SUKABUMIUPDATE.com – Sekitar pukul setengah delapan pagi, matahari terasa begitu dekat di Kasepuhan Ciptamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sinar hangatnya menembus lembut sela-sela dedaunan, menyapa rumah panggung dan hamparan sawah di kaki Gunung Halimun. Udara terasa segar dengan aroma tanah basah yang baru tersentuh embun.
Dari kejauhan terdengar suara khas duk... duk... duk... berpadu ritmis dengan kokok ayam. Suara itu berasal dari sebuah saung terbuka beratapkan rumbia di tepi sawah. Dua perempuan tampak sedang nutu pare atau menumbuk padi yang masih berkulit (gabah) dengan halu di atas lisung kayu berukuran dua meter. Mereka tengah menyiapkan padi simpanan agar menjadi beras untuk kebutuhan sehari-hari.
"Berdua biar lebih cepet. Kalau ada hajat (acara), bahkan bisa sampai berlima atau lebih. Bisa menghasilkan 30 sampai 50 ikat pocong kalau banyakan mah. Kalau sendirian paling hanya tiga sampai empat ikat per hari. Itu pun prosesnya bisa sampai tiga jam," ujar Julaeha (52 tahun) perempuan adat Kasepuhan Ciptamulya kepada sukabumiupdate.com, Rabu (1/10/2025).
Baca Juga: TKD Dipangkas, Mendagri Sarankan Pemda Genjot Pajak Restoran dan Parkir
Setelah menumbuk, keduanya menampi hasilnya untuk memisahkan beras dari kulit padi. Tak satu pun gabah di Kasepuhan Ciptamulya dibawa keluar kampung untuk digiling di rice mill; seluruh proses dilakukan dengan cara tradisional.
Setelah beras siap, mereka menanaknya bukan dengan rice cooker, melainkan di atas hawu atau tungku kayu bakar menggunakan dandang, sehingga nasi yang dihasilkan lebih pulen.. Sebelumnya, gabah yang mereka tumbuk berasal dari simpanan leuit atau lumbung padi keluarga.
Dua perempuan adat di Kasepuhan Ciptamulya tengah nutu pare di lisung.
Bagi masyarakat adat Kasepuhan Ciptamulya, leuit bukan sekadar tempat menyimpan padi, melainkan tabungan kehidupan—tempat menitipkan harapan agar tak ada satu pun warga yang kelaparan. Setiap keluarga memiliki satu hingga dua leuit, bahkan lebih, untuk menyimpan hasil panen mereka.
Padi yang disimpan dalam leuit masih menempel di tangkainya, diikat menggunakan tali bambu (pocongan). Ikatan-ikatan pocongan digantung pada galah bambu yang ditopang batang kayu. Sistem penyimpanan ini menjaga agar kadar air tetap seimbang dan padi tidak mudah rusak akibat kelembapan.
Ukuran leuit bervariasi, tergantung hasil panen pemiliknya. Umumnya berukuran tinggi sekitar dua meter, panjang 1,5 meter, dan lebar dua meter yang bentuknya menyerupai rumah panggung berbahan kayu beratap ijuk atau rumbia, dengan satu pintu dan rancangan yang membuatnya kedap air serta sulit dimasuki tikus. Satu leuit dapat menampung hingga ratusan ikat padi dan mampu bertahan bertahun-tahun. Letaknya pun selalu terpisah dari rumah warga.
"Padi di dalam leuit tidak boleh dijual sebelum kebutuhan pangan keluarga dan orang-orang di sekitar terpenuhi. Itu sudah menjadi pesan dari leluhur. Tapi pasti akan diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan," kata Sudarta (60 tahun), suami dari Julaeha.
Menurutnya, leuit memiliki fungsi sosial yang sangat tinggi. Walaupun tidak dijaga, padi di dalamnya tidak pernah dicuri. “Leuit milik warga lain juga aman. Untuk apa mencuri, kalau meminta saja pasti diberi,” ujarnya tersenyum.
Baca Juga: Petani di Pajampangan Sukabumi Keluhkan Keterlambatan Pupuk Subsidi, Ini Kata Distan
Di Kasepuhan Ciptamulya juga terdapat Leuit Si Jimat — lumbung komunal yang diperuntukkan bagi kepentingan bersama. Letaknya di pinggir Imah Gede, rumah pertemuan utama warga adat.
"Leuit itu layaknya ATM atau tabungan. Kemudian disebut si jimat karena yang disakralkan. 20 tahun ke belakang sempat ada memang warga minjem ke leuit si jimat beberapa pocong, kalau sekarang mah warga tidak ada yang mengalami paceklik atau kekurangan pangan sehingga sudah tidak ada yang minjam lagi," ungkap Abah E. Suhendri Wijaya atau Abah Hendrik, Ketua Kasepuhan Ciptamulya.
Sistem leuit adalah wujud kearifan lokal dalam mengelola pangan yang terbukti efektif menjaga ketahanan masyarakat. Saat dunia dilanda krisis pangan akibat pandemi Covid-19, masyarakat adat Kasepuhan Ciptamulya tetap tenang, karena padi di leuit mereka cukup untuk makan selama bertahun-tahun.
Leuit di Kasepuhan Ciptamulya, Cisolok Sukabumi.
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptamulya juga memegang teguh prinsip leluhur dalam mengolah tanah. Mereka hanya menanam dan memanen padi sekali dalam setahun, karena meyakini bahwa tanah adalah “ibu” yang perlu beristirahat untuk memulihkan kesuburannya.
“Ibu tidak mungkin melahirkan lebih dari sekali dalam setahun,” ujar Abah Hendrik. “Kalau dipaksa, tanah jadi rusak dan hasil panen tidak akan berkah.”
Bagi mereka, padi bukan sekadar bahan pangan, melainkan simbol kehidupan itu sendiri. Padi dihormati sebagai perwujudan Nyi Pohaci Sanghyang Asri — dewi padi, sang pemberi hidup dan kesejahteraan.
Sepanjang siklus pertanian, masyarakat Kasepuhan Ciptamulya menjalankan berbagai ritual penghormatan terhadap Nyi Pohaci, mulai dari prosesi ngaseuk (menanam benih padi) hingga Serentaun — upacara adat terbesar yang digelar setiap tahun sebagai ungkapan syukur atas panen.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi melalui Dinas Pertanian menilai bahwa sistem tanam sekali setahun yang dijalankan masyarakat adat seperti Kasepuhan Ciptamulya bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk keseimbangan antara produksi, budaya, dan kelestarian lingkungan.
“Dari sisi produksi, memang hasilnya belum tentu optimal dalam setahun. Namun dari sisi lingkungan, sistem itu menjaga kelestarian unsur biotik dan abiotik, termasuk kesuburan tanah secara fisik, biologi, dan kimia. Dari sisi budaya, jelas turut melestarikan kearifan lokal,” kata Eris Firmansyah, Kepala Bidang Penyuluhan dan Pengembangan Usaha Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi.
Menurutnya, pola tanam satu kali dalam setahun juga berpotensi mendukung ketahanan pangan lokal, asalkan produksi yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, serta disimpan dengan baik dan aman. “Kuncinya pada sistem penyimpanan dan pengelolaan pangan yang mereka miliki, seperti leuit,” tambahnya.
Eris menegaskan, Pemerintah Kabupaten Sukabumi tetap memberikan pendampingan bagi petani di kawasan adat melalui program penyuluhan dan penguatan kelompok tani di sekitar wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Ia juga menilai, sistem pertanian adat seperti yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Ciptamulya sangat berkontribusi terhadap ketahanan pangan warganya.
“Sangat berkontribusi, terutama dalam hal pengelolaan kebutuhan pangan, penyimpanan cadangan, dan akses pangan yang efisien,” tuturnya.