Lonceng Kematian Tradisi Samenan di Sukabumi, Jejak Sejarah yang Tergilas Regulasi

Sukabumiupdate.com
Senin 12 Mei 2025, 11:33 WIB
Ilustrasi pawai samenan sekolah di Sukabumi. | Foto: AI

Ilustrasi pawai samenan sekolah di Sukabumi. | Foto: AI

SUKABUMIUPDATE.com - Pelarangan kegiatan pawai atau karnaval dalam acara perpisahan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) di Kabupaten Sukabumi bagai petir di siang bolong. Tradisi yang akrab dikenal sebagai samenan, simbol kebersamaan, kegembiraan, dan rasa syukur, ini sekarang berada di ujung tanduk.

Surat Edaran Nomor B-1375/Kk.10.02/III/PP.00.8/04/2025 tertanggal 24 April 2025 dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi menjadi lonceng kematian bagi tradisi tersebut.

Edaran itu menetapkan bahwa pelaksanaan kegiatan perpisahan MDT harus berlangsung secara sederhana, memanfaatkan fasilitas seadanya, tanpa pawai yang dapat memicu gangguan ketertiban umum. Sekolah juga diwajibkan berkoordinasi dengan pemerintah kecamatan apabila melibatkan massa dalam jumlah yang besar.

Meski berlandaskan aturan, kebijakan ini dianggap akan memangkas nyawa dari sebuah tradisi yang telah menjadi denyut nadi masyarakat Sukabumi. Samenan bukan sekadar pesta, melainkan saksi perjalanan sejarah, nilai kebersamaan, dan identitas budaya lokal yang hidup di setiap sudut jalanan dan hati masyarakat.

Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah pernah mengatakan bahwa istilah samen konon berasal dari bahasa Belanda yaitu samen yang artinya bersama. Namun, mengingat tradisi di masyarakat merujuk pada rangkaian kenaikan kelas, dalam artian mensyukuri kelulusan, baik dalam proses naik ke kelas berikutnya maupun perpisahan, maka istilah samen lebih pas berasal dari kata slagen voor het examen yang artinya lulus ujian.

Baca Juga: Soroti Keluhan Pegiat Drumband, Sekda Sukabumi Tegaskan Larangan Pawai Samenan MDT

Kebiasaan pelafalan asing sering menyesuaikan dengan lidah lokal, sehingga examen dilafalkan samen yang ketika diartikan juga memang ada kegiatan bersama. Samen dengan arti bersama lebih dikenal dengan istilah negatif yaitu samen leven yang keliru dimaknai kumpul kebo. Padahal makna sesungguhnya adalah hidup berdampingan.

"Samen berasal dari kebiasaan masyarakat Sunda Sukabumi yang selalu merayakan sesuatu, baik dengan selamatan maupun arak-arakan," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.

Tradisi ini kemudian diadopsi Belanda saat merayakan sesuatu di wilayah Sukabumi. Misalnya dalam perayaan hari lahir Ratu Juliana selalu ada pesta yang dimaksudkan sebagai selamatan. Kemudian optocht (berupa pawai atau arak-arakan).

Adapun yang masih kental adat sundanya biasanya dalam perayaan hasil perkebunan seperti di Cibungur, setiap selesai panen perkebunan, maka dilakukan pesta topeng, wayang golek, yang disertai arak-arakan hasil bumi dan kesenian masyarakat.

Irman yang sudah menulis beberapa buku tentang Sukabumi, salah satunya Soekaboemi the Untold Story, mengatakan kgiatan pesta dan pawai perkebunan itujuga banyak diikuti perkebunan lain seperti Parakansalak, Sinagar, dan Coiwangi. Tak heran jika banyak perkebunan di Sukabumi saat itu memiliki gamelan dan wayang golek serta para nayaganya karena setiap pekan akan pentas menghibur para pekerja kebun.

Pawai atau parade sendiri sebenarnya sudah menjadi tradisi lama di Eropa yang berasal dari pawai kemenangan pasukan Romawi saat menaklukkan negeri taklukannya. Kecocokan tradisi ini menguatkan kepentingan Belanda untuk melakukan tradisi selametan dan pawai, baik untuk menghormati tradisi lokal maupun menyelipkan tradisinya sendiri. Tak heran dalam perayaan-perayaan tersebut akan muncul seni dan budaya Eropa dan Sunda yang diangkat dalam kegiatan.

"Misalnya pentas silat, tari sunda, bahkan dalam arak-arakan pun seperti layaknya arak-arakan Sunda biasanya membawa hasil bumi, alat kesenian, dan lain-lain," kata Irman.

Pawai dilakukan tidak hanya dalam agenda resmi pemerintah, namun juga pada kegiatan keagamaan seperti Cap Go Meh atau perayaan sekolah seperti sekolah polisi dan sekolah-sekolah umum di Sukabumi yang selalu mengadakan selametan dan pawai ini. Khusus dalam lingkungan sekolah di Sukabumi, muncul istilah yang menggambarkan rangkaian kegiatan selametan dan pawai tersebut yang disebut samen atau samenan.

Pada masa penjajahan, arak-arakan sekolah di wilayah Kota Sukabumi (gemeente) biasanya kegiatan pawai sekolah, dilakukan bersamaan dengan kegiatan perayaan pemerintah. Misalnya pada 27 Maret 1934, dilaporkan oleh koran De Koerier, beberapa sekolah seperti Kindervakantieshool, SOG, dan sekolah polisi melakukan arak-arakan dari jam empat sore mulai Jalan Bhayangkara sekarang hingga alun-alun dengan drum band dari sekolah polisi yang diikuti perayaan yang dipimpin pendeta Katolik dan ulama Islam.

Samen yang paling unik dan khas sekolah sebenarnya kegiatan yang dilakukan di wilayah Cisaat, Cibadak, hingga Cicurug, Kabupaten Sukabumi, yang sejak masa kolonial memang mengadakan pesta kenaikan kelas khusus yang disertai pawai. Kegiatan ini mandiri tidak dikaitkan dengan perayaan pemerintah, dan dilakukan serentak di beberapa desa. Arak-arakannya lebih lengkap dengan khas budaya lokal.

"Salah satu contohnya diulas dalam Bataviaasch Nieuwsblaad pada 23 Juli 1934. Akhir tahun ajaran di desa-desa di wilayah Cibadak selalu mengadakan selametan pesta dan arak-arakan," ucap Irman.

Arak-arakan itu membawa serta delman/nayor, kerajinan sekolah, bentuk-bentuk rumah, orang-orangan besar, yang dilengkapi musik gamelan. Gamelan ini membedakan dengan perayaan di Kota Sukabumi (Gemeente) yang menggunakan drum band sekolah polisi. Kemeriahannya jauh lebih terasa karena semua masyarakat tumpah di jalanan menonton pawai.

Baca Juga: Poinnya Pungutan ke Wali Murid dan Kemacetan, Polemik Kebijakan Pawai Samenan di Sukabumi

Namun tak hanya kesenangan, sering kegiatan samen juga menjadi kericuhan, seperti pada Jumat pagi tanggal 20 Juli 1934. Anak-anak sekolah Karangtengah berjalan dengan musik yang memimpin dan akan berhenti di Alun-alun Karangtengah (dulunya alun-alun distrik Ciheulang). Seorang ahli anggar dari masyarakat Sunda, tergoda oleh nada gamelan sehingga ingin menunjukkan keahliannya dan menari mengikuti musik sambil anggar di udara.

Selanjutnya, Irman menyebut, muncul satu orang lagi yang juga merasa pandai bermain pedang, melayaninya menari pedang sebagai lawan. Dalam keseruan menunjukkan keahlian, pemain anggar tersebut akhirnya saling emosi dan melanjutkan pertarungan dengan golok. Pelaku dipisahkan, namun satu orang yang melerai terkena tebasan golok sehingga orang yang terluka dibawa ke rumah sakit di Sukabumi.

Meski begitu, tradisi ini terus berjalan dan diadopsi oleh sekolah-sekolah dengan segala penyesuaian. Misal dalam perkembangannya penggunaan gamelan yang sangat berat akhirnya digantikan drum band mengikuti pawai kota yang menggunakan drum band sekolah polisi.

Ritual di sekolah-sekolah pada hakikatnya hampir sama, terdiri dari kegiatan selametan perpisahan yang diisi atraksi seni dan budaya kreasi siswa dan guru. Kemudian lesengan (leseng kemungkinan berasal dari kata lesson yang artinya pelajaran), biasanya menggunakan pidato pendek yang disampaikan secara bergiliran di panggung. Termasuk acara pawai siswa yang dilengkapi kendaraan buatan, patung/badut khas, dan lain-lain.

Selain menjadi kegembiraan para siswa, orang tua murid, dan guru, tradisi ini secara lokal menjadi daya tarik bagi pengunjung maupun pedagang dan menimbulkan kerumunan yang luas sehingga kadang menjadikan kemacetan di ruas-ruas jalan. Samen juga menjadi salah satu aktivitas yang mendorong lahirnya perputaran uang dan kebangkitan ekonomi rakyat dengan banyaknya transaksi jual beli di acara tersebut.

Berita Terkait
Berita Terkini