Teknologi Pengeboran: Dua Wajah Inovasi ala AS dan Norwegia

Sukabumiupdate.com
Selasa 23 Sep 2025, 18:29 WIB
Teknologi Pengeboran: Dua Wajah Inovasi ala AS dan Norwegia

Arab Saudi melalui Aramco unggul dalam keahlian yang berbeda, yaitu efisiensi pengeboran konvensional skala besar dengan biaya produksi terendah di dunia. (Ilustrasi AI: ChatGPt)

SUKABUMIUPDATE.com - Dunia teknologi pengeboran saat ini menjadi ajang persaingan sengit antara raksasa energi. Namun, lomba ini tidak hanya tentang siapa yang mengebor paling dalam atau paling banyak. Sebaliknya, kompetisi ini mencerminkan dua jalur inovasi yang sangat berbeda: efisiensi ekstrem versus kelestarian lingkungan.

AS: Jawara Inovasi Pengeboran Darat yang Rumit

Amerika Serikat, berkat revolusi shale yang dimulai pada pertengahan 2000-an, telah menjadi pionir dalam teknologi pengeboran yang kompleks. Keahlian utama Negeri Paman Sam terletak pada pengeboran horizontal dan rekahan hidrolik (fracking).

"Yang dilakukan AS adalah presisi bedah di kedalaman ribuan meter," jelas seorang analis industri energi. "Mereka mengebor vertikal ke bawah, lalu membelokkan bor secara horizontal sejauh kilometer di dalam formasi batuan serpih yang tipis, lalu memecah batuan tersebut dengan fracking."

Kecanggihan ini didukung oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Schlumberger dan Halliburton. Mereka mengembangkan mata bor super keras, perangkat lunak pemandu real-time, dan analisis data besar untuk memaksimalkan hasil dari setiap sumur. Ladang Permian Basin di Texas menjadi bukti nyata, berfungsi sebagai laboratorium lapangan terbesar di dunia untuk efisiensi pengeboran skala masif. Pada tahun 2022, Permian Basin dilaporkan memproduksi sekitar 5,6 juta barel minyak mentah per hari, menjadikannya salah satu wilayah produsen minyak terbesar di dunia, bahkan melampaui produksi nasional beberapa negara OPEC.

Baca Juga: ICW Desak Anggota DPR dan DPRD Mundur dari Kemitraan Program MBG

Norwegia: Rajawali Pengeboran Lepas Pantai yang Hijau

Di jalur yang berbeda, Norwegia muncul sebagai pemimpin global dalam pengeboran lepas pantai yang berfokus pada keselamatan dan keberlanjutan. Dengan kondisi Laut Utara yang keras, Norwegia memelopori teknologi pengeboran bawah laut (subsea) dan elektrifikasi.

"Bagi Norwegia, canggih berarti bersih dan aman. Mereka menempatkan hampir semua peralatan produksi di dasar laut dan menyalakan platformnya dengan listrik dari pembangkit hidroelektrik di darat," papar pakar energi lepas pantai. "Pendekatan ini secara drastis memotong emisi."

Negara ini juga menjadi pelopor dalam teknologi Carbon Capture and Storage (CCS), yang menangkap emisi CO2 dan menyimpannya kembali di bawah tanah. Proyek lapangan Johan Sverdrup, yang dioperasikan oleh perusahaan energi Equinor, menjadi contoh nyata dari keberhasilan ini. Berkat elektrifikasi dan teknologi canggih, emisi CO2 dari fasilitas ini dilaporkan kurang dari 0,7 kg CO2 per barel minyak, jauh di bawah rata-rata global sebesar 15-25 kg CO2 per barel.

Baca Juga: Teras.id (IMA 2.0): Yuk Dukung Media Daerah (Lokal) Menjadi Lebih Independen

Peta Persaingan dan Masa Depan

Sementara itu, negara-negara lain seperti Arab Saudi melalui Aramco unggul dalam keahlian yang berbeda, yaitu efisiensi pengeboran konvensional skala besar dengan biaya produksi terendah di dunia. Rata-rata biaya produksi di Arab Saudi diperkirakan hanya $2-5 per barel, jauh lebih rendah dari biaya di ladang shale AS atau ladang lepas pantai di Laut Utara.

Analis memprediksi persaingan ini akan semakin memanas. AS akan terus menyempurnakan teknologi digital dan robotik untuk pengeboran darat, sementara Norwegia fokus pada dekarbonisasi total operasi lepas pantai. Perlombaan ini tidak hanya menentukan siapa yang memenangkan pasar energi hari ini, tetapi juga bagaimana bentuk industri energi fosil yang bertanggung jawab di masa transisi menuju energi terbarukan.

Dampak Lingkungan: Sisi Gelap di Balik Inovasi

Di balik lompatan teknologi, dampak lingkungan tetap menjadi titik kritis. Para kritikus menilai, inovasi apa pun yang bertujuan mengekstrak lebih banyak bahan bakar fosil pada dasarnya berkontribusi pada krisis iklim.

"Teknologi yang 'kurang buruk' bukanlah teknologi yang 'baik'," ujar Direktur Eksekutif Energy Watchdog, Amanda Green. "Pengeboran yang lebih efisien tetap menghasilkan karbon yang akhirnya dibakar dan dilepas ke atmosfer. Sementara kebocoran metana – gas rumah kaca yang sangat poten  dari sumur gas tetap menjadi masalah serius yang sering kali terabaikan."

Baca Juga: Geliat Seni Bilah Tajam Sukabumi: Kiblat Perajin Golok Cibatu di Era Digital

Berdasarkan laporan dari Environmental Protection Agency (EPA), kebocoran metana dari fasilitas minyak dan gas dapat menyumbang hingga 3% dari total emisi gas rumah kaca di AS.

Limbah dan Polusi Air

Selain emisi, industri pengeboran menghasilkan volume limbah yang sangat besar, termasuk lumpur pengeboran yang terkontaminasi logam berat dan material radioaktif alami (NORM), serta air produksi yang sangat asin. Meskipun ada regulasi untuk pembuangan yang aman, risiko kebocoran dan pencemaran air tanah tetap menjadi ancaman nyata, terutama di daerah yang dekat dengan sumber air masyarakat. Sebuah studi oleh Duke University (2014) menemukan bahwa air tanah di dekat area fracking di Pennsylvania memiliki konsentrasi metana yang jauh lebih tinggi.

Tingkat Penemuan yang Menipis

Ironisnya, meskipun teknologi semakin canggih, hasil yang didapat justru seringkali lebih kecil. Perusahaan sekarang mengebor di lokasi yang lebih ekstrem dan sulit seperti laut dalam atau kawasan Arktik untuk menemukan cadangan baru. Hal ini justru membutuhkan energi lebih banyak, meningkatkan biaya, dan membawa risiko lingkungan yang lebih besar dibandingkan pengeboran di sumur konvensional pada dekade lalu.

"Kita seperti berlari lebih cepat hanya untuk tetap di tempat yang sama, tetapi dengan jejak kerusakan yang lebih dalam," tambah Green.

Baca Juga: Jabar Bersiap Gelar Pilkades Elektronik, Kades akan Dipilih secara e – Voting

Tekanan Investor dan Masa Depan

Di tengah tekanan global untuk transisi energi, lomba teknologi ini menghadapi paradoks. Di satu sisi, inovasi diperlukan untuk membuat operasional lebih bersih. Namun di sisi lain, efisiensi yang diciptakan justru dapat memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil, dengan berargumen bahwa sumber daya tersebut kini dapat diproduksi dengan 'cara yang lebih bertanggung jawab'.

Namun, bagi banyak investor dan pemerhati lingkungan, satu-satunya jalan yang benar-benar berkelanjutan adalah dengan secara bertahap mengalihkan investasi besar-besaran tersebut ke pengembangan energi terbarukan. Laporan dari International Energy Agency (IEA) (2021) bahkan menyatakan bahwa untuk mencapai target nol emisi bersih global pada 2050, tidak boleh ada investasi pada proyek pasokan bahan bakar fosil baru.

Dengan demikian, lomba teknologi pengeboran bukan sekadar persaingan prestise antarnegara. Ia merupakan cerminan dari persimpangan jalan yang dihadapi umat manusia: antara mempertahankan sistem energi lama yang telah teruji namun merusak, atau berinvestasi pada sistem baru yang berkelanjutan namun membutuhkan transformasi mendalam.

(Dari berbagai sumber)

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini