Dulu Ramai Orang Eropa di Nagrak Jejak Keturunan Belanda di Sukabumi

Sukabumiupdate.com
Minggu 23 Nov 2025, 16:07 WIB
Dulu Ramai Orang Eropa di Nagrak Jejak Keturunan Belanda di Sukabumi

Sumber catatan sejarah yang menguatkan peran signifikan populasi Eropa di Sukabumi, terutama alasan penetapan kota tersebut sebagai Gemeente pada 1914 (Ilustrasi:gemini)

SUKABUMIUPDATE.com - Mengunjungi Sukabumi adalah seperti melangkah masuk ke dalam lembaran sejarah yang masih hidup, di mana nuansa demografi historisnya terasa begitu kuat, didukung oleh udara sejuk pegunungan dan kehadiran arsitektur kolonial yang khas di beberapa tempat. Namun, daya tarik  yang satu ini terletak pada populasi keturunan Belanda yang secara historis memiliki akar dan penonjolan yang lebih besar dibandingkan daerah Priangan lainnya. Usut punya usut, kekhasan demografi ini bermula pada awal abad ke-19, ketika tanah yang amat subur di kaki Gunung Gede-Pangrango memicu ketertarikan para pengusaha Eropa, yang tidak hanya memulai revolusi agraris melalui perkebunan teh dan kopi, tetapi juga mendorong gelombang migrasi populasi Eropa yang signifikan.

Kota ini kemudian dikenal luas sebagai "Kota Pensiunan" (Plaats voor Gepensionneerden) pada masa itu bagi pegawai dan tentara Belanda yang memilih menetap di Sukabumi, berkat iklimnya yang nyaman dan pemandangan yang memukau. Fenomena unik ini telah menciptakan sebuah jejak demografis yang lestari, di mana percampuran antara budaya Sunda dan Eropa termanifestasi, baik melalui fasad bangunan-bangunan tua yang elegan, cerita rakyat yang diwariskan, hingga beberapa nama keluarga keturunan Eropa yang masih bertahan hingga kini..

Salah satu fenomena paling menarik dalam sejarah Sukabumi adalah peran signifikan dari populasi keturunan Eropa tersebut, khususnya Belanda, yang mendominasi struktur sosial dan tata kota pada masa kolonial. Berdasarkan data statistik awal abad ke-20, meskipun minoritas, konsentrasi penduduk Eropa di pusat kota cukup tinggi, mendorong penetapan Sukabumi sebagai Gemeente (Kota Otonom) pada tahun 1914 untuk memberikan layanan "istimewa" kepada mereka yang sebagian besar adalah pemilik perkebunan teh dan kopi di Priangan Barat.

Baca Juga: Anugerah Gapura Sri Baduga 2025 Jawa Barat, Tak Ada Sukabumi Dalam Nominasi

Sumber catatan sejarah yang menguatkan peran signifikan populasi Eropa di Sukabumi, terutama alasan penetapan kota tersebut sebagai Gemeente pada 1914, dapat ditelusuri melalui tiga kategori utama, yakni Arsip Pemerintah Kolonial seperti Staatsblad van Nederlandsch-Indie dan Regeerings Almanaks yang mencatat keputusan resmi administrasi; Penelitian Akademis modern, termasuk jurnal-jurnal sejarah Indonesia seperti Patanjala serta skripsi/tesis yang secara spesifik mengkaji periodisasi Gemeente Sukabumi dan Buku Referensi Kolonial yang memuat statistik dan deskripsi geografis, seperti Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië dan Stedenatlas Nederlandsch-Indië, yang secara kolektif memberikan landasan faktual mengenai dominasi struktural dan demografi Eropa di pusat kota.

Hulu Perkebunan (Nagrak & Cibadak): Lokasi bagi manajer dan mandor yang harus tinggal di dekat pabrik dan kebun teh, seperti di perkebunan Sinagar (Nagrak).Hulu Perkebunan (Nagrak & Cibadak): Lokasi bagi manajer dan mandor yang harus tinggal di dekat pabrik dan kebun teh, seperti di perkebunan Sinagar (Nagrak) Foto:pemerintahdesanagrakselatan.wordpress.

Julukan "Kota Pensiunan" (Plaats voor Gepensionneerden) disematkan karena iklimnya yang sejuk menarik banyak pegawai dan tentara Belanda untuk menetap dan menjalani masa pensiun di sana. Jejak demografis ini tercermin jelas dalam tata ruang kota, yang menerapkan zonasi etnis di mana zona Utara Kotapraja ditetapkan sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal orang Eropa, serta diwariskan melalui arsitektur kolonial seperti Gedung Juang 45 (dahulu Societeit Soekamanah), yang menjadi peninggalan abadi dari masa tersebut. (Sumber: Sejarah dan Perkembangan Kota Sukabumi pada Masa Kolonial Belanda dan Statistik Penduduk Hindia Belanda awal Abad ke-20).

Kisah fondasi Sukabumi modern dimulai dengan Andries Christoffel Johannes de Wilde, seorang ahli bedah militer Belanda. Keputusannya untuk beralih ke pertanian bertepatan dengan masa kekuasaan Britania Raya di Jawa (1811–1816), di mana sistem monopoli VOC runtuh, membuka kesempatan bagi individu untuk membeli dan mengelola tanah secara swasta. De Wilde memanfaatkan periode transisi ini untuk mengakuisisi lahan luas di sekitar Tjikole. Pada 1815, ia menamai areanya "Soeka Boemi." Keberanian De Wilde mengubah hutan menjadi perkebunan kopi dan teh yang terorganisir, sebuah langkah yang segera menetapkan Sukabumi sebagai tujuan migrasi dan investasi utama di Priangan.

Kesuksesan De Wilde menjadi katalis bagi gelombang migrasi dan investasi Eropa yang masif sepanjang paruh kedua abad ke-19. Para pengusaha dan Planters (administrator perkebunan) Belanda berdatangan untuk mengelola onderneming (perkebunan teh raksasa) di kawasan Cikidang, Nagrak, dan Cibadak. Arus migrasi ini menciptakan pola permukiman dan zona demografis yang jelas. Cikole (Pusat Kota) menjadi pusat populasi pejabat sipil tinggi dan pedagang, ditandai dengan pembangunan fasilitas publik. Area Selabintana menjadi kawasan konsentrasi populasi peristirahatan eksklusif (villas dan hotel). Sementara itu, daerah Hulu Perkebunan, seperti Nagrak dan Cibadak, menjadi tempat tinggal Planters dan manajer Eropa yang fungsional, dekat dengan sumber kekayaan kolonial.

Baca Juga: Liverpool yang Malang, 6 Kekalahan dan 0 Harapan ?

Kawasan Nagrak dan Cibadak menjadi tempat stratifikasi demografi kolonial terlihat paling jelas. Secara komposisi, terdapat perbedaan mencolok antara kelompok elit kecil Planters Eropa murni yang menduduki puncak hierarki dengan populasi pribumi yang jauh lebih besar.

Di antara kedua kutub ini, berkembanglah komunitas Indo-Belanda atau Eurasia. Keturunan percampuran ini menempati posisi-posisi teknis dan manajerial tingkat menengah yang penting: teknisi pabrik teh, mandor pengawas lapangan, atau staf administrasi. Kelompok Indo-Belanda ini memiliki keterikatan demografis yang mendalam; berbeda dengan Planters Eropa yang sering berganti jabatan, komunitas Indo-Belanda telah mengakar selama beberapa generasi di Nagrak dan Cibadak, menjadikan lahan perkebunan sebagai tempat kelahiran dan mata pencaharian mereka.

Ilustrasi - Sukabumi dan Surga Kebun Teh Jawa Barat yang Siap Menyegarkan Jiwa.Ilustrasi - Sukabumi dan Surga Kebun Teh Jawa Barat yang Siap Menyegarkan Jiwa (Freepik).

Keterikatan yang kuat pada lahan tersebutlah yang menjadi penentu arah demografi Sukabumi pasca-kemerdekaan. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan asing dan gejolak sosial, banyak Planters murni Belanda kembali ke Eropa. Namun, banyak dari keturunan Indo-Belanda mereka yang bekerja di pabrik-pabrik Cibadak atau perkebunan Nagrak membuat pilihan untuk menetap dan tetap tinggal di Indonesia.

Mereka telah menganggap tanah Sunda sebagai kampung halaman, di mana ikatan keluarga dan pekerjaan mereka berada. Keputusan kolektif untuk tidak meninggalkan Sukabumi ini secara signifikan memperkuat dan membentuk komposisi demografi kota hingga hari ini, membuat jejak dan penempatan keturunan Belanda menjadi lebih padat dan berkelanjutan, terutama di area-area yang dulunya merupakan jantung dari onderneming mereka.

Meskipun pemerintahan kolonial telah berlalu, dampak demografi dari era perkebunan di Sukabumi tetap terasa. Komunitas keturunan Belanda yang memilih untuk menetap kini telah berintegrasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sunda. Kisah Sukabumi adalah studi kasus unik tentang bagaimana kepentingan ekonomi global (perdagangan teh dan kopi) dapat mengubah struktur migrasi dan komposisi demografi sebuah wilayah, meninggalkan jejak yang mendalam pada identitas kotanya.

Soekaboemi Tempo Doeloe 2023, Acara Pameran Festival Budaya Gratis!Wisma Wisnu Wardhani, Jalan Bhayangkara Nomor 219 Kota Sukabumi. | Foto: Instagram/@dinayopita_

Baca Juga: Pantai Cicaladi–Karang Bolong Sukabumi, Spot Mancing Ekstrem dengan Ombak Ganas!

Sukabumi tetap memperlihatkan nuansa historisnya yang unik, yang sangat ditentukan oleh jejak demografi Eropa yang lebih kental dan menonjol dibandingkan kota-kota Priangan lainnya. Akarnya kembali ke revolusi agraris awal abad ke-19, dipicu oleh pionir perkebunan seperti Andries Christoffel Johannes de Wilde pada tahun 1815, yang membuka gelombang migrasi masif Planters (administrator perkebunan) dari Eropa.

Migrasi ini menciptakan zonasi permukiman spesifik yang masih terasa hingga kini kawasan Cikole sebagai pusat pejabat dan administrasi kota; Selabintana yang dikenal sebagai kawasan peristirahatan elit pegunungan dan daerah Nagrak-Cibadak yang menjadi pusat konsentrasi tenaga kerja dan stratifikasi sosial di perkebunan.

Di wilayah perkebunan inilah berkembang pesat komunitas Indo-Belanda/Eurasia yang memegang posisi teknis menengah dan memiliki keterikatan mendalam pada tanah onderneming mereka. Berbeda dengan Planters murni yang cenderung kembali ke Eropa pasca-kemerdekaan, banyak keturunan Indo-Belanda di kawasan seperti Cibadak dan Nagrak memilih untuk menetap dan mengakar di Sukabumi. Kontinuitas populasi keturunan Eropa dan Eurasia ini yang kini berbaur dalam masyarakat menjadikan Sukabumi sebuah studi kasus yang unik dalam hal warisan demografi kolonial di Jawa Barat hingga era kontemporer.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini