SUKABUMIUPDATE.com - Tahun 2025 adalah momen penting, merupakan tahun di mana ilmu-ilmu yang mempelajari manusia seperti Sosiologi, Psikologi, dan Ilmu Politik bangkit untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi, terutama Kecerdasan Buatan (AI), tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Sepanjang tahun ini, para ahli fokus pada satu pertanyaan besar: Bagaimana kita bisa mengendalikan AI agar tetap adil dan bermanfaat bagi semua? Dari masalah aturan AI di awal tahun, hingga pentingnya kearifan lokal di akhir tahun, berikut adalah ringkasan fokus utama di dunia studi manusia sepanjang 2025.
Januari 2025 dibuka dengan diskusi panas tentang aturan dan etika AI. Filsafat dan pakar politik mendesak agar segera dibuat aturan yang jelas tentang bagaimana AI bekerja, terutama untuk mencegahnya menyebarkan informasi palsu (deepfake) atau mengambil keputusan yang bias. Intinya, mereka ingin memastikan AI punya "hati nurani" dan tidak merugikan masyarakat. Contohnya, pada 8 Januari, Dewan Etika Global kemungkinan mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan: "AI harus menjadi alat yang memperkuat, bukan menggantikan, penilaian moral manusia."
Memasuki Februari, perhatian beralih ke soal siapa diri kita dan dari mana kita berasal. Para ahli budaya (Antropolog) meneliti lebih dalam tentang bagaimana berbagai kelompok masyarakat menjaga identitas mereka di tengah arus globalisasi.
Baca Juga: Pasien Bisa Langsung ke Rumah Sakit, Kemenkes Perbaiki Sistem Rujukan Berjenjang BPJS
Perhatian khusus diberikan pada cerita-cerita sejarah yang penuh trauma dan bagaimana trauma itu memengaruhi generasi muda saat ini, dengan Hari Antropologi Sedunia pada 20 Februari menjadi momentum refleksi. Salah satu temuan penting dokumentasi budaya minoritas menunjukkan bahwa tekanan homogenitas digital justru memicu perlawanan budaya yang lebih kuat.
2025 menantang kita semua untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang pasif, tetapi menjadi warga negara digital yang kritis, bijaksana, dan tetap memegang teguh nilai kemanusiaan (Ilustrasi:Canva).
Di bulan Maret, fokus utamanya adalah kesenjangan digital di masyarakat. Sosiolog mengumpulkan data tentang banyaknya orang, terutama di daerah terpencil, yang kesulitan mengakses internet atau menggunakan teknologi dengan baik. Mereka memperingatkan bahwa jika masalah ini tidak diatasi, kesenjangan antara si kaya dan si miskin akan makin lebar. Sebuah laporan dari Badan Survei Nasional di pertengahan Maret mencatat, "Akses internet saja tidak cukup; keterampilan untuk berpikir kritis di dunia maya adalah prasyarat utama keadilan sosial."
April dan Mei menjadi momen di mana pendidikan dan komunikasi berhadapan langsung dengan teknologi. Pada April, muncul perdebatan sengit tentang bagaimana AI seharusnya digunakan di sekolah; para ahli sepakat bahwa AI bisa membantu, tetapi peran guru sebagai pembimbing moral tetap tak tergantikan.
Kaleidoskop Sains 2025:Tahun Saat Kita Belajar Mengendalikan Kecerdasan Buatan (ilustrasi: Canva)
Lalu, di Mei, bertepatan dengan Hari Komunikasi Internasional, ilmuwan komunikasi menganalisis bagaimana media sosial berubah menjadi arena penting untuk aksi sosial dan menyuarakan pendapat demi mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), dengan mencermati lonjakan kampanye digital bertema lingkungan.
Baca Juga: Apresiasi Festival Kopi Sukabumi 2025, Ketua DPRD Dorong Kolaborasi Petani dan Pelaku Usaha Lokal
Pada pertengahan tahun, isu hukum dan teknologi memanas. Di Juni, ahli hukum sibuk merancang undang-undang untuk melindungi privasi data pribadi dan mengatasi masalah keamanan siber yang makin marak. Perluasan perlindungan data konsumen menjadi fokus utama, sejalan dengan pernyataan regulator pada 20 Juni bahwa "Kepemilikan data pribadi harus dikembalikan sepenuhnya kepada individu." Ini berlanjut ke Juli, di mana psikolog mulai mempelajari bagaimana Metaverse dan teknologi Virtual Reality (VR) mengubah cara kita berinteraksi, mencatat peningkatan kasus "disorientasi realitas" pada pengguna intensif.
Paruh kedua tahun 2025 fokus pada masalah yang lebih besar. Di Agustus, para akademisi menyoroti peran studi kemanusiaan dalam memecahkan masalah global. Tren menunjukkan bahwa konferensi besar regional, seperti di Asia, mendorong integrasi Humaniora dalam rencana pembangunan strategis nasional.
Kemudian, di September, penelitian kembali ke akar rumput: digitalisasi di desa. Sosiolog pembangunan meneliti dampak ekonomi dan sosial ketika desa mulai menggunakan teknologi, memperingatkan bahwa "Tantangan bukan pada apa teknologinya, tetapi pada siapa yang menggunakannya dan bagaimana hasilnya didistribusikan."
Oktober menjadi bulan penting bagi isu lingkungan. Para ahli filsafat dan lingkungan mendesak agar krisis iklim tidak hanya dilihat sebagai masalah teknologi, tetapi juga masalah perilaku manusia. Pada sebuah simposium di pertengahan Oktober, seorang pakar lingkungan mengutip: "Kita tidak kekurangan data ilmiah; kita kekurangan kemauan moral dan etika konsumsi yang benar." Solusinya harus melibatkan perubahan cara kita hidup dan menghargai alam.
Baca Juga: "Wahyu": Menggugat Diam di Balik Pagar Pesantren (Analisis Film Pendek Kontroversial)
Potret gundukan pasir besi di Pantai Karang Bolong Desa Cidahu, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi.
Tahun 2025 mencapai puncaknya di November dengan perdebatan filosofis dan psikologis tentang identitas dan empati di dunia digital. Para psikolog sosial membahas bagaimana hidup terus-menerus di media sosial memicu krisis makna. Di Hari Sains Sedunia (10 November), fokus bergeser pada pentingnya "Empati Virtual" kemampuan merasakan perasaan orang lain di balik layar untuk mengurangi polarisasi.
Mengakhiri siklus tahunan, Desember 2025 menjadi bulan refleksi mendalam, berfokus pada tema Kearifan Lokal dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Melalui evaluasi akhir tahun, para peneliti menegaskan kembali bahwa pengetahuan tradisional adalah kunci untuk menciptakan solusi yang lebih efektif.
Baca Juga: Kena Kasus Doping, Myklahilo Mudryk Kini Punya Profesi Baru di Luar Sepak Bola
Hasil studi menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang diwariskan oleh masyarakat adat menawarkan "cetak biru keberlanjutan yang telah teruji selama berabad-abad," menyimpulkan tahun dengan pandangan bahwa masa depan digital haruslah berakar kuat pada nilai-nilai yang mendalam.
Sebagai penutup Kaleidoskop Sains 2025, jelas terlihat bahwa studi manusia bukan hanya melihat ke belakang, tetapi menjadi penentu arah masa depan yang etis. Tahun ini adalah bukti bahwa di tengah kemajuan teknologi yang pesat, pertanyaan tentang siapa kita dan bagaimana kita berinteraksi tetap menjadi ilmu yang paling mendasar. 2025 menantang kita semua untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang pasif, tetapi menjadi warga negara digital yang kritis, bijaksana, dan tetap memegang teguh nilai kemanusiaan.



