Dari Pasukan Majapahit ke Djawatan Hingga Polri: Sejarah Bhayangkara Indonesia

Sukabumiupdate.com
Selasa 01 Jul 2025, 12:35 WIB
Dari Pasukan Majapahit ke Djawatan Hingga Polri: Sejarah Bhayangkara Indonesia

HUT Polri ke 79. Petugas kepolisian resort sukabumi kota saat bertugas (Sumber: dok tmc polres sukabumi kota)

SUKABUMIUPDATE.com - Happy Birthday untuk kepolisian republik Indonesia. 1 Juli tahun 2025, Polri genap berusia 79 tahun, dengan perayaan HUT Bhayangkara berlangsung di seluruh Indonesia, termasuk di Kota dan Kabupaten Sukabumi. Perayaan ulang tahun Polri tahun menyunting tema "Polri untuk Masyarakat".

Menapak sejarah, orang yang mengemban jabatan setara dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia sudah ada sejak 29 September 1945. Laman Museum Polri mencatat, Presiden Sukarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN) pada 29 September 1945, nama inilah yang mulai berjuang menempatkan kepolisian lebih independen.

Pasukan Elit Majapahit

Bhayangkara adalah sebutan untuk pasukan elit pada zaman kerajaan Majapahit yang dibentuk pada tahun 1293. Pasukan Bhayangkara memiliki pengaruh besar bagi Kerajaan, karena selalu ikut andil dalam invasi, menjaga keselamatan sekaligus pengawal pribadi Raja serta keluarga kerajaan, menjaga keamanan dan ketertiban rakyat serta sebagai penegakan hukum kerajaan agar tidak muncul gangguan kepada kekuasaan Raja.

Pada masa Hindia-Belanda, terdapat beragam struktur kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain. Namun, pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. Lalu, saat masa pendudukan Jepang, wilayah kepolisian Indonesia terbagi dalam beberapa wilayah, yaitu Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.

Baca Juga: Evaluator UNESCO dan Bupati Sukabumi Bicara Masa Depan Geopark Ciletuh Palabuhanratu

Berbeda dari zaman Belanda yang hanya mengizinkan jabatan tinggi diisi oleh orang-orang mereka, saat di bawah Jepang, kepolisian dipimpin oleh warga Indonesia. Akan tetapi, meski menjadi pemimpin, warga pribumi masih didampingi oleh pejabat Jepang yang pada prakteknya lebih berkuasa.

Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan PETA dan Gyu-Gun. Sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia. Hal itu sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang.

Djawatan Kepolisian Negara

Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, melalui sidang PPKI kedua pada tanggal 19 Agustus 1945, diputuskan Djawatan Kepolisian Negara berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Kemudian, pada tanggal 29 September 1945, Presiden Sukarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN).

Namun, Djawatan Kepolisian Negara mengalami kendala dalam bekerja secara efektif karena hanya bertanggung jawab pada masalah administrasi kepada Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan, masalah operasional menjadi tanggung jawab Jaksa Agung.

Selain itu, lembaga kepolisian tidak memiliki hubungan komando vertikal dengan provinsi maupun kabupaten. Di tingkat karesidenan, secara organisatoris kepolisian berada di bawah residen, dan di tingkat kabupaten berada di bawah bupati.

Baca Juga: Pembubaran Retret hingga 7 Tersangka, Kisah Perusakan Vila di Sukabumi yang Menyita Perhatian

1 Juli 1946

Ini adalah tanggal dimana pemerintah memisahkan lembaga tersebut dari Kementerian Dalam Negeri. R.S. Soekanto mengajukan pertimbangan kepada pemerintah melalui Perdana Menteri saat itu, yakni Sutan Sjahrir, Ia mengajukan pertimbangan tentang pentingnya melakukan perubahan kedudukan Kepolisian Negara menjadi Kepolisian Nasional.

Pada tanggal 1 Juli 1946 pemerintah mengeluarkan Surat Penetapan No. 11/S-D Tahun 1946 dengan keputusan, mengeluarkan Djawatan Kepolisian Negara dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri menjadi jawatan tersendiri dan langsung berada di bawah Perdana Menteri.

Bersama ABRI

Polri dalam sejarahnya juga tak terlepas dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Sejarah pembentukan dimulai pada saat Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 21/1960, gelar Menteri Muda Kepolisian dihapuskan dan digantikan dengan sebutan Menteri Kepolisian Negara yang berada di bawah koordinasi Angkatan Perang, serta termasuk dalam bidang keamanan nasional.

Pada 19 Juni 1961, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) menyetujui UU Pokok Kepolisian No. 13/1961. Dalam undang-undang tersebut, Polri ditempatkan sebagai bagian dari ABRI, setara dengan TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara.

Baca Juga: Serahkan Bantuan Kursi Roda, Wali Kota Sukabumi: Lewat Dinas Sosial Pemerintah Hadir

Selanjutnya, Keppres No. 94/1962 mengatur bahwa Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak) berada di bawah koordinasi Wakil Menteri Pertama di bidang pertahanan dan keamanan, bersama dengan Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KASAU, Menteri Jaksa Agung, dan Menteri Urusan Veteran. Pada Keppres No. 134/1962, jabatan Menkasak diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian.

Seiring berjalannya waktu, sebutan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak) berubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Jabatan ini langsung berada di bawah tanggung jawab Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, menegaskan peran penting Polri dalam struktur negara.

Dalam Keppres No. 290/1964, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab POLRI diatur dengan rinci. POLRI ditetapkan sebagai alat negara penegak hukum, koordinator Polisi Khusus (Polsus), serta turut berperan dalam pertahanan negara. Selain itu, Polri juga memiliki tugas dalam pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), menjalankan peran kekaryaan, dan bertindak sebagai alat revolusi.

Menurut Keppres No. 155/1965 yang dikeluarkan pada 6 Juli 1965, pendidikan Akademi Militer dan Akademi Kepolisian (AKABRI) disamakan antara Angkatan Perang dan POLRI, yang dilaksanakan selama satu tahun di Magelang.

Pada periode 1964 hingga 1965, pengaruh PKI semakin berkembang seiring dengan kebijakan politik NASAKOM Presiden Soekarno, yang menyebabkan PKI berhasil mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.

Baca Juga: Tak Ada Masa Sanggah di Sekolah Kedinasan: Pahami Syarat Administrasi agar Lolos Seleksi

Orde Baru dan Reformasi

Masa Orde Baru dimulai setelah peristiwa G30S/PKI yang menunjukkan kurangnya integrasi antara unsur-unsur ABRI. Untuk memperkuat integrasi tersebut, pada tahun 1967, Presiden Soekarno mengeluarkan SK No. 132/1967 yang menetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Dalam kebijakan tersebut, ABRI dijadikan bagian dari organisasi Departemen Hankam, yang meliputi TNI AD, AL, AU, dan AK, dengan masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan yang bertanggung jawab kepada Menhankam/Pangab.

Setelah Soeharto terpilih sebagai Presiden pada 1968, jabatan Menhankam/Pangab diberikan kepada Jenderal M. Panggabean. Namun, integrasi yang ketat antara ABRI dan POLRI justru memperumit perkembangan Polri, yang pada dasarnya bukan merupakan angkatan perang.

Pada tahun 1969, Keppres No. 52/1969 mengubah sebutan Panglima Angkatan Kepolisian menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), sesuai dengan UU No. 13/1961. Perubahan ini resmi berlaku pada 1 Juli 1969. Selain itu, pada HUT ABRI 5 Oktober 1969, sebutan Panglima Angkatan Darat, Laut, dan Udara diubah menjadi Kepala Staf Angkatan.

Sejak bergulirnya reformasi 1998, pemerintahan Orde Baru jatuh dan digantikan oleh pemerintahan Reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie. Salah satu tuntutan besar masyarakat saat itu adalah pemisahan POLRI dari ABRI, dengan harapan agar Polri menjadi lembaga yang profesional, mandiri, dan bebas dari intervensi dalam penegakan hukum.

Baca Juga: KDM Sebut 7 Orang Jadi Tersangka Pembubaran Retret Pelajar Kristen di Sukabumi

Pada 5 Oktober 1998, perdebatan tentang pemisahan POLRI dari ABRI semakin menguat. Presiden Habibie kemudian meresponsnya dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 yang menyatakan pemisahan POLRI dari ABRI.

Upacara pemisahan dilakukan pada 1 April 1999 di Mabes ABRI Cilangkap, Jakarta Timur, yang ditandai dengan penyerahan Panji Tribata POLRI dari Kepala Staf Umum ABRI kepada Kapolri Jenderal Roesmanhadi.

Sejak saat itu, POLRI berada di bawah Kementerian Pertahanan (Dephankam). Satu tahun kemudian, TAP MPR No. VI/2000 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 menetapkan kemandirian POLRI di bawah Presiden, serta mengatur reformasi birokrasi untuk menjadikannya lebih profesional dan bermanfaat.

Pemisahan POLRI dan ABRI atau sekarang disebut sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin diperkuat melalui amendemen UUD 1945 dan pengesahan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

UU No. 2/2002 mengatur perubahan besar, termasuk Kapolri yang bertanggung jawab langsung pada Presiden, pengangkatan Kapolri yang memerlukan persetujuan DPR, pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, serta larangan POLRI terlibat dalam politik praktis. Selain itu, dilakukan demiliterisasi Polri, mengubahnya dari institusi militer menjadi lembaga sipil penegak hukum yang profesional, dengan penekanan pada Hak Asasi Manusia.

Baca Juga: KA Pangrango Tampil Beda! Gerbong Ekonomi New Generation Hadir Mulai 1 Juli 2025

Selain itu, berbagai lembaga baru dibentuk pada masa reformasi untuk mendukung penegakan hukum, seperti KPK (2002), BNN (2009), BNPT (2010), dan Bakamla (2014). POLRI berkoordinasi dengan lembaga-lembaga ini dalam menjalankan tugas-tugasnya, dengan perwira aktif POLRI juga menjabat dalam lembaga-lembaga tersebut.

Kapolri dari Masa ke Masa

Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (29 September 1945 -14 Desember 1959)
Soekarno Djojonegoro (14 Desember 1959 - 30 Desember 1963)
Soetjipto Danoekoesoemo (30 Desember 1963 - 8 Mei 1965)
Soetjipto Joedodihardjo (9 Mei 1965 - 15 Mei 1968)
Hoegeng Imam Santoso (15 Mei 1968 - 2 Oktober 1971)
Mohamad Hasan (3 Oktober 1971 - 24 Juni 1974)
Widodo Budidarmo (26 Juni 1974 - 25 September 1978)
Awaluddin Djamin (26 September 1978 - 3 Desember 1982)
Anton Soedjarwo (4 Desember 1982 - 6 Juni 1986)
Mochammad Sanoesi (7 Juni 1986 - 19 Februari 1991)
Kunarto (20 Februari 1991 - 05 April 1993)
Banurusman Astrosemitro (6 April 1993 - 14 Maret 1996)
Dibyo Widodo (15 Maret 1996 - 28 Juni 1998)
Roesmanhadi (29 Juni 1998 - 3 Januari 2000)
Roesdihardjo (4 Januari 2000 - 22 September 2000)
Surojo Bimantoro (23 September 2000 - 21 Juli 2001)
Da'i Bachtiar (29 November 2001 - 7 Juli 2005)
Sutanto (8 Juli 2005 - 30 September 2008)
Bambang Hendarso Danuri (1 Oktober 2008 - 22 Oktober 2010)
Timur Pradopo (22 Oktober 2010 - 25 Oktober 2013)
Sutarman (25 Oktober 2013 - 16 Januari 2015)
Badrodin Haiti (17 April 2015 - 14 Juli 2016)
Tito Karnavian (14 Juli 2016 - 23 Oktober 2019)
Idham Aziz (1 November 2019 - 27 Januari 2021)
Listyo Sigit Prabowo (27 Januari 2021 - 2025/sekarang)

#berbagai sumber

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini