SUKABUMIUPDATE.com - Model langganan game ala Netflix dinilai Shawn Layden, mantan bos PlayStation, sebagai ancaman serius bagi industri. Dalam wawancara dengan GamesIndustry.biz, ia membandingkannya dengan dampak Spotify pada musik, di mana nilai karya kreatif terus tergerus. "Pemain mulai beranggapan game seharusnya gratis," ujarnya.
Layden menekankan perbedaan fundamental antara game dan industri kreatif lain. Misalmya, musisi masih bisa mengandalkan tur dan merchandise untul mendatangkan uang, sementara developer game hanya mengandalkan penjualan awal.
"Tidak ada yang mau bayar untuk menonton developer ngoding," canda Layden, tetapi candaanya menyiratkan masalah serius.
Baca Juga: Monitor Gaming Odyssey Terbaru: OLED G6 500Hz & G7 Jumbo, Yuk Intip Harganya!
Xbox Game Pass Microsoft sering disebut sebagai contoh sukses, tapi profitabilitas-nya masih dipertanyakan. Data Ampere Analysis menunjukkan butuh 50 juta subscriber untuk seimbangkan biaya konten AAA. Dan yang mengkhawatirkan, survei NPD mengungkap 60% subscriber mengurangi pembelian game mereka.
Bagi developer, model ini berisiko menjadikan mereka 'pemasok konten' belaka. Studi IGDA menemukan 70% developer indie mengalami penurunan penjualan setelah keluar dari Game Pass. Ubisoft bahkan mengubah Skull & Bones jadi live-service demi menyesuaikan model ini, seperti yang dilaporkan Bloomberg.
Dan kini, beberapa solusi mulai diuji, seperti sistem berjenjang ala PS Plus Premium. Alternatif lain termasuk monetisasi cross-media (seperti adaptasi The Last of Us di HBO) dan profit-sharing model ala Bandcamp untuk developer indie.
Layden mencontohkan Spotify, meskipun harganya relatif terjangkau (sekitar $15/bulan), sangat sedikit orang yang kini membeli musik secara langsung. Analogi ini menggambarkan risiko bagi industri game.
Jika game-game premium beralih ke model langganan, nilai intrinsik karya tersebut bisa terkikis, dan developer/publisher mungkin kesulitan mempertahankan pendapatan yang berkelanjutan.
Layden mendorong industri mencari model yang lebih adil. "Kita perlu sistem yang menghargai kreativitas, bukan hanya menguntungkan platform," tegasnya. Sementara Nintendo membuktikan model tradisional masih viable, dengan Tears of the Kingdom terjual 20 juta kopi dalam 3 bulan.
Shawn Layden, mantan eksekutif PlayStation, menyuarakan kekhawatirannya tentang model layanan berlangganan seperti "Netflix untuk game" dalam wawancara dengan GamesIndustry.biz.
Ia menganggap pendekatan ini "berbahaya" dan membandingkannya dengan dampak negatif pada industri musik, di mana konsumen mulai beranggapan bahwa musik seharusnya gratis.
Poin Kunci Kritik Layden:
- Dekomoditisasi Kreativitas: Model langganan berpotensi menurunkan nilai karya individual, seperti yang terjadi pada musik dan film.
- Dampak pada Developer: Revenue share dari platform langganan (seperti PS Plus atau Game Pass) mungkin tidak seimbang dengan biaya produksi game AAA modern.
- Ekspektasi Konsumen: Jika pemain terbiasa dengan akses "all-you-can-play", mereka mungkin enggan membeli game secara penuh, memicu race to the bottom (persaingan harga/service yang tidak sehat).
Layden bukan satu-satunya yang skeptis. Pembuat game indie dan studio AAA juga khawatir tentang dominasi model langganan. Namun, di sisi lain, layanan seperti Xbox Game Pass terbukti meningkatkan eksposur game dan pendapatan melalui microtransaction/DLC.
Pertanyaan Besar: Apakah langganan akan mendorong inovasi atau justru memaksa developer mengorbankan kualitas demi konten yang "cukup baik"? Layden tampak memilih pendekatan yang lebih seimbang—misalnya, mempertahankan penjualan tradisional sambil mengeksplorasi model hybrid.
Sumber: GamesIndustry.biz, Ampere Analysis, NPD Group, IGDA Report, Bloomberg
Penulis: Danang Hamid