SUKABUMIUPDATE.com - Peringatan Serentahun Kasepuhan Gelaralam pada 3 Oktober 2025 menjadi momen penting bagi masyarakat adat di Sukabumi. Acara yang dirangkaikan dengan Riungan Gede Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI) ke-12 itu dihadiri oleh para 'olot' dan utusan kasepuhan dari empat kabupaten, yaitu Sukabumi, Bogor, Lebak, dan Pandegelang.
Di tengah kegiatan tersebut, Kabupaten Sukabumi kini telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Sukabumi, Bayu Permana, menyebut bahwa hadirnya perda ini menjadi kado terbaik bagi masyarakat adat dalam peringatan Riungan Gede SABAKI dan Seren Tahun Gelaralam.
Menurut Bayu, eksistensi masyarakat adat di Sukabumi telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka mewarisi amanat leluhur tentang pola hidup selaras dan harmonis dengan alam. “Dengan adanya perda tersebut, masyarakat adat sebagai subjek hukum telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah Kabupaten Sukabumi,” tuturnya kepada sukabumiupdate.com, Minggu (5/10/2025).
Baca Juga: Main Bola Lalu Ngojay, Dua Anak Tenggelam di Sungai Cimandiri Warungkiara Sukabumi
Ia mengatakan, setelah adanya pengakuan hukum, langkah berikutnya adalah perjuangan untuk memperoleh hak kepemilikan wilayah adat. Keberadaan perda tersebut menjadi bagian penting dalam pemenuhan syarat pengajuan wilayah adat yang akan diikuti dengan persyaratan lainnya.
Masyarakat kasepuhan atau adat di Sukabumi memiliki sistem pengetahuan tradisional mengenai tata guna lahan, seperti Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumaten, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Legok Balongan, dan Lebak Caian. Dari sekian banyak istilah itu, konsep 'Cinyusu Rumaten' menjadi simbol komitmen masyarakat adat untuk menjaga dan melestarikan sumber mata air.
Selain masyarakat kasepuhan, terdapat pula komunitas masyarakat asal di luar wilayah hukum adat yang tetap memegang teguh nilai tradisi. Komunitas asal tersebut tersebar di berbagai wilayah Kabupaten Sukabumi, di antaranya Pangauban Sungai Cicatih yang berhulu di Gunung Salak, Sungai Cimandiri yang berhulu di Gunung Siang, Sungai Cipelang yang berhulu di Gunung Gede, dan Sungai Citarik yang berhulu di Gunung Kendeng.
Baca Juga: Pecah Kongsi Kepanitiaan, Event Lari di Kota Sukabumi Jadi Kacau
Komunitas-komunitas ini memiliki entitas pengetahuan tradisional dalam menjaga kawasan sungai atau pangauban. Dasar pengetahuan tersebut bersumber dari Naskah Amanat Galunggung, yang memuat ajaran Prabu Darmasiksa, Raja Pakuan abad ke-13. Dalam naskah itu terdapat kalimat: “Kuna urang ala lwirna patanjala, Pata ngarana cai jala ngarana apya…”
yang berarti “Kita ikuti cara mengalirnya patanjala, pata artinya air dan jala artinya wilayah air.”
Dari naskah tersebut lahir sistem Pengetahuan Tradisional Patanjala, yaitu metode dalam menetapkan wilayah atau zonasi berdasarkan daerah tangkapan air (gentong bumi). Metode ini menetapkan pola dan struktur ruang yang terdiri dari kawasan larangan (pelestarian alam), tutupan (perlindungan), dan baladahan (pemanfaatan atau budidaya).
Struktur ruang dalam Patanjala juga mengenal pembagian wilayah karamaan (hulu), karesian (tengah), dan kaprabuan (hilir). Wilayah karamaan berfungsi sebagai kawasan daya dukung lingkungan dengan peran spiritual. Wilayah karesian menjadi kawasan penyeimbang sekaligus pusat pengetahuan (jagat kerta), sedangkan wilayah kaprabuan difungsikan sebagai pusat pembangunan dan administrasi pemerintahan (jagat palangka).
Baca Juga: Perkuat Lembaga Kemasyarakatan Desa, DPMD Sukabumi Latih Puluhan RT/RW Pondokkaso Tonggoh
Pengetahuan tradisional yang selama ini dilestarikan masyarakat asal itu kini diformulasikan secara sistematis menjadi norma dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelestarian Pengetahuan Tradisional dalam Perlindungan Kawasan Sumber Air (Patanjala).
Bayu menjelaskan, Raperda Patanjala memiliki relevansi kuat dengan nilai-nilai tradisi masyarakat kasepuhan, terutama dalam konsep 'Cinyusu Rumaten'. Ia berharap, perda ini kelak dapat melengkapi Perda Masyarakat Hukum Adat serta menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam memfasilitasi pemetaan wilayah adat dan desa guna mengembalikan fungsi kawasan.
“Semoga upaya-upaya ini sejalan dengan cita-cita dan amanat para leluhur, yaitu gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja,” pungkasnya. (adv)