SUKABUMIUPDATE.com - Kebijakan pelarangan hukuman fisik oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengalihkan sanksi menjadi tindakan edukatif, seperti membersihkan lingkungan, merupakan langkah revolusioner yang sejalan dengan perkembangan psikologi anak dan hak asasi manusia. Retno Listyarti, seorang pakar pendidikan dan mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menegaskan bahwa pendekatan ini adalah keniscayaan di era modern.
Dalam sebuah wawancara dengan media nasional pada 14 Maret 2017, Retno menyatakan, “Hukuman fisik sudah terbukti tidak efektif dan justru menanamkan trauma serta kekerasan. Sanksi edukatif, seperti disiplin restoratif, mengajarkan tanggung jawab dan empati. Kita harus beralih dari mendisiplinkan dengan rasa sakit menjadi mendidik dengan karakter.” Penegasan pakar ini menunjukkan bahwa perdebatan tentang "anak lembek" hanyalah resistensi budaya terhadap metode disiplin yang lebih humanis dan berbasis data.
Langkah progresif Pemerintah Provinsi Jawa Barat menandai sebuah revolusi paradigma dalam dunia pendidikan Indonesia menggariskan bahwa sanksi harus dialihkan menjadi tindakan yang bersifat mendidik, seperti membersihkan fasilitas sekolah atau kerja bakti sosial. Kebijakan ini bukan sekadar pergantian jenis hukuman, tetapi sebuah upaya mendasar untuk menggeser model disiplin dari retributif (pembalasan) menuju restoratif dan pedagogis, sejalan dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak.
Baca Juga: Kaleidoskop Sains 2025: Tahun Saat Kita Belajar Mengendalikan Kecerdasan Buatan
Filosofi di balik sanksi edukatif adalah menumbuhkan keinsyafan dan tanggung jawab pada diri siswa (GenImage: Sora)
Alih-alih menciptakan kepatuhan instan. Ketika seorang siswa dihukum mengecat tembok yang dicoret atau membersihkan toilet, fokusnya bergeser dari rasa sakit fisik menjadi pemulihan kerusakan yang telah ditimbulkan dan kontribusi positif terhadap lingkungan. Model ini sejalan dengan teori psikologi pendidikan yang menekankan bahwa pembelajaran karakter yang efektif terjadi ketika individu memahami konsekuensi logis dari tindakannya.
Data penelitian menunjukkan bahwa sanksi yang mengandung nilai edukasi dan dilaksanakan tanpa emosi cenderung lebih efektif dalam membentuk perubahan perilaku jangka panjang dibandingkan hukuman yang represif semata.
Jembatan Menuju Etika Anak & Kritik "Anak Lembek"
Konsep yang menjadi landasan utama sanksi edukatif ini adalah Keadilan Restoratif (Restorative Justice), yang telah diakui secara legal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) dan mulai diadopsi di lingkungan sekolah. Dalam konteks pendidikan, keadilan restoratif menempatkan pemulihan hubungan, dialog, dan tanggung jawab sebagai inti penyelesaian masalah. Alih-alih mengeluarkan siswa, guru dan pihak sekolah kini didorong untuk menggunakan Segitiga Restitusi sebuah kerangka kerja yang membantu siswa menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan salah, dan menanyakan keyakinan diri, sehingga mereka menyusun solusi perbaikan secara mandiri. Pendekatan ini terbukti mampu mengurangi insiden perundungan (bullying) dan perilaku negatif lainnya, menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman dan suportif.
Meskipun progresif, kebijakan ini memicu resistensi, terutama dari kalangan yang masih memegang teguh pola asuh ala zaman Orde Baru, yang menganggap hukuman fisik adalah resep mujarab menciptakan ketangguhan.
Baca Juga: KDM Tegaskan Penataan DAS, Jalan, dan Gerbang Tol Jadi Prioritas di Jabar
Pandangan kritis yang menyebut "anak sekarang terlalu lembek" mencerminkan kegagalan memahami bahwa ketangguhan (resiliensi) yang sejati tidak dibentuk dari rasa takut atau trauma fisik, melainkan dari kemampuan merefleksikan kesalahan dan bertanggung jawab atas tindakan yang merugikan. Dilemanya muncul ketika sanksi edukatif tidak diterapkan secara konsisten dan tegas, justru menciptakan celah bagi siswa untuk menganggap ringan pelanggaran tata tertib dan memunculkan kesan impunitas¸ situasi di mana pelanggaran dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya serius untuk memperbaiki, menghukum, atau mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan.
Sekolah Ramah Anak Strategi Cerdas Mengintegrasikan Pendidikan Anti-Bullying
Data Perundungan dan Urgensi Perubahan & Dilema Wibawa Guru dan Kriminalisasi
Tingginya prevalensi perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan Indonesia, meskipun menunjukkan penurunan dalam laporan resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari 574 kasus pada 2021 menjadi 137 kasus pada 2022 (menurut data salah satu studi), tetap mengindikasikan bahwa metode disiplin lama tidak sepenuhnya berhasil menanamkan empati.
Baca Juga: "Wahyu": Menggugat Diam di Balik Pagar Pesantren (Analisis Film Pendek Kontroversial)
Kekerasan fisik dari guru hanya akan menormalkan kekerasan di mata siswa, membuat mereka cenderung meniru perilaku agresif. Data ini memperkuat urgensi kebijakan anti-hukuman fisik, menegaskan bahwa pembentukan karakter yang beretika harus dimulai dengan menjamin martabat dan keamanan psikologis setiap anak.
Guru menghadapi dilema praktis, di mana upaya menegakkan sanksi edukatif yang tidak tegas dapat mengurangi wibawa mereka di kelas, sementara hukuman fisik dapat berujung pada kriminalisasi oleh orang tua.
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas telah memberikan payung hukum yang kuat bagi anak, namun juga memicu rasa takut di kalangan pendidik. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan mekanisme perlindungan hukum bagi guru (seperti yang diatur dalam Permendikbud) yang melakukan tugas mendisiplinkan secara non-fisik, sekaligus pelatihan intensif mengenai teknik komunikasi asertif dan manajemen kelas restoratif.
Campur Tangan Orang Tua dan Kemitraan yang Hilang & Kunci Efektivitas Sanksi Edukatif
Isu "campur tangan orang tua" menjadi faktor pelik yang menafikan keberhasilan sanksi edukatif. Banyak orang tua yang menuntut sekolah untuk mendisiplinkan anak, namun ironisnya, mereka pula yang menolak dan memprotes ketika anaknya dikenai sanksi. Disiplin yang fair (adil) hanya dapat terwujud melalui kemitraan Tri Pusat Pendidikan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Baca Juga: Pesantren Ramah Anak & Revolusi Perlindungan Santri, Belajar dari Kasus Viral
Solusi praktisnya adalah Membuat Kontrak Perilaku (MoU) yang ditandatangani oleh ketiga pihak, memastikan orang tua mendukung dan menindaklanjuti konsekuensi edukatif di rumah, bukan justru mengabaikannya atau berbalik menyalahkan sekolah.
Bentuk sanksi edukatif yang efektif memiliki beberapa prinsip harus proporsional dengan pelanggaran, bersifat impersonal (tidak dilandasi emosi guru), dan yang paling penting, harus konsisten. Sanksi seperti tugas sosial, merapikan fasilitas, atau membuat rencana perbaikan diri (restitusi) akan efektif jika diterapkan setiap saat pelanggaran terjadi. Konsistensi ini membangun pemahaman di benak siswa bahwa tata tertib adalah suatu hal yang pasti dan memiliki konsekuensi logis, bukan sekadar tergantung pada suasana hati guru.
Masa Depan Pendidikan Karakter Menuju Generasi Tanggung Jawab, Bukan Takut
Tuntutan agar pendidikan karakter tidak hanya berfokus pada kepatuhan, melainkan pada pengembangan moralitas dan tanggung jawab sosial menuntut evaluasi mendalam terhadap efektivitas sanksi edukatif.
Studi-studi psikologi pendidikan menunjukkan bahwa kepatuhan yang didorong oleh rasa takut (seperti yang dihasilkan hukuman fisik) memiliki tingkat keberlanjutan perilaku yang rendah dan seringkali memicu displacement agresi, yaitu pengalihan kekerasan ke teman sebaya (perundungan). Sebaliknya, Disiplin Restoratif, dengan penekanan pada dialog dan pemulihan, memiliki korelasi positif terhadap peningkatan empati dan penurunan insiden kekerasan sekolah hingga 40% dalam beberapa kasus implementasi di sekolah percontohan.
Baca Juga: DP3A Dampingi Balita Korban Pencabulan Oleh Lansia 70 Tahun di Cisaat Sukabumi
Kebijakan Jawa Barat ini harus didukung dengan sistem pencatatan data pelanggaran yang terstruktur untuk mengukur secara kuantitatif efektivitas sanksi edukatif ini dibandingkan dengan pola disiplin lama, sehingga menghilangkan argumen subjektif yang menyebut anak-anak menjadi "lembek." Pendidikan karakter haruslah berbasis data dan berorientasi pada hasil nyata, yaitu melahirkan individu yang beretika dan mandiri.
Perdebatan tentang hukuman fisik dan sanksi edukatif harus diselesaikan dengan komitmen terhadap hak anak dan penerapan sistem yang terintegrasi. Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan sekolah, guru, dan orang tua untuk bertransformasi dari agen penghukum menjadi fasilitator pertumbuhan.
Namun demikian, pakar pendidikan mengatakan, hal ini menuntut alokasi anggaran yang memadai untuk pelatihan wajib bagi guru dalam teknik Disiplin Restoratif dan Manajemen Konflik. Sanksi fisik hanya menghasilkan kepatuhan sementara yang didorong rasa takut, sementara sanksi edukatif yang konsisten dan didukung data menanamkan tanggung jawab berkelanjutan dan integritas moral. Dengan kemitraan yang kuat, Indonesia dapat menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh secara mental, luhur dalam beretika, dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap komunitasnya.



