuk kerusakan.
Keadaan ini semakin kentara di Salabintana dan Pondok Halimun (PH), Kecamatan/Kabupaten Sukabumi. Kawasan yang secara kasatmata tidak mungkin tergenang karena berada di dataran tinggi justru dilanda banjir. Fenomena itu memperlihatkan kerusakan ekologis tidak lagi tersembunyi pada data, namun menjelma menjadi peristiwa nyata.
Dalam dokumen kajian bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2022–2026, lanjut Hannah, Jawa Barat disebut memiliki potensi gerakan tanah tinggi, terutama di daerah pegunungan. Laporan 2025 bahkan mencatat 27 kabupaten/kota, termasuk Sukabumi, Bandung, Bogor, dan Garut, berada di kategori kerawanan menengah hingga tinggi.
Di tengah indikator yang saling menguatkan itu, Walhi mendesak tindakan tegas. Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta melakukan audit izin, meninjau ulang tata ruang, menertibkan tambang legal dan ilegal, dan memaksa rehabilitasi lingkungan. Tanpa itu semua, kata Jawa Barat tidak hanya akan terus dihantui banjir dan longsor lokal, tetapi juga bencana ekologis besar seperti yang kini terjadi di Sumatera.
Kombinasi perubahan lahan dan topografi yang rentan membuat provinsi ini berada dalam risiko yang tak boleh diremehkan. “Jawa Barat perlu waspada dengan sangat serius,” ujar Hannah.





